Gadis kecil itu mengibaskan rambut panjangnya dan melakukan gerakan ala-ala kartun wanita cantik tersebut, hingga aku tersenyum senang melihatnya. Meskipun Lesta bukan adik kandungku, melihat ia tengah tersenyum bahagia pun, membawa energi positif tersendiri. “Aku pasti ikut dong.”“Hore !!!” Gadis kecil itu tampak bertepuk tangan riang, hingga beberapa saat kemudian ponselnya diraih seorang perawat, ia meminta ijin untuk mematikan panggilan, karena saatnya Lesta untuk makan siang. “Makan siang yang banyak yang sailor moon,” ucapku ketika panggilan itu hendak terputus. Lesta yang mendengar nama panggilan terbarunya itu sontak kembali kegirangan dengan binar mata yang sangat indah. Hingga beberapa saat kemudian panggilan terputus. Alangkah terkejutnya aku ketika ponsel tersebut, menampilkan layar depan, walpaper ponsel Haikal adalah foto gambar diriku, foto yang sama dengan saat 5 tahun lalu. Aku mengenakan gaun pernikahan putih nan indah, hingga beberapa saat kemudian Haikal data
“Ayo turun!” Lelaki itu sedikit menjauh, dan hendak membuka pintu mobilnya. “Haikal, tunggu!”Aku mendekat dan menarik lengannya. Kenapa mendadak perasaanku tak karuan seperti ini? “Viv, mau ngapain?” tanya lelaki berkaca mata hitam tersebut. Ia melepas sambungan pandangannya, lalu menatapku penuh arti.“Aku hanya mau mengganti perban yang kamu pakai,” ucapku sambil menahan tangan itu, melepas balutan yang terlihat kotor, lalu membersihkan lukanya dan kembali memperban lengan tersebut. Untung saja di tas yang biasa aku bawa kerja, selalu ada obat-obat p3k. “Harusnya kamu tak sebaik ini kepadaku?”“Kenapa? Bukankah sesama makhluk bumi harus saling membantu? Manusia ditakdirkan memiliki otak dan hati, yang bisa digunakan untuk berpikir dan merasakan. Termasuk rasa kemanusiaan.”“Viv!”“Hem...”“Apakah kamu melakukannya hanya karena rasa kemanusiaan?”Aku mengangguk, dengan mata yang masih terfokus dengan kassa, dan tangan yang terus membalut luka tersebut. “Kamu tak pernah memilik
Au, kepalaku,” ucap Reynan yang kini memegangi kepalanya, ditekannya pedal gas dengan mendadak, hingga mobil ini terhenti dan tubuh kami sedikit terpental. “Kamu kenapa, Rey?” Terlihat Reynan menahan sakitnya dengan mendekap kepalanya sendiri. “Rey, kamu kenapa?” Aku bingung sendiri harus berbuat apa. Andai aku bisa menyetir mobil mungkin aku akan menggantikan posisinya dan membawanya ke rumah sakit. Tapi untuk sekarang ? Aku sekilas menatap jalanan, tampak sepi, tak ada kendaraan yang lewat hingga tak ada yang bisa kumintai tolong. “Rey, kamu tidak apa-apa kan?” Aku mengelus rambutnya, dan ia menoleh ke arahku, untuk sesaat wajah kami saling bertatapan dan mendadak sebuah cengiran tersungging menyebalkan di wajah lelaki di depanku. “Kamu khawatirkan dengan keadaanku?” Lelaki itu mengangkat salah satu alisnya ke atas, kemudian terkekeh, dan kembali menyalakan mesin mobilnya. “Bercandamu tidak lucu,” ucapku sambil membuang muka, memilih menatap jalanan melalui jendela pintu mob
Aku melirik ke arah adikku. Bukankah ia bilang kalau kita diminta untuk makan? Kutatap tajam gadis kecil yang beberapa hari ini seperti menjauh dariku. Ia meringis. “Kak Reynan memintanya lewat ponsel.” Tanpa merasa bersalah Alisa menampakkan ponsel yang dipegangnya, sebuah percakapan dengan nama Kak Reynanku. Sejak kapan ia membubuhi kata ku di nama Reynan, apa maksudnya? Ah, tidak mau ambil pusing, aku menyantap makanan yang tersaji di meja, sup jagung dan ayam goreng menjadi pilihanku malam ini. **“Kak!” “HM,”“Kakak masih ngantuk?”“Iya. Kan ini masih jam satu dini hari, Sa. Belum saatnya bangun,” ucapku sambil melirik jam Beker di atas meja.“Kak.”“Ada apa sih, Sa?”Bibirku mengeluarkan suara, tapi tubuhku mengeratkan pelukanku ke guling bermotif ini. “Kak, Kak Reynan belum pulang sampai sekarang. Perasaan Alisa gak enak.”“Reynan itu pebisnis besar, Sa. Jadi wajar kalau ia pulang larut, atau mungkin ia tidur di apartemen miliknya.”“Tapi kayaknya enggak, Kak.”“Sa, sejak
“Kak, makan dulu! Kak Reynan juga harus kuat, harus sehat, kak Vivian pasti sedih kalau lihat kakak seperti ini.”Aku tersenyum getir. ‘Iyakah? Aku bahkan tak yakin kalau Vivian pernah memikirkan aku. Aku bahkan tak percaya dengan semua yang Vivian lakukan, gadis yang dulunya manja dan selalu seenaknya sendiri itu, memang benar-benar tak bisa berubah. Untuk apa ia kembali kepada Haikal? Karena dia lebih kaya dari aku kah?’“Kak Reynan makan dulu ya,” ucap Alisa yang kini memberikan piring yang telah berisi nasi dan lauknya. Aku hanya menatap, tanpa rasa ingin menjajalnya meskipun sedikit. Penolakan Vivian tempo lalu, benar-benar mengiris hatiku, apalagi saat aku bilang kalau ibunya meninggal. Wanita cantik berambut panjang itu sama sekali tak merespon. Lalu, kedatangannya saat ibu Diandra hendak dimakamkan? Dia menyadari kesalahannya? Terlambat, sangat terlambat. Andai ia tidak berbuat konyol dengan datang di rumah Haikal pasti mereka tak akan kehilangan ibunya. “Kak Reynan, dengar A
Aku menunggu mereka di parkiran, bahkan sengaja mobil kuletakkan di sebelah mobil Haikal, bagaimana reaksi Vivian setelah ia ketahuan mencuri jam kerja? Benar saja, tak berapa lama mereka datang, dan Vivian tampak terkejut ketika menatapku, kucari jalan agar Vivian ikut kembali, tapi sayang, semua tak seindah bayanganku. Vivian memilih pergi, melepaskan tanganku, meninggalkan aku yang tengah berdiri mematung menatapnya. Tak berhenti di situ, aku melayangkan sebuah panggilan kepada adiknya, memastikan ucapan Vivian kalau ia akan mengunjungi undangan di sekolah Alisa. “Iya, Kak Rey. Ada apa?”“Sa, apa hari ini ada pertemuan wali murid di sekolah?”Sesaat tak terdengar jawaban dari sebrang sana. “pertemuan apa, kak? Wali murid apa? Bahkan sekarang Alisa sudah di rumah, ini lagi bikin brownies sama bibi.”“Terima kasih, Sa.”Tak menunggu lama, aku bergegas memutar balikkan mobil, melajukan mobil ini begitu kencang, hingga sesaat kemudian terdengar teriakan. Aku menekan pedal rem begi
“Kak, Kak Reynan, Kak. Kak Reynan.”“Iya Reynan kenapa?”“Kak Reynan lagi kritis,”“Kritis, Sa?” “Iya. Kak Reynan lagi kritis. Tak sadarkan diri.”“Kamu tahu dari mana?”“Ceritanya panjang, kakak ke rumah sakit saja.”Aku mengambil tas yang kuletakkan di atas meja, meraih ponsel untuk memesan jasa ojek online, hingga aku hanya menunggu sebentar hingga kendaraan roda dua yang kutunggu tiba. Aku terus berjalan menapaki lantai rumah sakit, batinku terus merasa bersalah dengan semua yang terjadi. Apakah semua karena aku? Terus menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, berhubungan dengan darah dan lebam di dahi ia saat itukah? Atau karena penyakit lambungnya kumat?‘Viv, kenapa kamu sekhawatir ini?’Aku sedikit berlari menuju kamar Reynan, hingga tak tersadar kaki ini terpeleset dan aku terjatuh, ada sedikit memar di lututku, karena berbenturan dengan lantai keramik rumah sakit ini. Sedikit perih, tapi tak mengurungkan niatku untuk secepatnya masuk ke dalam kamar, aku sudah tak sabar me
“Hapus air matamu. Jangan tampakkan kesedihan di depannya.” Aku mengangguk, tersenyum tipis dan berlalu.Kubuka pintu kamar, dan mendapati Reynan ada di dalamnya, ia tengah duduk di tengah ranjang, dengan tangan kiri di infus, di depannya, tampak meja kecil dan sepiring makanan rumah sakit Lelaki itu mengernyitkan dahinya, lali tersenyum tipis menatap kearahku. Duniaku mendadak meremang, aku yang selalu berusaha sok kuat di depan lelaki itu, nyatanya menanggung perih menghadapi kondisi saat ini. Aku akui aku masih cinta dengannya, masih cinta bahkan sangat cinta. Aku hanya tak ingin cinta ini dijadikan alasan untuk aku terus merepotkan dia. Aku ingin bisa hidup sepadan dengan dia dan baru menjalani hubungan yang serius dengannya. Tapi melihatnya saat ini? Air mata rasanya hendak luruh, jika aku tak cepat-cepat untuk menyekanya. “Kamu ke sini, Viv?”“Ya iyalah, di kantor gak ada bos arogan terasa kurang.”Lelaki itu tersenyum miring. “Kamu rindu keberadaanku.”“Tidak!”‘Aku rindu