“Ya, aku mau. Dan aku ingin kamu mengambil semua hak mu untuk membahagiakanku.”Lelaki itu mencubit gemas hidung mancungku. “Kamu itu matre sekali, apa kamu benar-benar akan meninggalkanku jika aku jatuh miskin?” ucapnya sambil terkekeh. “Jika aku ada di dekatmu. Tak akan kubiarkan kamu kembali miskin.”Lelaki itu tersenyum. “Bukankah kamu ingin membahagiakanku? Aku tak akan bisa bahagia jika tak ada materi di sekitarku,” ucapku. Kali ini aku berpikir untuk realitis, bukan karena aku matre atau terlalu mendewakan uang. Tapi bagaimanapun, uang memang dibutuhkan. Banyak pernikahan gagal karena uang, banyak hubungan ayah ibu rusak juga karena uang, dan aku tak ingin semua itu terjadi, ditambah lagi, aku tak ingin anak-anakku kelak akan mengalami kesedihan sepertiku, bahkan hampir rela menjual dirinya karena uang. Lelaki itu tersenyum dan kembali membenamkanku ke dalam pelukannya, dikecupnya ujung kepalaku dengan tangan yang terus membelai lembut rambut panjangku. “Aku akan mengambil
“Indra,” ucapku lirih.Lelaki itu membungkuk hormat . “Maaf, boleh saya masuk, Pak?’“Silahkan. Aku memang sudah menunggumu.”Lelaki itu berlalu melewatiku begitu saja, seakan tak pernah mengenalku sama sekali. Ia duduk di depan Reynan, dan aku berlalu meninggalkan.Kulirik jam yang melingkari lenganku, waktu telah menunjukkan jam istirahat, dan hari ini aku telah memiliki janji kepada Haikal. Mengajak Lesta jalan-jalan ke taman. Kuraih ponsel di sakuku, dan kudapati pesan masuk dari Haikal.“Aku sudah di parkiran, Viv.” Pesan yang masuk 15 menit lalu, seperti itulah ia, tak lagi mengabariku dan memilih menunggu.Aku mengambil tas kecil di atas meja, lalu berlalu turun menuruni anak tangga, di jam istirahat seperti ini, rasanya tak memungkinkan jika harus mengenakan lift, terlalu malas untuk menunggu, apalagi saat ini ada yang menantiku 15 menit yang lalu. Kupercepat langkahku sambil mengabari Haikal jika aku segera tiba.Mataku tertuju kepada mobiil sedan hitam milik Haikal, seoran
“Iya, kamu kenapa?”“Aku -,” “Will you marry me, Viv?” ucapnya dengan memberikan sebuah kotak merah berbentuk love.Untuk sesaat aku masih terdiam, bingung sendiri mau jawab apa. Perasaanku selama ini, hanya sebatas rasa nyaman, ditambah rasa sayang kepada adikya. Bukan rasa ciinta seperti yang diartikannya. Manik mata itu terus manatapku dengan penuh rasa harap. Tapi, bagaimanapun aku tak boleh berbohong hanya karena rasa kasihan. Apalagi ada hati lelaki lain yang harus kujaga. “Diterima saja, Kak!’ ucap Lesta yang kini tengah berdiri menatap kami, bahkan aku tak menyadari kedatangan ia Bersama Alisa.Aku masih melempar pandangan kearah kakak beradik ini, mencari keputusan yang nantinya tak akan membawaku ke dalam masalah yang menyulitkan. Aku tak mau jika harus membohongi hatiku dan orang lain, tapi menjaga hati Lesta saat ini sungguh sangat dibutuhkan.“Eh, maaf sebentar,” ucapku samnbil meraih ponsel yang berdering dalam sakuku. Nama bos arogan tertulis disana. Aku meminta ijin
“Kembalilah sekarang, Viv, atau aku akan benar-benar memotong gajimu.”“Baiklah, Pak. Saya akan segera Kembali. Saya berjanji tidak akan terlambat.”Aku mematikan panggilan dengan senyuman, hingga tak menyadari ada 3 pasang mata yang menatapku. aku bahkan melupakan kehadiran mereka saat mengobrol dengan Reynan.“Ma-maaf, kalau aku angkat panggilannya terlalu lama.”“Tidak papa, ayo kita balik sekarang!” ucap Haikal smbil berjalan mendekati mobilnya, membukakan pintu mobil untuk adiknya. Aku bahkan baru menyadari jika tikar yang menjadi alas makan kita tadi sudah dibereskan, berikut dengan alat-alat makan.“Masuklah, Viv!’ ucap Haikal sambil membuka pintu mobil di jok depan. Mata mereka menatapku redup, hingga tak kudapati binar mata di manik mata mereka. Bahkan Alisa pun melakukan hal yang sama, menatapku dengan sayu. Apakah ini ada hubungannya dengan pembicaraanku dan Reynan?Mobil ini terhenti terlebih dulu di rumah haikal, baik Lesta maupun Alisa turun disitu. Adikku Alisa ijin mai
Aku melepas pelukan itu dan mendelik ke arahnya. Tak lupa sebuah cubitan kulayangkan di lengannya. Hingga ia mengaduh dan kembali menghadirkan senyuman. Beberapa detik kemudian ekspresi Reynan tampak berubah seperti menahan sesuatu, keringatnya mulai bermunculan bersamaan dengan dahi yang tampak berkerut menahan sakit. Sedangkan tangannya ia arahkan ke perutnya, dan sesaat kemudian terdengar rintihan kesakitan.“Reynan, kamu kenapa?”Aku membantu ia duduk ke kursiku, menyandarkan punggungnya dengan hati-hati.“Viv, bisa tidak kamu ambilkan obat di laci mejaku,”ucapnya dengan lirih, perlahan wajahnya tampak memucat .“Baik, aku segera datang.” Setengah berlari aku masuk ke ruangan Reynan, mendekati mejanya dan membuka laci tesebut. Sekilas aku menatap laptop yang masih di atas meja, menampakkan cctv dari ruanganku. Reynan tampak kesakitan dengan terus memgang perutnya. ‘Ya Tuhan, cobaan apalagi ini. Tolong berikan keajaiban untuk kesembuhan lelaki itu, bahkan aku rela jika aku harus
Aku menggeleng. “Vivian, bisa tidak untuk kita berdua saling terbuka? Sebentar lagi kita akan nikah bukan? Dan ku tak mau kita saling menyimpan rahasia masing-masing. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku, kita akan sehati, dan saling membagi rasa.”Aku tersenyum menatap lelaki yang tengah menatapku itu. “Ayah akan datang besok pagi, melakukan kunjungan perusahaan. Selain itu aku juga mau mengenalkan kamu dengan beliau. Kamu siap kan?”Aku terdiam, menundukkan pandanganku, tak percaya diri dengan status sosialku. “Hey, kamu kenapa, Viv?” tanyanya sambil kembali mendongakkan wajahku ke atas, menatapnya. “Aku orang miskin, Rey. Kita beda kasta. Aku tak yakin orang tua angkatmu akan menerima kehadiranku.”Lelaki itu menggeleng, dengan senyum manis. “Sejak kapan nyalimu ciut sepeti ini, Viv? Dimana vivianku yang dulu? Yang congkak dan yang selalu merasa diatas?”Dicubitnya hidungku dengan gemas. “Kamu tahu ha? Pilihan terburuk jika disuruh memilih antara keluarga atau kamu. Maka aku ak
“Haikal lagi, Haikal lagi,” protes lelaki di depanku.“Apakah kalau kita sudah menikah, kamu juga masih membagi waktu dengannya, Viv? Tidak bisakah waktumu hanya untukku saja.”Aku terkekeh, mendengar ungkapan cemburu Reynan, beberapa hari ini ia memang sensitif sekali, seperti Wanita yang sedang kedatangan bulannya.“Rey, kamu kan tahu sendiri. Ini sebatas rasa kemanusiaan, dan penghubung silaturahim. Kasihan Lesta, dia akan ….”“Iya, iya, jaga hati adeknya Haikal mulu. Lalu jaga hatiku kapan?”Aku menampakkan panggilan di ponselku. “Lalu, panggilan ini diangkat tidak?”“Kalau aku minta untuk membiarkannya, apa kamu akan melakukan?”“Baiklah.” Kukembalikan benda itu ke saku baju ku, masih dengan dering yang terus terdengar.“Ya sudah diangkat saja, barang kali Haikal memang lagi membutuhkanmu,” ucapnya pasrah. Sepeti itulah Reynan, dia adalah lelaki yang selalu tidak tegaan, dan selalu mengalah, sifat sederhana di balik arogan yang biasa ia perlihatkan.Baru saja aku Kembali meraih l
“Kak Viv,” ucap Alisa yang kini meletakkan tangan kanannya ke belakang. Terlihat tetesan darah segar yang masih terlihat jelas di lantai kamar ini. “Apa yang kamu sembunyikan dariku, Sa?”Wajah panik terlihat dari kedua gadis berambut panjang itu, binar mata indah yang selalu mereka tampakkan kini berubah menjadi mata yang basah, menahan air mata di pelupuk mata mereka. Bahkan mata Lesta terlihat memerah, seperti menahan tangis yang cukup lama. Sesaat kemudian mereka saling menunduk. Kedua gadis itu saling terdiam, tak ada sepatah kata yang keluar sedikitpun dari bibir mereka. “Alisa, kakak tanya sama kamu. Apa yang kamu sembunyikan?” tanyaku yang sedikit meninggi. Terdengar suara langkah yang mendekat, hingga pandangan kami menuju ke sumber suara. 2 lelaki yang pernah ada di hidupku itu mengekoriku dan masuk ke dalam kamar. Sedetik kemudian aku kembali memfokuskan diri kepada adik tersayangku. “Itu apa?” Tanyaku sambil menunjuk kotak p3k yang berada di tengah-tengah Alisa dan Le