Aku belajar menata hatiku, mencoba berdamai dengan keadaan dan takdir, mungkin sudah suratan dari semesta, untuk aku tak bersama Reynan. Meskipun sungguh dalam hati kecilku menginginkannya. Beginilah hidup, semua tak selalu seperti apa yang sudah kita rancang. Dengan angin sepoi yang menyapa, aku kembali menatap nisan bertuliskan nama dari bos Aroganku itu, bos yang selama ini membuatku berdegup kencang tiap kali bersamanya, bos yang selalu ada dihatiku, lebih dari 5 tahun lamanya. Seperti kata Alisa, Rey pasti akan ikut sedih jika aku terus terpuruk, dan aku harus bangkit, kembali membentuk Purcel dari sisa -sisa kepingan hatiku. “Kak, sudah. Ayo kita pulang! Kakak mesti siap-siap untuk pernikahan kakak dan kak Haikal.”Alisa menepuk pundakku, menyadarkan aku dengan lamunan indah bersama lelaki yang kini telah tertutup gundukan tanah. “Rey, aku pulang dulu ya! Aku pamit, sekalian ijin. Hari ini aku akan menikah dengan Haikal. Doakan aku supaya bisa terus bahagia seperti pintamu.”
“Aku bahagia bisa melihatmu sedekat ini, Viv. Bisa kembali menghirup aroma tubuhmu.”Aku terdiam, bingung sendiri mau menjawab apa. Hingga tiba-tiba tangan ini diraihnya dan diletakkan di dada yang terbalut oleh pakaian tipis yang dikenakan. “Bisa kamu rasakan tidak? Jantungku berdegup lebih kencang setiap kali bersamamu.”Aku tersenyum. “Bukankah kamu mania wanita? Aku tahu sekali kamu sering bergonta ganti pasangan kan?”Lelaki itu tersenyum. “Tapi semua tak ada yang sepertimu.”Aku mendelik ke arahnya. “Berarti benarkan?” Lelaki itu terkekeh. “Hanya sebatas mainan, Viv. Bukan untuk serius.”“Wanita sebagai mainan? Berarti saat ini aku mainanmu kan?” Suaraku sedikit meninggi mendengar penjelasannya “bukan seperti itu. Kalau kamu mainan, tidak mungkin kita nikah.”“Kamu bohong. Nyatanya pernikahan kita yang dulu kamu jadikan tempat mainanmu.”“Ampun, Viv. Aku kalah jika harus berdebat denganmu. Yang pasti aku mencintaimu.” Tanpa aba-aba lelaki itu mencium keningku lalu memeluk t
Secepat kilat lelaki itu mengambil benda yang terjatuh, lalu kembali melilitkannya di tubuh bagian bawah. Hingga segitiga yang menjadi bahan penutup barang rahasianya itu tampak, berwarna merah tua.‘Untung saja, ia masih pakai celana dalam, seenggaknya mataku masih virgin,' batinku sambil mengurut dada. Tampak canggung, tak ada percakapan setelah itu. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing dan kesibukan masing-masing. Ya, lebih tepatnya aku yang menyibukkan diri. Aku membantu menyiapkan makanan di dapur, dimana Lesta dan Alisa tengah duduk terlebih dulu. Mereka semakin akrab, dan bahkan mereka tidur sekamar. Adikku telah terbalut pakaian rapi, baju berkerah dengan lengan pendek serta rok sejengkal di bawah lutut, dengan tas ransel yang disandarkan di kursinya. “Kak, hari ini aku mau ke kampus. Ada pengumuman penerimaan calon mahasiswa.”“Apa perlu kakak antar?”“Enggak. Aku mau kesana bareng Lesta.”Wanita berambut panjang yang pernah bercita-cita jadi sailormoon itu terdiam,
Aku bingung sendiri menghabiskan waktuku seperti apa, sendirian dikamar tanpa tau aktifitas apa yang dilakukan. Menatap langit kamar, berjalan ke balkon, kembali merebahkan diri. Ya, tak ada aktifitas berarti. Mungkin seperti ini juga yang dirasakan Lesta, hingga ia ingin memiliki kesibukan dan memiliki manfaat dalam hidupnya. Aku memegang ponselku, menatap satu-satunya foto reynan yang kumiliki. Ketika kita masih sekantor dan bersama, kami sengaja melakukan foto selfie sesaat setelah makan siang. Foto reynan yang melingkarkaj lengan ke bahuku, sedangkan aku yang terkaget justru menatap ke arahnya. Ya, seperti itulah pose dalam kamera. “Rey, kamu jahat! Kamu pergi ... Kamu tak menepati janjimu,” ucapku lirih sambil memperbesar kamera, kupandang wajahnya yang manis, mata yang bulat dengan senyuman yang indah, senyuman khas yang tak pernah kujumpai dari siapapun. Tak sadar kuusap gambar wajahnya, seakan benar-benar membelai lelaki berparas tampan itu. Hatiku semakin sakit, sekuat ap
“Viv, mau kemana?” langkahku terhenti ketika tangan ini di pegang dengan erat. “Haikal,” ucapku lirih, menatap lelaki berpakaian non formal yang tampak keheranan. Tangannya mengambil beberapa belanjaan yang tadinya aku pegang, ada beberapa stel pakaian beserta sepatu, tidak lupa juga untuk Alisa dan Lesta. “Mau kemana kamu?” tanyanya lagi. “E ... Itu ... Tadi ....” Aku tak jadi menjelaskan, mencoba memahami hati Haikal saat ini. Aku tahu ia pasti akan kembali terluka, jika aku berbicara sebenarnya, melihat seorang lelaki yang persis dengan Rey. Mungkin rindu yang menggebu, dan terus meningkat bak langit ke tujuh ini membuatku terus berhalusinasi seakan-akan kekasihku itu masih ada, dan masih bersamaku. ‘Sadarlah, Viv. Ada hati yang harus kamu jaga,' batinku sambil menatap lelaki yang bersamaku. “Kita ke tempat Lesta dan Alisa dulu ya, sekalian kita lihat hasil pengumumannya.”Aku mengangguk. Bak seorang putri raja, aku berjalan santai dengan tatapan yang terus ke depan, sedangka
“Viv, lihatlah. Bintangnya banyak sekali,” ucap Haikal sambil menunjuk langit yang bertaburan dengan bintang, kerlap-kerlip sinarnya begitu indah. Hingga mampu membuatku menyunggingkan senyum menatapnya. Kata orang, seseorang yang sudah tak ad lagi di dunia, mereka menjadi bagian dari bintang di sana, dan semoga saja ada Reynan yang kini melihatku tengah tersenyum bahagia. “Iya,” ucapku. Aku dan Haikal kini tengah berdiri di atas balkon dengan menatap langit, aku mengenakan pakaian tidur dengan atasan dan bawahan berbahan kaos, sedngkan ia hanya mengenakan pakaian pendek dengan kaos tipis. Angin sepoi menyapa, merengkuh kami dalam kesyahduan malam ini.“Kamu tahu, Viv. Lima tahun lamanya aku berusaha membencimu, Namun, selama itu pula justru aku menyakiti diriku sendiri.”Lelaki itu tersenyum tipis dengan pandangan yang masih terpaku dengan bintang bertaburan. “Aku tak pernah menyangka hari ini tiba, aku benar-benar bisa membelaimu. Bisa merasakan kehadiranmu dengan nyata. Aku ba
“Hari ini aku sengaja ambil libur, Viv. Kamu mau kan kita jalan-jalan?” ucap Haikal sambil menyisir rambutnya yang basah. “Apa gak apa? Bukankah bisnismu begitu penting untukmu?” Aku mencolokkan ujung kabel yang terhubung dengan hair dryer. “Gak ada yang lebih penting dari kebahagiaanmu.” Aku tersenyum, sambil menatap wajahku di depan cermin. Parasku yang cantik kinj tengah tersenyum, mencoba belajar berdamai dengan takdir. “Sinj aku bantu,” ucap Haikal yang kini mengambil barang yang kupegang, di sisirnya rambutku sedikit demi sedikit sambil mengarahkan benda pengering itu ke rambut panjangku yang masih basah. Aku menatapnya dari cermin, lelaki bertubuh tegap tinggi dengan perut yang sedikit buncit itu tampak begitu serius dengan tugas salon dadakannya. Terkadang ia mengalihkan pandangan ke arah cermin, hingga pandangan kami saling beradu, lalu beberapa detik kemudian kami kembali fokus degan apa yang kami lakukan, Haikal mengeringkan rambutku dan aku memoleskan bedak ke wajahku
“Viv, kamu kemana saja? Aku mencarimu.” Terdengar Suara parau dari lelaki yang begitu kurindu, bahkan tanpa melihatpun aku sudah tahu kalau itu ia, ditambah lagi dengan wangi yang sama dengan aroma khas bos Aroganku. “Viv, aku rindu kamu,” ucapnya sambil mengeratkan pelukan, meninggalkan rasa getir bersamaan dengan rasa sesak di dada. Ada rasa bahagia yang menyeruak, tapi mungkinkah? Atau aku hanya berhalusinasi?“Kamu tidak rindu denganku, Viv?” tanyanya lagi, mendekatkan wajahnya ke pundakku. Bahkan deru nafasnya yang tak beraturan itu pun terasa di tengkuk leher, bersamaan dengan rasa hangat. Aku terdiam, masih mencoba mencerna dengan apa yang terjadi. Menatap ke bawah hingga menampakkan bayangan lelaki yang kini mengeratkan pelukan dari belakang. Aku bahkan sengaja mencubit lenganku untuk memastikan kalau ini nyata. “Selama ini kamu kemana, Viv? Berulang kali aku kerumahmu, tapi kosong. Santoso pun tak tahu menahu tentang keberadaanmu.”Ungkapan ini membuatku tersadar kalau in