Share

05. Kenyataan Pahit

“Violet sehari tidak berulah sepertinya mustahil. Ibarat peribahasa, kertas yang direndam di air pasti basah.” Flo terlihat menggebu-gebu. Setelah berpapasan dengan Nolan dan Violet tadi, Flo langsung berasumsi sendiri kemudian mendoktrin orang lain dengan asumsinya tersebut.

“Sudah biasa kalau Violet menggoda Nolan. Buktinya mereka satu ruangan. Itu pasti ide Violet. Tapi, yang tadi bukan peribahasa, tapi perumpamaan.” Luna kali ini menyahut, mengoreksi di akhir.

“Aku membaca peribahasa tahun 2021. Yang kau baca mungkin peribahasa yang sudah lama, jelas beda.” Flo ini memang tipikal yang tidak mau disalahkan meski jelas bersalah. Sudah hal yang biasa jika Luna hanya mengiyakan meski sebenarnya gatal untuk mengajak berdebat.

Daripada memperdebatkan masalah peribahasa, Luna lebih tertarik untuk membahas Violet dan Nolan. “Apa Violet itu memakai pelet? Kalau iya, aku ingin tahu ia memakai pelet apa. Mungkin aku bisa mengikutinya.”

Flo jadi berpikiran yang sama dengan Luna. Dia mencoba menghubung-hubungkan dengan alasan Violet yang terpilih menjadi sekretaris Nolan. “Benar juga. Sepertinya Violet memang memakai pelet. Dia bisa dengan mudah terpilih menjadi sekretaris Nolan tanpa tes. Kalau memang benar—“

Flo memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka dengan menengok ke berbagai arah. “Aku juga ingin mengikuti jejaknya untuk menarik perhatian Jimin BTS kalau saja aku bertemu dengannya. Kalau kau, ingin menggunakan pelet itu untuk siapa?”

“Untuk Sylas.” Luna sepertinya sengaja menyalakan genderang perang dengan Flo.

“Sylas kekasihku? Sialan. Tapi, mana mungkin. Dia itu sudah tergila-gila denganku.” Flo kemudian memanggil Sylas. “Sayang, kau tergila-gila denganku bukan?” Flo terlalu percaya diri.

Sylas yang mendengar itu ingin menenggelamkan kekasihnya di bak mandi. “Aku tergila-gila dengan kopi. Mending aku minum kopi.” Sylas lebih memilih menyeruput kopinya yang mulai dingin.

***

Nolan merasa Violet sedang menghindarinya. Sebelumnya Violet juga sudah banyak menghindar, tetapi kali ini Nolan merasakan Violet tidak memberikan kesempatan untuknya bahkan untuk sekadar berbicara santai. Hanya kalau menyangkut pekerjaan saja Violet akan menanggapinya, selebihnya Violet akan terus berpura-pura sibuk, padahal tugas yang Nolan berikan tidak sebanyak itu sampai Violet terkesan tidak punya waktu.

Serius, Nolan mulai jengah. Keadaan seperti ini membuatnya serba salah. Dia tidak ingin menunjukkan perangai aslinya pada Violet, tetapi Violet justru semakin menguji kesabarannya. Nolan sudah menunggu jawaban dari pertanyaannya pada Violet tadi, tetapi sampai sekarang Violet masih membisu dan berkutat dengan pekerjaannya.

Bagi Nolan, Violet tidak menghormatinya sebagai atasan. Wajar jika Nolan tidak bisa menahan dirinya lagi.

“Kamu tidak mendengarkan saya? Apa jabatan kamu di sini lebih tinggi dari saya?!” Nolan marah. Pertama kalinya Nolan benar-benar marah pada Violet. Wajah Nolan yang merah dengan urat-urat leher yang terlihat nyaris keluar sudah membuktikan Nolan sangat emosi.

Violet sampai gemetar, matanya berkaca-kaca karena Nolan membentaknya.

“Jangan berpikir jika saya akan membedakan kamu dengan karyawan saya yang lain. Hanya karena kamu cantik, kamu jadi berpikir saya menyukai kamu?” Nolan mengambil napas. “Saya sudah pernah mengalami ini sebelumnya. Sekretaris saya sebelumnya sering menggunakan trik murahan, berpura-pura jual mahal, padahal jelas sedang mengincar saya. Tidak mempan. Kamu tidak lebih cantik dari wanita-wanita yang pernah saya temui. Saya Nolan Alvard, pria tampan dan kaya hanya akan memilih wanita yang sekelas dengan saya.”

Violet semakin menunduk dengan air matanya yang menetes bergantian,  jatuh membasahi kedua pipinya. Perkataan Nolan telak menyakitinya. Nolan merendahkannya.

“Kenapa kamu tidak mau berbicara dengan saya?” Nolan mengulangi pertanyaan yang sama seperti lima menit lalu.

“Ma-maaf, Bos.” Suara Violet jadi tersendat, efek dari menangis.

“Jangan membuat saya marah. Pekerjaan kamu saja belum benar.”

Nolan terlihat menyeramkan kali ini. Benar apa yang karyawan lain katakan tentang Nolan, dia adalah atasan yang sangat tegas, tidak segan untuk mengeluarkan kata-kata kasar. Nyali Violet seketika menciut.

“Ma-maaf Bos. Saya a-akan memperbaiki semuanya.” Violet menggigit bibir bawahnya.

Nolan memutar bola matanya. Pria itu mengembuskan napas kasar. “Berhentilah menangis kalau kamu masih mau saya pulangkan.”

Ancaman Nolan ternyata ampuh membuat Violet sedikit meredam tangisnya. Perlahan, Violet menaikkan wajahnya yang basah. “Saya mau pulang, Bos.”

“Nanti kalau sudah jam pulang.”

Sebenarnya Nolan tidak tega sampai membuat Violet menangis, tetapi ia terlanjur kesal karena Violet mengabaikannya. Nolan sudah menahan itu sejak kemarin.

“Bos, saya boleh makan siang?” Violet meminta izin itu karena waktunya memang sudah memasuki jam istirahat.

Namun, ini juga karena Nolan terlanjur kesal, ia sengaja ingin memberi hukuman untuk Violet. “Tidak. Sekarang kamu kerjakan tugasmu dulu sampai selesai.”

Terjeda beberapa detik saja Violet kembali bertanya. “Bos, saya boleh mengangkat panggilan?” Violet menunjukkan ponselnya yang tengah bergetar.

Ya Tuhan, Nolan merasa kepalanya nyaris pecah. Dia sebetulnya ingin melarang, tetapi Violet sudah menjelaskan lebih dulu siapa yang menghubunginya.

“Ini dari ibu saya, Bos. Pasti ada sesuatu yang penting, karena biasanya ibu saya tidak pernah menghubungi saya di jam kerja.” Violet menatap Nolan dengan sangat memohon.

Pada akhirnya Nolan mengangguk. Dia mengizinkan Violet mengangkat panggilan dari ibunya, tetapi masih di tempat itu dengan Nolan yang masih mengawasinya.

“Ada apa, Bu?” Violet langsung bertanya karena mendengar suara ibunya seperti sedang panik. Hanya selang beberapa detik setelah sang ibu menjelaskan pada Violet, wajah Violet mendadak ikut panik.

Nolan yang melihat perubahan raut wajah Violet seketika terkesiap.

“Bos, saya boleh pulang sekarang? Ayah saya sakit dan sekarang ada di rumah sakit. Saya ingin ke sana.”

Tidak ada alasan bagi Nolan untuk tidak memperbolehkannya. “Iya, kamu boleh pulang sekarang.”

“Terima kasih, Bos.” Violet langsung bergegas membereskan meja kerjanya sebelum berlari kencang meninggalkan perusahaan.

Nolan memastikan Violet sudah benar-benar pergi. “Kalau dia jadi kekasih saya, pasti sudah saya antar ke rumah sakit.”

Seketika Nolan lupa jika tadi ia telah memarahi Violet sampai gadis itu menangis. Nolan tidak bisa mengontrol emosinya, meledak begitu saja. Setelah itu jangan berharap Nolan akan menyesal kemudian meminta maaf. Dia Nolan Alvard, dalam kamus hidupnya kata maaf ibarat kata keramat.

“Tiba-tiba aku merindukan Aruna.” Nolan menggumam. Langkah terbaik saat ini memang menghubungi Aruna. Kehadiran Aruna mungkin saja kembali mengembalikan suasana hati Nolan.

Namun, ketika Nolan hendak menghubungi Aruna, suara wanita yang Nolan harapkan kedatangannya terdengar dari arah pintu.

Aruna datang.

Aruna berjalan mendekati Nolan yang setengah tidak percaya dengan kehadirannya. Waktunya tepat sekali karena Nolan baru saja memikirkannya.

Meskipun terkejut, Nolan tetap membentangkan lengannya untuk menyambut Aruna. “Kenapa kau tidak memberi tahuku kalau akan datang kemari?”

Aruna menyusupkan tubuh kecilnya di antara lengan Nolan. “Aku sengaja memberikan kejutan.”

Nolan semakin mengeratkan pelukannya pada Aruna. Dia juga sebenarnya rindu. Biasanya memang hampir setiap hari ia selalu menyempatkan waktu bertemu Aruna di apartemennya.

“Kamu selalu berhasil membuat saya terkejut.”

“Tapi kau tidak terkena serangan jantung, ‘kan?”

Tawa Nolan mengudara. Aruna memang pintar menciptakan suasana nyaman.

“Tidak. Tapi, kamu selalu membuat saya terkena serangan gairah.”

Kali ini Aruna yang tak bisa menahan tawanya. Nolan memang tidak pernah menahan kata-kata kotor untuk keluar dari mulutnya.

“Saya serius, sayang. Sudah tegang,” bisik Nolan yang sukses membuat Aruna merinding.

“Oh,  No. Nolan, ini di kantor.” Aruna mencoba menjauhkan tubuhnya dari Nolan, tetapi sayangnya percuma saja. Bahkan, Nolan tidak bergerak satu jengkal pun, lengannya juga masih melilit di pinggang ramping Aruna.

“Memangnya kenapa kalau di kantor? Bukankah kita dulu sering melakukannya di kantor?”

Nolan tidak berbohong kalau saat ini ia menginginkan Aruna.

Nolan butuh Aruna.

Mungkin Nolan sedikit memaksa, tetapi ia yakin Aruna tidak akan mempermasalahkan ini pada akhirnya.

Di detik kelima, Nolan mendorong tubuh Aruna sampai membentur badan sofa. Nolan sudah siap dengan posisinya sebagai sang dominan. Namun, Nolan tiba-tiba berhenti ketika hendak mencium Aruna, ia melihat orang yang lewat dari celah pintu ruangan kerjanya.

Nolan mengingat-ingat lagi. Dia merasa sejak Aruna datang, pintu itu tertutup. Aruna menutup pintunya lagi. Jadi, kemungkinannya hanya satu, ketika pintu itu terbuka adalah karena ada orang lain yang membukanya.

Perasaan Nolan mendadak tidak enak. Pikirannya langsung tertuju pada Violet.

Nolan memastikannya dengan berjalan ke arah pintu. Lalu, Nolan menoleh dan melihat Violet yang berlari menjauh.

Ini bagian teraneh dari Nolan. Kenyataannya, Nolan mengejar Violet, tetapi tidak memanggilnya. Langkah Nolan yang panjang ternyata tidak mampu mengejar Violet.

Violet, Nolan yakin itu Violet.

Violet melihatnya bersama Aruna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status