Home / Lainnya / Bound by the Moon / Mata yang Mengintai

Share

Mata yang Mengintai

last update Last Updated: 2025-04-27 21:12:48

Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.

Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.

Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.

Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.

"Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."

Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa."

"Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."

Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"

Lyra membalas tatapannya. “Tidak tahu. Tapi setidaknya aku ingin tahu aku bisa.”

Dari balik bayang-bayang, Jax muncul. Ia tampak lelah, namun matanya tetap tajam.

"Maaf mengganggu," katanya. "Tapi kita punya masalah baru."

Kaelen menoleh cepat. "Apa lagi?"

Jax menyodorkan gulungan perkamen yang terbakar sebagian di ujungnya.

"Kami menemukannya di dekat perbatasan utara. Simbol di atasnya milik dewan penyihir yang sudah mati sejak Perang Hitam. Tapi isinya... ditulis dengan darah."

Lyra mengambil perkamen itu dengan hati-hati. Tinta merah gelap membentuk tulisan patah-patah:

> “Yang kau jaga akan menjadi jalan masuk.

Yang kau percayai akan menjadi lubang luka.

Dan saat cahayanya membesar, mata akan terbuka.”

Kaelen bergumam, “Ini... nubuat kuno. Tentang ‘Pembawa Celah’.”

Jax mengangguk. “Dan sebagian percaya bahwa Lyra... bukan hanya kunci, tapi celah itu sendiri.”

Lyra menggenggam perkamen itu erat. “Mereka pikir aku akan membuka kehancuran?”

“Bukan kehancuran,” jawab Kaelen. “Tapi gerbang. Antara dunia kita dan sesuatu yang lebih kelam dari sekadar bayangan.”

Diam melingkupi mereka.

Akhirnya, Jax memecah keheningan. “Aku tak akan bohong. Ada yang tak percaya padamu, Lyra. Beberapa dari kami... mulai takut.”

Lyra menunduk. “Jadi, siapa pun yang menyentuh kekuatan seperti milikku akan dilihat sebagai ancaman?”

Kaelen menjawab pelan, “Atau penyelamat. Perbedaannya hanya pada siapa yang menang duluan.”

Langkah kaki mendekat cepat. Seorang pengintai, muda dan pucat, tergesa-gesa naik ke bukit.

“Yang Mulia,” ujarnya pada Kaelen. “Kami menemukan bekas ritual di Hutan Kelam. Ada lingkaran darah, dan... mata. Terbuat dari tulang. Dua pasang. Satu menghadap timur, satu menghadap tempat ini.”

“Mereka mengintai,” desis Jax.

Kaelen mengangguk. “Dan mereka ingin kita tahu bahwa mereka mengintai.”

Lyra mengepalkan tangannya.

“Kalau mereka terus mengawasiku, aku tak akan duduk diam. Aku akan menunjukkan bahwa aku juga bisa melihat mereka.”

Kaelen menatap Lyra dengan tatapan yang tak terbaca—antara bangga, takut, dan sesuatu yang lebih dalam.

“Kalau begitu, kita akan mulai lebih dulu.”

Dan di malam yang gelap itu, di bawah langit tanpa bulan, tiga orang berdiri di ujung dunia mereka—bersiap menghadapi perang yang belum bernama, dan mata-mata yang mengintai dari kegelapan.

---

Udara malam mengental. Kabut turun perlahan, menyusup ke sela-sela pepohonan seperti tangan tak kasat mata yang mengendap-endap mendekati mereka. Lyra menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak juga stabil sejak membaca nubuat itu.

Kaelen berjalan ke arah api unggun kecil yang dinyalakan Jax di tengah perkemahan. Nyala api itu memantul di matanya yang gelap, menyorot sisi dirinya yang selama ini tak banyak bicara: cemas, dan diam-diam lelah.

"Apa kau percaya pada ramalan itu?" tanya Lyra, memecah sunyi.

Kaelen menoleh perlahan. "Aku percaya pada tanda. Tapi aku tidak percaya pada takdir yang tak bisa diubah."

Jax duduk di seberang mereka, menambahkan kayu ke dalam api. "Tapi bagaimana kalau bukan takdir yang mencari Lyra, melainkan masa lalunya sendiri?"

Lyra menatap Jax. "Maksudmu?"

"Aku berbicara dengan Eira," jawabnya. "Dia menyimpan sesuatu. Sebuah jurnal tua. Milik seseorang yang pernah tinggal di sini. Seseorang yang dekat dengan keluargamu."

Hati Lyra mencelos. Ia tahu pembicaraan tentang masa lalu akan datang. Tapi tidak malam ini. Tidak ketika pikirannya masih dipenuhi kabut dan mata-mata dari dunia lain.

"Siapa?" bisiknya.

Kaelen menjawab sebelum Jax sempat berbicara.

"Namanya Isolde. Seorang penyihir darah. Dia dibuang dari dewan penyihir karena... mencoba menyatukan kekuatan sihir dan darah serigala."

Lyra mengerutkan kening. "Apa hubungannya denganku?"

Jax mengeluarkan lembaran kertas usang dari kantong bajunya. "Ini catatan terakhirnya. Eira menyimpannya, tapi... ia tahu waktunya untuk kamu membacanya."

Lyra meraih lembaran itu. Tulisan tangan miring menghiasi halaman, dan di baris pertama, ia membaca:

> “Untuk anakku, yang kelak akan menjadi jembatan antara dua darah.”

Tangannya gemetar.

"Dia ibuku?" bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.

Kaelen mengangguk pelan. "Isolde hilang dua puluh tahun lalu, tepat setelah kelahiran seorang bayi yang diyakini membawa garis darah langka—darah campuran penyihir dan serigala."

"Aku... bukan hanya darah murni," kata Lyra perlahan. "Aku—"

"—perpaduan," sambung Jax. "Dan itu yang membuatmu berbeda. Bukan hanya kuat, tapi... tak bisa ditebak."

Angin malam bertiup lebih kencang. Api bergoyang. Di kejauhan, lolongan terdengar—pelan, panjang, dan asing. Suara itu tidak datang dari kawanan mereka.

Kaelen berdiri. Matanya menyipit ke arah timur.

"Mereka tahu kau mulai mengingat."

Lyra memeluk lembaran itu di dadanya. Matanya berkaca-kaca.

"Aku tidak tahu apakah aku siap menghadapi masa lalu... tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan membiarkan siapa pun menggunakan warisan itu untuk menghancurkan dunia ini."

Kaelen menatapnya. "Lalu kau harus menguasainya. Bukan lari darinya."

"Dan jika aku gagal?"

"Kalau kau gagal," jawab Kaelen, mendekat, suaranya pelan namun teguh, "aku akan berdiri di sisimu. Hingga akhir."

Lyra menoleh ke Jax. Sahabatnya itu menunduk, lalu mengangguk pelan.

"Begitu juga aku."

Di tengah kabut yang makin menebal, tiga sosok itu berdiri menghadap malam. Di tangan Lyra, kertas usang itu menggigil, tapi nyala matanya tidak.

Dan dari balik pepohonan, sepasang mata benar-benar mengintai mereka—bukan sekadar ancaman. Tapi kenangan yang kembali untuk menagih janji lama.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

    Last Updated : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

    Last Updated : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

    Last Updated : 2025-05-09
  • Bound by the Moon   Di Bawah Cahayanya

    Bulan purnama menggantung di langit malam yang gelap. Cahaya putihnya menyinari pepohonan hutan, memantul di tanah lembap, seolah menghakimi setiap langkah Lyra. Angin malam berdesir pelan, membawa bisikan samar yang mengingatkannya pada kata-kata sang nenek sebelum ia pergi.> "Hari ini, kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya."Lyra menelan ludah. Ketegangan membelit tenggorokannya saat ia menatap bulan yang terang menggantung, seolah menanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Apa yang akan terjadi malam ini? Ia tak tahu. Yang ia tahu, hidupnya akan berubah selamanya.Dengan langkah mantap, ia menapaki hutan lebih dalam, meninggalkan rumah kecil sang nenek—tempat yang selama ini menjadi pelindung dari dunia yang tak dikenalnya. Tak seorang pun tahu masa lalunya, atau siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya seorang gadis yatim piatu, tumbuh dalam bayang-bayang rahasia yang tak pernah terungkap.Bulan bersinar sunyi, seolah menuntunnya. Sang nenek pernah berkata,

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Ikatan yang Tak Terhindarkan

    Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pil

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

    Last Updated : 2025-04-27

Latest chapter

  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

  • Bound by the Moon   Api dalam diri

    Pagi tiba tanpa salam. Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya. > “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?” > “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?” Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax. > “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut. Lyra hanya menggeleng. Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan. > “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.” > “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.” Jax menatap danau, lalu berka

  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

  • Bound by the Moon   Ikatan yang Tak Terhindarkan

    Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pil

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status