“Permintaan Tuan, Bi?”“Iya, Non. Ini itu kebiasaan tuan waktu muda, meminta dibuatkan banyak makanan lalu dibawa ke yayasan yatim piatu. Sayang kebiasaan ini mulai menghilang saat ibunya Tuan meninggal.”“Ha?” Aku melongo mendengar penuturan bibi, masih tak percaya dengan penjelasan yang baru ku dengar. “Hihi, nona kaget ya?” Wanita paruh baya itu tersenyum.“Sama, bibi juga,” imbuh bibi dengan senyuman yang makin melebar. “Semenjak kepulangan Tuan tadi siang bersama Nona, tuan senyum Mulu, bahkan semua pelayan tidak ada yang kena semprot sama sekali.”“Benarkah, Bi?”“Sepetinya obat dari Nona, bekerja sangat hebat kepada Tuan.”‘Obat? Apa maksud bibi? Seingatku, aku tak pernah memberi obat apapun Haikal, bahkan di saat aku membencinya dengan sangat, aku tak pernah berpikir ke arah itu. ‘“Obat apa, Bi?”.Aku masih penasaran dengan penjelasan bibi yang terkesan ambigu. “Ah, Nona. Kenapa susah pahamnya. Obat cinta, Non.” Wanita itu terkekeh sendiri. Sedangkan aku masih mencerna uc
“Saya tidak bersalah, Pak!” Dua orang lelaki berpakaian seragam polisi itu memborgol kedua tangan Haikal, dan di belakangnya ada Alisa dan Reynan yang tengah tersenyum menatapku. Binar mata yang indah, dan begitu kurindukan. Alisa setengah berlari menghampiri, kupeluk tubuhnya yang sepertinya lebih berisi. Reynan tampaknya benar-benar menjaga adikku dengan baik, bahkan penjagaan ia lebih baik dari apa yang pernah aku lakukan. “Kak Vivian,” ucap wanita itu lirih dengan mata yang kini berkaca. “Its okay.”Aku menyeka air mata itu agar membasahi pipi alis yang mulai chubby. “Kamu jelaskan saja di kantor,” ucap salah satu polisi dengan membawa lelaki itu pergi. Saat berpapasan dengan Reynan, tampak sebuah senyum puas terbit dari bibirnya. Senyum yang mengantar Haikal ke jeruji besi, dan entah kenapa aku tidak bahagia melihat peristiwa ini. “Sa, itu kenapa Haikal di bawa ke kantor polisi?”“Sudahlah, Kak. Jangan pikirkan Kak Haikal, yang terpenting kita bisa berkumpul kembali, kakak
“Kenapa semenjak kakak pulang dari rumah kak Haikal, lebih sering melamun? Apa kakak gak bahagia di sini?”Aku membalikkan tubuhku, menghadap wanita cantik yang tengah menatapku, kubelai rambutnya yang indah. “Bukan seperti itu adikku yang bawel, Kakak hanya tidak ingin terus hutang budi tinggal di rumah ini,” dustaku. “Rumah kita sedang di renov, Kak. Aku juga minta sama Kak Reynan untuk dibuatkn kolam ikan kecil di depan rumah.”“Alisa?” aku mendelik menatap wanita itu. “Kak Reynan yang tanya, Kak, mau request apa rumahnya? Ya Alisa jawab saja.”Aku terus menatap tajam ke arahnya “Alisa mau mandi, Kak. Alisa sudah terlambat.” Tanpa menunggu jawabanku, gadis kecil itu langsung lari masuk ke dalam kamar mandi. **“Selamat pagi, Pak!”“Selamat pagi, Pak!” Ucapan salam yang terdengar dari beberapa staf kntor itu membuatku tersadar, di mana aku sudah mampu menghirup udara kebebasan. Suasana yang amat sangat aku rindukan. Aku mengekori Bos ku yang berjalan lurus tanpa menatap, sesek
“Bukan karena itu, Pak.”“Lalu?”“Aku tidak ingin anak-anakku memiliki ayah yang arogan dan otoriter. Yang bertindak semena-mena tanpa peduli kasta di bawahnya.”Lelaki itu tersenyum. “Aku bisa buktikan kalau aku tidak sepeti itu, Viv!”“Aku tidak butuh ucapan. Permisi. Saya printkan datanya ulang.”Aku menunduk hormat dan meninggalkan, kembali ke meja kerjaku, dan membuat salinan laporan. Tidak lupa menghubungi petugas kebersihan untuk membersihkan ruangan Reynan. Sesaat setelah seorang lelaki bertubuh kurus itu masuk membawa alat pel, ponselku berdering, dan aku bergegas mengangkat panggilan tersebut. Ulah apalagi yang akan dilakukan Reynan? Memintaku kembali untuk membersihkan ruangannya? “Ada perlu apalagi, bos Reynan yang terhormat. Apa akan memintaku membersihkan ruanganku seperti dulu?”“Aku Haikal, Viv.”Suara yang tampak berbeda itu terdengar di indraku, hingga kulihat layar ponselku dan mendapati nama yang berbeda. “Haikal” bukankah ia sedang ditahan? “Viv, jangan matikan
[ Aku tunggu kamu di bawah]Kembali kubaca pesan yang beberapa saat kubiarkan begitu saja, berharap lelaki yang mengirim pesan tersebut sudah kembali dan mengurungkan niatnya.Aku kembali menyibak sedikit gordennya, terlihat mobil sedan hitam dengan warna mengkilat itu masih ada di parkiran. Bagaimana dengan Reynan? Apakah ia mau mengijinkanku untuk beberapa jam meninggalkan jam kantor? Jika harus jujur kepadanya tentang alasan aku ijin, sudah pasti aku tak akan mengantongi ijin tersebut. Lelaki yang tengah berjalan melewati ku, mendadak menghentikan langkahnya. Aku dibikin spot jantung dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Mau ikut makan siang, Viv?”Aku menggeleng. “ Terima kasih, aku sudah pesan makanan online.”“Ya sudah.”Tanpa banyak tanya lelaki itu melangkah pergi, dan aku bisa bernafas dengan sedikit lega. Mungkin ini cara semesta untuk mempertemukan ku kembali kepada Lesta. Gadis cantik yang tengah butuh banyak dukungan. Secepat kilat aku turun ke lantai bawah, sambil me
Gadis kecil itu mengibaskan rambut panjangnya dan melakukan gerakan ala-ala kartun wanita cantik tersebut, hingga aku tersenyum senang melihatnya. Meskipun Lesta bukan adik kandungku, melihat ia tengah tersenyum bahagia pun, membawa energi positif tersendiri. “Aku pasti ikut dong.”“Hore !!!” Gadis kecil itu tampak bertepuk tangan riang, hingga beberapa saat kemudian ponselnya diraih seorang perawat, ia meminta ijin untuk mematikan panggilan, karena saatnya Lesta untuk makan siang. “Makan siang yang banyak yang sailor moon,” ucapku ketika panggilan itu hendak terputus. Lesta yang mendengar nama panggilan terbarunya itu sontak kembali kegirangan dengan binar mata yang sangat indah. Hingga beberapa saat kemudian panggilan terputus. Alangkah terkejutnya aku ketika ponsel tersebut, menampilkan layar depan, walpaper ponsel Haikal adalah foto gambar diriku, foto yang sama dengan saat 5 tahun lalu. Aku mengenakan gaun pernikahan putih nan indah, hingga beberapa saat kemudian Haikal data
“Ayo turun!” Lelaki itu sedikit menjauh, dan hendak membuka pintu mobilnya. “Haikal, tunggu!”Aku mendekat dan menarik lengannya. Kenapa mendadak perasaanku tak karuan seperti ini? “Viv, mau ngapain?” tanya lelaki berkaca mata hitam tersebut. Ia melepas sambungan pandangannya, lalu menatapku penuh arti.“Aku hanya mau mengganti perban yang kamu pakai,” ucapku sambil menahan tangan itu, melepas balutan yang terlihat kotor, lalu membersihkan lukanya dan kembali memperban lengan tersebut. Untung saja di tas yang biasa aku bawa kerja, selalu ada obat-obat p3k. “Harusnya kamu tak sebaik ini kepadaku?”“Kenapa? Bukankah sesama makhluk bumi harus saling membantu? Manusia ditakdirkan memiliki otak dan hati, yang bisa digunakan untuk berpikir dan merasakan. Termasuk rasa kemanusiaan.”“Viv!”“Hem...”“Apakah kamu melakukannya hanya karena rasa kemanusiaan?”Aku mengangguk, dengan mata yang masih terfokus dengan kassa, dan tangan yang terus membalut luka tersebut. “Kamu tak pernah memilik
Au, kepalaku,” ucap Reynan yang kini memegangi kepalanya, ditekannya pedal gas dengan mendadak, hingga mobil ini terhenti dan tubuh kami sedikit terpental. “Kamu kenapa, Rey?” Terlihat Reynan menahan sakitnya dengan mendekap kepalanya sendiri. “Rey, kamu kenapa?” Aku bingung sendiri harus berbuat apa. Andai aku bisa menyetir mobil mungkin aku akan menggantikan posisinya dan membawanya ke rumah sakit. Tapi untuk sekarang ? Aku sekilas menatap jalanan, tampak sepi, tak ada kendaraan yang lewat hingga tak ada yang bisa kumintai tolong. “Rey, kamu tidak apa-apa kan?” Aku mengelus rambutnya, dan ia menoleh ke arahku, untuk sesaat wajah kami saling bertatapan dan mendadak sebuah cengiran tersungging menyebalkan di wajah lelaki di depanku. “Kamu khawatirkan dengan keadaanku?” Lelaki itu mengangkat salah satu alisnya ke atas, kemudian terkekeh, dan kembali menyalakan mesin mobilnya. “Bercandamu tidak lucu,” ucapku sambil membuang muka, memilih menatap jalanan melalui jendela pintu mob