"Apa?” Aku masih tak percaya dengan semua yang terjadi, merasa bersalah dengan semuanya. Dahlh sehari ada 2 kantor yang terbakar.Reynan mengambil ponsel dalam sakunya, mencari nama seseorang dan meletakkannya di dekat telinga. “Apa maumu? Tidak bisa kah kamu bertarung dengan sehat?” Samar-samar kudengar tawa yang menjadi jawaban dipanggilan itu, tawa yang begitu tak asing. Dari Haikal. Kenapa laki-laki itu tak ada henti-hentinya menggangguku? Aku masuk ke dalam mobil bersama Reynan, lalu lelaki itu menekan pedal gas begitu dalam, hingga tubuhku sedikit terguncang ke depan, merasakan pantulan. “Eh, maaf,” ucap Rey yang kini merasa bersalah. Sepanjang perjalanan tak ada kata yang keluar dari bibir kami. Saling membisu satu sama lain. Aku kembali dihadapkan oleh rasa bersalah, seperti saat dulu toko roti itu gulung tikar, batinku terus berkecamuk, apa Haikal akan melanjutkan aksinya? Apalagi yang akan ia lakukan? Kenapa ia tak ada habis-habisnya mengganggu hidupku? Apa tidak cuk
“Vivian, ayo pulang!”“Baik, Pak.”Wanita cantik berambut panjang itu mengekoriku, berjalan sedikit kebelakang dariku. Jujur, aku ingin penyetaraan diantara kami, bisa berjalan bergandengan bersama menatap masa depan. ‘Viv, bagaimana caranya supaya aku bisa kembali mengambil hatimu. Kenapa hatimu lebih keras dari apa yang aku bayangkan? Tidak kah kamu memahami bagaimana perasaanku saat ini? Aku ingin kembali mengulang masa-masa indah saat kita bersama.’“Pesan dari siapa, Viv?” tanyaku ketika ia terus terfokus kepada ponselnya.“Bukan dari siapa-siapa, Pak. Hanya dari Alisa yang memberikan info kabar ibu saat ini.”“Bagaimana kabar ibumu sekarang?”“Sudah lebih baik dari kemarin.”“Syukurlah.”“Pak, bukankah ini jalan pulang?” tanya Viv ketika aku mengambil jalur yang berbeda dengan arah kantor. “Aku mau ke Bogor, lihat cabang yang terbakar di sana. Kamu kuantar pulang.”“Aku gak boleh ikut?” “Kamu di rumah saja, rencana aku ada acara menginap juga, sekalian meeting intern kepala
Ponselku bergetar, dan mendapati nama pak De di dalamnya. [ Mungkin pak De egois, Viv. Tapi pak De mohon! Kunci utama masalah ini ada di kamu. ]Ada rasa sakit ketika membacanya, benar saja aku adalah penyebab dari semuanya, aku tak harusnya egois dan membiarkan orang-orang terdekatku menjadi korbannya. Awalnya bapak, ibu, Alisa, lalu Reynan, dan kini pak De. Semua orang yang menyayangiku justru akan berakhir dengan menyedihkan. Apakah aku harus terus egois?“Pesan dari siapa, Viv?” tanya Rey yang kini melirik ke arahku, hingga beberapa saat kemudian bola matanya kembali terfokus kepada jalanan. Aku akui terlalu berat bagi Reynan mendapati kenyataan dua perusahaannya terbakar dalam satu waktu sekaligus, dan semua karena egoisku. “Bukan dari siapa-siapa, Pak. Hanya dari Alisa yang memberikan info kabar ibu saat ini.”‘Maafkan aku ya, Rey, yang sengaja berdusta. Aku tak ingin kembali memberimu beban pikiran dengan masalah-masalahku.’Untung saja Reynan tak menyadari dustaku, padahal b
“Tidak, aku hanya kesusahan bernafas. Pelukanmu terlalu erat,” dustaku. Aku mencoba menutupi rasa ketakutan yang begitu hebat. Lelaki itu manggut-manggut, mendongakkan wajahku dan menatapku dengan seksama.“Kamu menangis?” tanyanya yang sepertinya menyadari sudut mataku yang basah. “Aku hanya rindu, Ibu. Mendadak aku ingin bertemu dengannya.”Lelaki itu tersenyum, senyum yang tadinya tampak mengerikan kini mendadak hangat. “Jika kamu berkenan, kamu ajak ibu dan Alisa tinggal di sini. Kamu bisa memilih siapapun dokter yang kamu tunjuk jadi dokter pribadi ibumu.”Aku ternganga, melihat lelaki yang kini tepat di depanku. ‘Benarkah?’“Ini kartu debit ku, kamu bisa memakainya sesuka mu. Belilah pakaian sebanyak yang kamu inginkan, bahkan jika lemari itu tidak muat?” lelaki itu menunjuk lemari panjang di sisi kamar. “Aku akan kembali membelikannya untukmu.”Aku masih ternganga, tak percaya dengan kalimat yang barusan aku dengar. ‘Apa Haikal salah minum obat? Kenapa mendadak hangat?’Waktu
“Viv, apa yang kamu ucapkan? Aku di sini mau membawamu pulang, ibu meninggal.”Bagai sengatan listrik menjalar ke otakku, mengirimkan sinyal ke syarat-syaraf tubuh lainnya, hingga hatiku teramat sangit. Benarkah apa yang aku dengar? “omong kosong apa yang kamu ucapkan, Rey?” Dua bola mataku menatap kepada bos Aroganku. Yang kedepannya mungkin hanya sebatas mantan bos. “Viv, ayolah! Kita pulang sekarang !” ucapnya lagi sambil kembali memegang tanganku. Detik ini aku masih mencoba untuk positif thingking. Aku yakin ibu baik-baik saja. Terakhir aku lihat, tadi pagi ibu sangat sehat, keadaannya membaik. Itu hanya alasan Reynan agar aku mau ikut bersamanya. “Lepaskan tangan Vivian!”Haikal dengan gemeletuk giginya, ikut membuka suara. Reynan menatapku sayu. “Viv, kamu sungguh tega. Aku tak pernah berpikir kamu bisa sejahat ini.” Reynan melepas tanganku, lalu berlalu begitu saja. Hanya tampak punggung berbalut pakaian mahalnya yang berjalan menjauh.Semua drama telah berakhir, para pe
Aku bergegas turun ketika kendaraan ini berhenti. Secepat kilat kupercepat langkahku untuk masuk, hingga terdengar suara lantang yang menusuk nuraniku. “Untuk apa kamu ke sini, Kak? Kamu durhaka kepada ibu!”Wanita cantik berpakaian hitam itu menatapku sinis, begitupun dengan lelaki yang berada di sampingnya. Hanya memandang sesaat dan kembali menatap jasad yang telah terbujur kaku. Air mataku luruh, bersamaan dengan rasa bersalah yang kian memuncak. Aku tak peduli betapa sorot mata yang kini memandang heran ke padaku. Mungkin semua orang yang hadirpun berpikiran sama dengan Alisa. Aku adalah anak durhaka, anak yang tak berbakti kepada ibunya. Aku turut serta mengantar ibu di peristirahatan terakhirnya, menatap gundukan tanah yang kini penuh dengan taburan bunga. Jika pagi tadi rasa bahagia ini setinggi langit. Sekarang semua berbanding terbalik, serendah dasar lautan. Aku bahkan masih sulit untuk percaya jika wanita yang tertutup tanah itu adalah wanita yang melahirkan ku. Masih i
Kali ini aku baru menyadari, bahwa semua yang dilakukan Haikal kepadaku dan bapak adalah ajang balas dendam. Aku kini terisak, bingung sendiri dengan hati yang kacau balau, bahkan untuk sekedar menyesalpun percuma. Andai saat itu bapak membiarkan orang tua Haikal begitu saja, mungkin tak akan ada bapak dan ibu yang meninggalkan aku dan alisa. Tak akan ada penghinaan dam kekejamannya Haikal. Andai saat itu bapak tidak mengedepankan hatinya, mungkin ini semua tak akan terjadi. Aku masih akan tetap menjadi gadis cantik yang bisa bermanja dengan ibu, dengan kekayaan yang ada. Tidak harus berkatung-katung, dan hidup dengan belas kasihan seperti iniPlakk Sebuah tamparan keras melayang ke arah pipi lelaki di depanku. Aku tak kuasa menahan amarah yang terus menumpuk di hatiku. Aku tak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi padaku. Aku sudah tak memiliki gairah untuk hidup. Bahkan aku berharap Haikal melukai dan membuat aku meregang nyawa saat ini juga. Lelaki itu tak merespon, hanya dia
POV HaikalPlakkSebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku menatap tajam ke arah wanita di depanku, wajah manis yang biasa terlihat ketakutan itu mendadak seperti harimau yang tengah melawan musuhnya. Tak terselip rasa takut walaupun sedikit.“Harusnya aku memaksa bapak, untuk meninggalkan bapak dan ibumu di lokasi kejadian. Hingga tak akan ada balas dendam darimu. Asal kamu tahu, dengan nuraninya bapakku, ia membawa orang lain yang tak ia kenal menuju rumah sakit, dan aku tak pernah menyangka jika justru bapakkulah yang terfitnah menjadi pelakunya. Dengan dua bola mataku ini, aku bersaksi, dan bahkan aku berani bersumpah atas nama kedua orang tuaku, bapakku tak bersalah.”Kalimat itu terdengar lantang, dengan penuh emosi, bahkan aku tahu sekali kalimat itu nyata dari dasar hatinya. Lalu? Apa yang kuanggap selama ini salah?Vivian berlalu, menyisakan tanda tanya besar dalam benakku. Aku kembali duduk di kursi goyang, menatap jauh ke langit yang bertebaran bintang-bintang. Entah, s