Share

Siapa Leo?

"Tuan, saya ingin bicara!" Lara mengekori langkah Xander yang baru saja masuk ke apartemen. Gadis itu ingin menanyakan tentang pertunangan Xander dan alasan menikahinya. 

"Tuan dengar saya gak sih?" Ia menghentakan kakinya. Kesal karena diabaikan. Bahkan sekarang  lelaki dengan tatapan tajam itu malah melepas jas dan dasinya santai. Seolah tidak terusik dengan perkataan Lara. 

"Ish, kalau gak dianggap buat apa saya di sini. Mending pergi aja!" Lara menyambar tas tangan yang dibelinya tadi siang memakai kartu kredit yang ditinggalkan Xander. 

"Mau ke mana? Sudah tengah malam. Kamu mau dicegat preman dan diperko*a karena keluyuran sendirian di luar?" Tanpa menoleh, lelaki itu menakut-nakuti istrinya. 

"Tapi Tuan tidak menjawab saya." Lara memandang punggung kokoh Xander yang kali ini terekspos seluruhnya. "Hei, kenapa Tuan menikahi saya kalau hari ini tunangan? Bagaimana kalau tunangan Tuan sampai tahu tentang saya?" 

Xander tidak menjawab. Dia melempar jam tangan ke ranjang dan mengambil handuk putih yang dibeli Lara tadi. Pikirannya sedang kacau, memang satu masalah sudah berhasil dia selesaikan, tapi ia yakin akan ada masalah baru nanti setelah ini. 

Pertunangan hari ini bukan keinginannya, Xander sama sekali tidak menginginkan bertunangan dengan gadis anak rekan bisnis papanya itu. Ia hanya menjalani apa yang sudah diatur oleh kedua orang tuanya. 

"Tuan! Sudah berapa lama telinganya gak dibersihkan? Apa suara saya kurang keras? Kalau iya biar saya ambil toa." Lara berjalan di belakang Xander. "Woy Xander Wiryaguna, jangan mentang-mentang lo punya uang terus bisa seenaknya mempermainkan wanita. Apa jangan-jangan di luar sana masih banyak lagi gadis lain yang senasib dengan gue!" Lara berteriak. 

Xander menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badan dan menatap Lara yang masih berkacak pinggang. Sebelah alisnya terangkat ke atas mendengar perkataan gadis itu. 

"Apa? Jadi benar, kan kalau lo punya banyak wanita. Dasar ...." 

Xander menarik tubuh Lara hingga menubruk dadanya. Setelah itu, dibungkamnya mulut gadis itu dengan bibirnya. 

Mata Lara terbelalak. Otaknya seketika blank ketika bibir hangat dari lelaki tampan di depannya menghentikan omelannya. 

"Sudah tenang?" Xander melepaskan Lara. "Saya mandi dulu baru kita bicara." 

Lara mengangguk. Tubuhnya lemas seolah tulang belulangnya melentur. Kemarahan, kekesalan dan semua perasaan yang semula melingkupi hati Lara mendadak hilang dalam sekejab karena bibir Xander. 

Xander menahan tubuh Lara yang masih lemas. "Apa mau bicara sambil mandi bareng?" Ia tersenyum penuh arti. 

"Dih, ogah." Lara mendorong tubuh Xander begitu saja setelah kesadarannya kembali pulih. "Dasar otak mesum!" 

Lelaki itu tertawa geli kemudian masuk ke kamar mandi. Xander menggelengkan kepala melihat Lara yang mukanya merah setelah ia menciumnya. "Dasar anak kecil" 

Lara memegang dadanya yang berdetak kencang. Ke mana sumpah serapah yang sudah ia siapkan saat menunggu Xander pulang tadi? Mendadak semua hilang begitu saja. Juga kekesalannya pada lelaki itu. 

Berusaha menetralkan detak jantungnya, Lara mengambil air putih di atas meja lalu meneguknya hingga tandas. Sedikit membuat hatinya kembali tenang. Tangannya terulur menjangkau ponsel, ia membuka pesan yang baru saja masuk ke benda android itu. 

[Aku datang ke rumah kamu tapi kamu gak ada. Katanya kabur. Kamu di mana sekarang?] Pesan masuk dari sahabatnya. 

[Ceritanya panjang. Besok aja kalau ketemu aku ceritain.] Lara membalas pesan Daisy. 

Setelah itu ia membuka berita online yang bersliweran seharian ini. Apa lagi kalau bukan tentang pertunangan suaminya. Pesta pertunangan itu berjalan tertutup. Jadi awak media hanya bisa mengambil gambarnya ketika akan masuk ke dalam gedung. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam gedung kecuali tamu undangan saja. 

Di salah satu situs, terlihat foto Xander berjalan bersama seorang wanita cantik. Ekspresi sang wanita cerah bahagia, berbanding terbalik dengan ekspresi Xander yang datar, dingin tanpa senyum. 

"Lihat apa sih?" Xander yang sudah selesai mandi langsung naik ke atas ranjang. 

"Kepo!" Lara menutup layar ponselnya dengan telapak tangan. "Sekarang jelaskan pada saya!" Lara menatap meminta jawaban. 

"Kamu masak gak tadi? Saya lapar!" Xander mengambil majalah, lalu membukanya dan pura-pura membaca. 

"Tuan! Jangan mengalihkan pembicaraan deh." 

"Tolong ambilkan makanan dulu, baru kita bicara." 

Tanpa menjawab Lara beranjak dari ranjang. Di menoleh menatap jam yang tertempel di dinding, pukul satu dini hari. Dengan menahan kesal, lara mengambilkan sepiring nasi dan cumi asam manis yang tadi dibelinya. Kemudian menuangkan air minum dan membawanya ke kamar beserta makanan itu. "Nih!" 

Xander tersenyum simpul. "Nah gitu dong. Jadi istri yang baik dan nelayani suami." 

"Ish." Lara melempar pandangan ke arah lain. Ia menunggu sampai Xander menghabiskan makanannya. Setelah meletakkan piring bekas makan suaminya di dapur, Lara kembali ke kamar dan menunggu Xander menjelaskan semua. 

"Tidur! Sudah pagi." Lelaki itu menarik selimut. Lalu menutup tubuhnya Lara dan juga tubuhnya. 

"Jawab dulu, Tuan. Kenapa Anda menikahi saya kalau hari ini tunangan?" Lara masih mengejar lelaki itu dengan pertanyaan. 

"Ah, saya lupa. Siapa Leo?" tanya Xander. Ia kembali membuka mata. 

"Apa? Dari mana Anda tahu tentang Leo?" Lara terkejut ketika tiba-tiba Xander menanyakan tentang Leo.

"Semalam kamu mengigau menyebut nama dia terus." 

"Eh, pertanyaanku gimana? Jawab dulu baru balik tanya." Bibir Lara mengerucut. 

"Oke. Bagaimana kalau kita bikin kesepakatan!" 

Mata Lara memicing. 

"Kamu cerita tentang Leo, saya jawab pertanyaan kamu. Deal!" 

Lara tampak memikirkan sejenak. "Oke." 

"Ya udah. Sekarang kamu katakan siapa Leo!" Wajah mereka berhadapan. Kini bisa terlihat jelas hidung mancung Lara dan alis tebal milik gadis itu. 

"Kok saya dulu, harusnya Tuan duluan lah." 

"Ya udah kalau gak mau saya tinggal tidur." 

"Ee, ya udah oke. Saya cerita. Leo adalah anak lelaki mama tiri saya." 

Xander mengeryitkan dahi. 

"Iya, waktu umur dua belas tahun papa saya membawa wanita ke dalam rumah. Namanya Susan, dia datang bersama dua anaknya, yang besar bernama Leo, yang kecil Sania."

"Apa kamu suka dia?" tanya Xander memastikan. 

"Entahlah. Saya hanya merasa nyaman ketika bersama Leo. Tapi dia menghilang begitu saja setelah hari itu. Saya tidak mempunyai orang yang melindungi saya lagi. Gak tahu apa Leo masih hidup atau sudah mati. Karena mama Susan selalu mengalihkan pembicaraan ketika ayah menanyakan tentang Leo. " 

"Ceritakan tentang itu!" 

"Gak mau. Itu sudah saya katakan siapa Leo. Sekarang giliran Anda yang cerita." Lara menatap Xander. 

Lelaki itu memejamkan mata. "Saya ngantuk. Besok aja." 

"Anda curang Tuan. Pokoknya sekarang jawab dulu pertanyaan saya." Lara mengguncang tubuh Xander. "Ayk bangun dan katakan!" 

"Diam Lara! Kalau saya bangun, bagian dari diri saya juga bangun." Xander menarik tubuh Lara, dia memeluk erat gadis itu. 

"Curang! Jawab dulu, cepat!" 

"Saya bilang diam!" Xander masih memejamkan mata. 

"Ah, gak mau lagi lah membuat kesepakatan sama Tuan. Curang. Menyebalkan. Tahu gitu saya ...."

"Saya sudah bilang diam! Tidur! Atau memang kamu sengaja mau membangunkan 'dia' untuk minta jatah." 

Perkataan Xander membuat Lara terdiam. Apa lagi sesuatu di balik celana Xander sudah terasa menekan tubuhnya. 

"Selamat tidur, Sugar," ucap Xander lirih. 

"Apa? Tadi bilang apa?" Sekilas Lara mendengar panggilan Leo untuknya dulu. 

"Lara bisa diam dan tidur gak? Atau saya buat kamu tidak bisa tidur sampai pagi!" 

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status