Aku bingung sendiri menghabiskan waktuku seperti apa, sendirian dikamar tanpa tau aktifitas apa yang dilakukan. Menatap langit kamar, berjalan ke balkon, kembali merebahkan diri. Ya, tak ada aktifitas berarti. Mungkin seperti ini juga yang dirasakan Lesta, hingga ia ingin memiliki kesibukan dan memiliki manfaat dalam hidupnya. Aku memegang ponselku, menatap satu-satunya foto reynan yang kumiliki. Ketika kita masih sekantor dan bersama, kami sengaja melakukan foto selfie sesaat setelah makan siang. Foto reynan yang melingkarkaj lengan ke bahuku, sedangkan aku yang terkaget justru menatap ke arahnya. Ya, seperti itulah pose dalam kamera. “Rey, kamu jahat! Kamu pergi ... Kamu tak menepati janjimu,” ucapku lirih sambil memperbesar kamera, kupandang wajahnya yang manis, mata yang bulat dengan senyuman yang indah, senyuman khas yang tak pernah kujumpai dari siapapun. Tak sadar kuusap gambar wajahnya, seakan benar-benar membelai lelaki berparas tampan itu. Hatiku semakin sakit, sekuat ap
“Viv, mau kemana?” langkahku terhenti ketika tangan ini di pegang dengan erat. “Haikal,” ucapku lirih, menatap lelaki berpakaian non formal yang tampak keheranan. Tangannya mengambil beberapa belanjaan yang tadinya aku pegang, ada beberapa stel pakaian beserta sepatu, tidak lupa juga untuk Alisa dan Lesta. “Mau kemana kamu?” tanyanya lagi. “E ... Itu ... Tadi ....” Aku tak jadi menjelaskan, mencoba memahami hati Haikal saat ini. Aku tahu ia pasti akan kembali terluka, jika aku berbicara sebenarnya, melihat seorang lelaki yang persis dengan Rey. Mungkin rindu yang menggebu, dan terus meningkat bak langit ke tujuh ini membuatku terus berhalusinasi seakan-akan kekasihku itu masih ada, dan masih bersamaku. ‘Sadarlah, Viv. Ada hati yang harus kamu jaga,' batinku sambil menatap lelaki yang bersamaku. “Kita ke tempat Lesta dan Alisa dulu ya, sekalian kita lihat hasil pengumumannya.”Aku mengangguk. Bak seorang putri raja, aku berjalan santai dengan tatapan yang terus ke depan, sedangka
“Viv, lihatlah. Bintangnya banyak sekali,” ucap Haikal sambil menunjuk langit yang bertaburan dengan bintang, kerlap-kerlip sinarnya begitu indah. Hingga mampu membuatku menyunggingkan senyum menatapnya. Kata orang, seseorang yang sudah tak ad lagi di dunia, mereka menjadi bagian dari bintang di sana, dan semoga saja ada Reynan yang kini melihatku tengah tersenyum bahagia. “Iya,” ucapku. Aku dan Haikal kini tengah berdiri di atas balkon dengan menatap langit, aku mengenakan pakaian tidur dengan atasan dan bawahan berbahan kaos, sedngkan ia hanya mengenakan pakaian pendek dengan kaos tipis. Angin sepoi menyapa, merengkuh kami dalam kesyahduan malam ini.“Kamu tahu, Viv. Lima tahun lamanya aku berusaha membencimu, Namun, selama itu pula justru aku menyakiti diriku sendiri.”Lelaki itu tersenyum tipis dengan pandangan yang masih terpaku dengan bintang bertaburan. “Aku tak pernah menyangka hari ini tiba, aku benar-benar bisa membelaimu. Bisa merasakan kehadiranmu dengan nyata. Aku ba
“Hari ini aku sengaja ambil libur, Viv. Kamu mau kan kita jalan-jalan?” ucap Haikal sambil menyisir rambutnya yang basah. “Apa gak apa? Bukankah bisnismu begitu penting untukmu?” Aku mencolokkan ujung kabel yang terhubung dengan hair dryer. “Gak ada yang lebih penting dari kebahagiaanmu.” Aku tersenyum, sambil menatap wajahku di depan cermin. Parasku yang cantik kinj tengah tersenyum, mencoba belajar berdamai dengan takdir. “Sinj aku bantu,” ucap Haikal yang kini mengambil barang yang kupegang, di sisirnya rambutku sedikit demi sedikit sambil mengarahkan benda pengering itu ke rambut panjangku yang masih basah. Aku menatapnya dari cermin, lelaki bertubuh tegap tinggi dengan perut yang sedikit buncit itu tampak begitu serius dengan tugas salon dadakannya. Terkadang ia mengalihkan pandangan ke arah cermin, hingga pandangan kami saling beradu, lalu beberapa detik kemudian kami kembali fokus degan apa yang kami lakukan, Haikal mengeringkan rambutku dan aku memoleskan bedak ke wajahku
“Viv, kamu kemana saja? Aku mencarimu.” Terdengar Suara parau dari lelaki yang begitu kurindu, bahkan tanpa melihatpun aku sudah tahu kalau itu ia, ditambah lagi dengan wangi yang sama dengan aroma khas bos Aroganku. “Viv, aku rindu kamu,” ucapnya sambil mengeratkan pelukan, meninggalkan rasa getir bersamaan dengan rasa sesak di dada. Ada rasa bahagia yang menyeruak, tapi mungkinkah? Atau aku hanya berhalusinasi?“Kamu tidak rindu denganku, Viv?” tanyanya lagi, mendekatkan wajahnya ke pundakku. Bahkan deru nafasnya yang tak beraturan itu pun terasa di tengkuk leher, bersamaan dengan rasa hangat. Aku terdiam, masih mencoba mencerna dengan apa yang terjadi. Menatap ke bawah hingga menampakkan bayangan lelaki yang kini mengeratkan pelukan dari belakang. Aku bahkan sengaja mencubit lenganku untuk memastikan kalau ini nyata. “Selama ini kamu kemana, Viv? Berulang kali aku kerumahmu, tapi kosong. Santoso pun tak tahu menahu tentang keberadaanmu.”Ungkapan ini membuatku tersadar kalau in
“Reynan,” ucapku lirih, yang terasa berat kala menatap lelaki itu mulai menjauh.Angin berhembus, menyapu rambutku dan menerbangkan benda panjang nan lebat itu menutupi sebagian muka. Aku masih terdiam, tak ada gerak tubuhku yang berarti, menatap nanar lelaki yang kini terus menjauh. Ada rasa sakit yang menyeruak tanpa aku bisa menjelaskan. Biasanya, rey lah yang paling hobi menyibak rambutku tatkala diterpa angin seperti ini, membelai lembut dengan menyuguhkan senyum indahnya. Saat ini, semua berlalu begitu saja.Rey masih mundur ke belakang, namun focus matanya kini beralih ke jari manisku. Sebuah cincin indah tersemat, bersamaan dengan sumpah setia aku dan Haikal, cincin pernikahan yang baru beberapa hari menemaniku. Mata Rey yang tadinya basah, kini mulai menjatuhkan air mata. Namun, dari bibirnya tak terucap sedikitpun perkataan. Kalimat-kalimat cinta yang biasa ia suguhkan bersamaan dengan mimpi yang harusnya saat ini kita bina.Ingin rasanya aku berlari dan merengkuh tubuh itu,
“Kamu ….” Aku memukul tubuh di depanku. “Kamu … egois.”“Pukul saja, Viv, sekuat yang kau bisa. Itu akan lebih baik untuk mengungkapkan rasa kekesalanmu kepadaku.”Aku Kembali memukul dada bidang itu, kali ini lebih keras dari biasanya, bahkan tanpa sadar pukulan itu mengenai dada kiri haikal, tepat di jantungnya.Lelaki itu tersnyum, bahkan seperti tak merasakan kesakitan apapun, meskipun aku memukulnya dengan tenaga penuh.“LAkukan saja, Viv, sepuasmu. Tapi aku mohon, jangan pernah membenciku,” ucapnya dengan mata penuh harap, dan tangan yang meraih tanganku, didekatkannya telapak tanganku itu tepat di pusat jantung yang terus berdetak, hingga aku mampu merasakan getaran berirama itu dnegan sangat jelas, hanya saja tempo ketukan itu begitulah cepat.“Jika kamu pergi, detak jantung ini juga akan menghilang, Viv.”**Kami pulang, dengan wajah yang terus ku tekuk. Bahkan rencana sambangan ke pantipun batal, dua kresek yang berisi makanan dan keperluan di sana, kini tergeletak begitu sa
“E… iya. Aku dengar, Viv.”Gelagat aneh tiba-tiba terlihat dari raut muka Haikal, apakah ia mengetahui jawaban dari semua yang aku tanyakan?“Kamu kenapa mendadak aneh seperti ini? Apa ada yang kamu rahasiakan dariku?”“A-aneh gimana? Aku biasa saja, Viv,” ucapnya setengah terbata, benar-benar mencurigakan.“Eh, Alisa mulai aktif kuliah kapan?” tanya Haikal Kembali.Pembahasan tentang reynan kini beralih kepada kuliah Alisa, hingga aku tak bisa mengesampingkan pembahasan yang lebih penting dari semuanya. Ya, bagiku, masa depan alisa lebih penting dari pada rasa egoisku.“Kak, kenapa pulang cepat? Katanya lagi otw bikinin ponakan Lesta, ekspress ya?” Lesta menyapa dengan nada candanya, tak lupa dengan binar mata indah yang biasa ia tampakkan.“Dek, kakak lagi pulang lo, capek. Kenapa di candain kayak gini?”“Owh, ternyata bikin ponakan capek juga ya?” lagi-lagi Wanita cantik berambut panjang bak sailormoon itu menggoda kakaknya, bahkan terlihat jelas wajah lelaki yang ada di sebelahku