“Siapa Nolan yang kamu maksud? Saya?”
Violet terbelalak ketika pria lain datang.
“Bukan. Memang yang namanya Nolan cuma Anda.” Violet sengaja terlihat sinis.
“Saya juga Nolan. Arnolan Bregi.”
Sepertinya meladeni dua pria sinting sekaligus akan menyusahkan. Violet harus segera pergi dari kafe. Jangan sampai Nolan memergokinya di tempat ini.
“Maaf, aku harus cepat-cepat pergi, permisi.” Violet melewati begitu saja dua pria yang mengganggunya.
“Mau ke mana? Saya bisa jadi Nolan yang kamu maksud!”
Violet mengabaikannya. Dia kesal setengah mati.
***
Violet sebenarnya ingin menyembunyikan apa yang selama ini ia rasakan dari Grey. Namun, setelah berpikir ulang, Violet tidak bisa terus mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja saat Grey bertanya.
Sejak semalam kepala Violet terus berkecamuk. Dia tidak mau membuat Grey kecewa, tetapi ia juga tidak bisa menjadikan itu semakin menambah bebannya. Violet tahu ini sulit, ia tahu bagaimana Grey. Namun, daripada terlalu memikirkan reaksi Grey, Violet lebih berusaha untuk tidak menyakiti diri sendiri lagi.
Langkah Violet belum sepenuhnya mantap, masih setengah-setengah, tetapi ia mencoba berani. Grey ada di kursi kerjanya, sedang memainkan cangkir kopi, kesempatan yang tidak boleh Violet sia-siakan. Waktunya sangat tepat.
“Tumben ke sini? Jadi sekretaris bukannya sibuk?” sindir Grey, tepat ketika Violet baru saja sampai. Violet sengaja menghampiri Grey sebelum ke ruang kerjanya.
“Sibuk. Sangat sibuk. Aku tidak punya waktu seperti dulu. Harus menemani Nolan ke mana pun dia pergi. Di mana ada Nolan, di situ ada aku. Capek,” keluh Violet.
Grey tersenyum tipis kemudian mengambil cangkir berisi kopi di atas mejanya. Aroma kopi langsung menyeruak. Grey menyeruput kopi panas itu sedikit demi sedikit, tidak sampai tandas.
“Rasanya ingin kembali ke pekerjaanku yang dulu.” Violet masih mengeluarkan keluh kesahnya.
Grey menaruh lagi cangkirnya ke atas meja. “Sudah enak menjadi sekretaris. Kenapa malah ingin kembali lagi?”
“Aku bingung,” ucap Violet jujur.
Sekarang Grey juga bingung dengan jawaban Violet. Keningnya kontan berkerut. “Bingung kenapa?”
“Aku akan jujur sekarang, tapi janji tidak boleh marah.” Violet mewanti-wanti lebih dulu. Takut jika Grey akan memarahinya setelah tahu kebenarannya.
Dengan ragu-ragu Grey mengangguk. Itu adalah tanda persetujuan dari Grey, tetapi Violet masih belum percaya. Dia memastikan sekali lagi. “Janji ya?”
Grey mendengus kesal. Ponsel di saku kanannya lebih menarik ketimbang menunggu apa yang akan Violet katakan. “Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan? Kalau tidak mau mengatakannya—sudah, jangan dipaksa.”
Grey terlanjur kesal. Violet tahu Grey kesal.
Violet lantas memeluk Grey dari belakang. “Iya, Iya, maaf.” Violet mengatakan itu sambil terkikik.
Satu lengan Violet kemudian melepas dari leher Grey. Masih dari posisinya Violet terdiam sembari menggigit bibir. Violet tentu sedang menimbang, butuh waktu sekian detik sampai akhirnya bersuara.
“Sebenarnya aku bingung dengan diriku sendiri, Grey. Tentang misi kita.”
Mendengar itu, Grey terkesiap. Diam-diam Grey menyimak meski bola mata dan jemari panjangnya sedang sibuk dengan ponsel keluaran terbaru miliknya.
“Aku ingin dekat dengan Nolan. Tapi, saat dia mencoba membangun hubungan baik denganku, aku malah takut. Aku takut kalau Nolan memberikan harapan padaku—“
“Justru bagus. Itu artinya usaha kita ada perkembangan,” sela Grey. Sejak awal Grey memang masih melihat keraguan di mata Violet. Namun, Grey tetap memaksa, terus memberi dorongan sampai akhirnya Violet setuju. Grey percaya jika Violet hanya butuh waktu.
Kini Violet memutar tubuhnya menghadap Grey. Bokong sekalnya menyangga di tepian meja. “Itu yang menjadi permasalahannya. Aku takut dengan harapan itu Nolan akan mematahkan hatiku, menghancurkanku.”
Grey mengerutkan kening lagi. “Kenapa kau terdengar sangat yakin Nolan akan melakukannya?”
Mutlak, Violet gelagapan. Ucapannya jadi tidak jelas. “A-aku—bukan. Ah, maksudnya mungkin dugaan. Menduga-duga saja.”
Raut wajah Grey langsung berubah penuh selidik. “Violet!” tegas Grey.
Tentu Violet tidak bisa lari dari Grey. Pada akhirnya ia harus memberi tahu Grey apa yang ia lihat kemarin. “Setelah menjadi sekretaris Nolan, aku tahu beberapa hal. Nolan sudah punya kekasih. Kekasih yang benar-benar kekasih atau hanya sekadar main-main. Aku juga tahu Nolan tidak menghargai seorang wanita. Tapi, aku tetap ingin bersamanya. Dan kemarin aku membuntuti Nolan bertemu dengan kekasihnya. Aku melihat mereka bermesraan. Mereka berciuman.”
Grey memandang Violet tidak percaya. “Kau membuntuti Nolan?” Nada suara Grey meninggi. Namun, ia kemudian sadar dan mengurangi frekuensinya. “Kau berani sekali, Let.”
Violet sudah menduga reaksi Grey akan seperti ini. Dia sudah siap. “Aku penasaran bagaimana rupa wanita itu.” Violet mengungkapkannya setengah frustrasi.
“Apa yang kau dapat setelah menjadi penguntit?” Entah mengapa Grey tidak habis pikir dengan Violet.
“Aku ingin berhenti. Tapi, aku tidak bisa berhenti. Aku berharap Nolan mau melihatku. Tapi, aku juga takut saat Nolan memberi harapan. Aku bingung dengan diriku sendiri. Apa yang aku mau sebenarnya.”
Melihat Violet yang menunduk lemah, Grey tahu Violet berada di posisi sulit. Menyangkut perasaan, terkadang memang tidak bisa dipahami, Grey mengerti soal itu.
“Kau hanya masih ragu. Cobalah untuk yakin. Hilangkan semua pikiran burukmu, tentang kemungkinan terburuk.” Grey memang tidak pernah gagal memberikan nasihat.
“Aku juga berpikir begitu.” Itulah yang Violet pikirkan selama ini. “Apa itu artinya kita tunda misi kita dulu sampai aku benar-benar siap?”
Pendapat Violet sangat tidak tepat. Grey jelas menolak. “Tidak. Bagaimanapun misi tetap harus berjalan. Sia-sia saja aku membantumu sampai membelikan baju seksi yang harganya mahal itu.”
“Akan aku ganti, Grey.”
“Kau boleh menggantinya kalau sudah resmi menjadi pacar, kekasih, boleh juga pas sudah jadi istri Bos Nolan.”
Oke, Violet rasa ia tidak punya pilihan. Apa pun yang Grey katakan seperti perintah mutlak bagi Violet.
“Grey, aku butuh pil penguat kalau begitu.”
Tanpa dijelaskan sekalipun Grey paham maksud dari Violet. Pil penguat bagi Violet adalah pelukan dari Grey. Pelukan yang mampu memberikan kekuatan dalam keadaan sulit. Pelukan ajaib yang membantu mewujudkan hal yang bahkan mustahil sekalipun.
Di tengah pelukan hangat yang terjalin, Violet ingat sesuatu yang mengganjal, itu ingin ia tanyakan pada Grey sekarang. Dengan terpaksa Violet menjauhkan tubuhnya dari Grey meski ia masih membutuhkannya.
“Grey, aku merasa pernah bertemu dengan kekasih Nolan sebelumnya. Wajahnya familier sekali.” Violet menunjukkan foto Aruna yang sempat ia ambil. Bahkan, Violet sendiri tidak ingat jika ia pernah mengambil foto Aruna. Dia sadar ketika semalam tidak sengaja membuka galeri ponselnya.
“Ini kekasih Nolan?” Grey terlihat terkejut setelah Violet menunjukkan foto Aruna.
“Kau kenal siapa dia?”
“Tentu saja. Dia ini model yang majalahnya aku beli sebulan sekali. Model majalah dewasa, Aruna Viktor.”
Aku berharap kalian suka, ya. Ah, aku terlalu berharap. Maklumi karena masih amatir dalam menulis, dear.
“Violet sehari tidak berulah sepertinya mustahil. Ibarat peribahasa, kertas yang direndam di air pasti basah.” Flo terlihat menggebu-gebu. Setelah berpapasan dengan Nolan dan Violet tadi, Flo langsung berasumsi sendiri kemudian mendoktrin orang lain dengan asumsinya tersebut.“Sudah biasa kalau Violet menggoda Nolan. Buktinya mereka satu ruangan. Itu pasti ide Violet. Tapi, yang tadi bukan peribahasa, tapi perumpamaan.” Luna kali ini menyahut, mengoreksi di akhir.“Aku membaca peribahasa tahun 2021. Yang kau baca mungkin peribahasa yang sudah lama, jelas beda.” Flo ini memang tipikal yang tidak mau disalahkan meski jelas bersalah. Sudah hal yang biasa jika Luna hanya mengiyakan meski sebenarnya gatal untuk mengajak berdebat.Daripada memperdebatkan masalah peribahasa, Luna lebih tertarik untuk membahas Violet dan Nolan. “Apa Violet itu memakai pelet? Kalau iya, aku ingin tahu ia memakai pelet apa. Mungkin aku bisa mengik
Violet menyukai hujan. Sangat. Hujan memberikan Violet ruang untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan dari mengekspresikan diri dengan bebas. Semenjak kecil, Violet selalu menantikan datangnya hujan. Saat-saat di mana Violet bisa tertawa lepas bersama anak-anak seusianya, bermain kubangan air di atas rerumputan, lalu berlari berkejar-kejaran. Hujan juga selalu mengingatkan Violet tentang sebuah pertemuan. Pertemuannya dengan anak lelaki yang umurnya sekitar dua atau tiga tahun lebih tua darinya. Waktu itu Violet masih duduk di bangku SMP. Ada seorang anak lelaki yang baru turun dari bus menarik lengan Violet. Anak lelaki yang tidak Violet kenal langsung memarahinya karena Violet menari di bawah guyuran hujan. Dia bilang, hanya orang gila yang bermain hujan. Dia juga bilang, hujan itu simbol kesialan. Saat itu juga Violet menentang dengan lantang. Sungguh bukan sebuah pertemuan mengesankan. Justru pertemuan itu adalah perta
“Bos—Bos ke sini?” Violet terkejut dengan kedatangan Nolan.“Bos kenapa ke sini? Ada masalah di perusahaan? Atau ada pekerjaan yang harus saya selesaikan?” cerca Violet.“Tidak ada apa-apa. Saya datang kemari cuma ingin memastikan.”“Memastikan apa Bosse?”Keberanian Nolan luntur seketika. Berhadapan dengan Violet secara langsung bisa begitu sulit. Nolan kehilangan kata-kata di depan Violet.“Bosse?” Violet heran, karena Nolan hanya diam di tempatnya.“Bosse?” Violet memanggil sekali lagi.“Ah, iya.” Nolan seperti baru sadar. “Saya ingin melihat kamu apakah baik-baik saja atau tidak.”Jujur, Violet semakin bertambah bingung. Dia merasa Nolan menjadi aneh, datang ke rumah sakit hanya untuk memastikan Violet baik-baik saja, terdengar tidak biasa. Wajar karena Nolan atasannya langsung, tetapi Nolan juga seorang CEO, meskipun Viole
Violet meminta izin pada Nolan untuk tidak masuk kerja dulu, ia masih ingin menemani Easton di rumah sakit. Meskipun Easton sudah sadar sejak kemarin, tepat setelah Nolan pulang. Bahkan kabar baiknya, kondisi Easton sudah jauh lebih baik sekarang.“Bosse, boleh tidak?” Violet mencoba bernegosiasi dengan Nolan. Selama lima menit ia menghubungi Nolan hanya ada perdebatan di antara mereka.“Empat hari itu terlalu lama, Violet.” Dari nada suaranya Nolan jelas kesal.“Cuma sampai Ayah pulih, Bosse.” Violet masih saja gigih. Dia ingin merawat ayahnya meski sang ayah sudah dinyatakan boleh pulang dari rumah sakit. Kekhawatirannya terhadap Easton disebabkan karena penyakit jantung yang diderita Easton masih sering kali kambuh, meski Easton ditangani dengan baik oleh dokter, Violet belum sepenuhnya puas.“Bosse.” Kali ini Violet merengek.Nolan mendengus kesal. “Sekalian saja seminggu kamu tidak masuk ke
Menerima kenyataan bahwa dirinya telah dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal berhasil mengurangi rasa kepercayaan Violet terhadap sang ayah.Lebih tepatnya, Violet kecewa dengan Easton.Violet tidak pernah membantah perintah Easton selama ini. Violet sudah menjadi gadis penurut kesayangan Easton. Bahkan, sekalipun Easton selalu menekan Violet untuk terus berprestasi, terus membanggakan orang tuanya, tetapi Violet tidak pernah protes dan selalu berusaha mewujudkan keinginan Easton.Hanya satu waktu Violet merasa lelah, dia tidak sanggup menuruti permintaan Easton, itu terjadi ketika Easton memintanya menerima perjodohan dengan anak dari rekan bisnis sang ayah.Satu waktu dan pertama kalinya Violet menentang Easton.Violet menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang bebas. Dia tidak mau terikat perjodohan yang membatasi ruang geraknya, mengikat masa depannya dengan pria yang belum tentu ia cintai, terlebih terjebak dalam ruangan penga
Langit cerah hari ini berbanding terbalik dengan wajah suram Violet.Aura Violet seperti tertutup kabut awan.Tidak biasanya Violet menunjukkan terang-terangan suasana hatinya. Paling tidak, Violet akan membuatnya terlihat tidak kentara, tidak seperti sekarang yang sangat mudah ditangkap. Grey bahkan sudah mampu menebak ada sesuatu yang terjadi dengan Violet meski jarak wanita itu masih terpaut lima meter darinya.Grey menebak jika itu mengenai ayahnya.“Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Grey saat Violet mulai dekat.Violet menghentikan langkahnya ketika jaraknya dengan Grey hanya satu meter. Dia sempat menghela napasnya. “Ayah sudah sembuh,” jawabnya tidak bersemangat.Dari sana Grey mengira itu bukan lagi soal ayahnya, ada masalah lain yang Violet pikirkan sekarang. “Jika ayahmu sudah sembuh, lalu apa yang membuatmu lesu?”Violet menatap Grey sekilas sebelum menjatuhkan pandangan ke sisi yang lain
Kafe besar yang Grey dan Violet datangi ini adalah milik Qiuncy. Sejak SMA, Grey memang sudah sering menceritakan tentang Quincy kepada Violet. Bahkan, Violet bisa mengira-ngira bagaimana karakter dari Quincy.Sebagai seorang wanita, Qiuncy terlalu posesif. Dia melarang Grey untuk dekat dengannya. Pernah satu kali Quincy menghubungi Violet untuk menyuruhnya menjauhi Grey. Quincy bilang, tidak ada persahabatan di antara laki-laki dan perempuan. Saat itu, Violet hanya membual dengan mengatakan akan menuruti kemauan Quincy, dia tidak ingin membuat keadaan semakin runyam.Karena itulah Violet enggan bertemu dengan Quincy, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu. Maka, tidak heran jika suasananya jadi agak canggung. Baik Violet maupun Quincy seperti menahan diri untuk memulai menyapa. Hanya Grey yang sejak tadi sengaja berceloteh panjang lebar untuk mencairkan suasana.“Let, kafe ini terkenal dengan kopinya. Bagaimana jika kau memesan cappucino
Quincy berulang kali mengatakan pada Violet bahwa dia akan membereskan Aruna dan Milan. Dia sudah sangat percaya diri untuk membantu Violet.Quincy memang berteman baik dengan Nolan. Jadi, otomatis Quincy juga mengerti Nolan dengan cukup baik. Terkait dengan Nolan yang senang bermain-main dengan wanita hanya sebagai bentuk pelampiasan karena sebenarnya Nolan juga pernah dipermainkan. Mendengar itu, Violet seketika diam dengan ekspresi yang tidak terbaca.Violet sulit menentukan pilihan. Grey menyerahkan apa pun keputusannya pada Violet, untuk terus berjuang ataupun berhenti, hanya saja Grey juga menekankan untuk tidak menjadi pecundang, itu sama artinya jika Grey menyuruh Violet tetap maju. Sedangkan, Violet sendiri ingin sekali mundur, karena dari awal ia belum yakin, banyak hal yang membuatnya terus bimbang.Terus terang, Violet merasa tidak ada perkembangan dari semua usahanya. Selalu ada Aruna yang menyadarkan Violet bahwa apa pun yang dia lakukan pasti sia-