Share

Boy & Milly
Boy & Milly
Penulis: Zenny Arieffka

Bab 1 - Pernikahan Kontrak

Milly mengamati segala penjuru ruangan. Itu adalah Apartmen baru milik Boy, pria yang baru saja memperistrinya. Sebenarnya, Milly sudah pernah ke apartmen lama Boy, namun, apartmen yang akan dia tinggali ini rupanya apartmen baru yang telah disiapkan oleh Boy untuknya.

Ya, tentu saja. Boy bisa dengan mudah membeli apapun yang diinginkan oleh pria itu. Boy merupakan anak dari pengusaha kaya raya, ditambah lagi, karirnya menjadi seorang fotografer ternama membuat kekayaan pria itu tak diragukan lagi. Milly tahu, jangankan unit apartmen ini, gedung apartmen ini pun Boy bisa membelinya.

Milly tahu bahwa Boy memang kaya, tapi dia baru tahu kemarin, ketika dirinya menginjakkan kaki di rumah orang tua Boy dan menyaksikan bahwa Boy ternyata adalah putra salah satu konglongmerat ternama di negeri ini.

“Masuklah, dan bawa barang-barangmu ke sana. Kamarmu di sana,” ucap Boy sembari menunjukkan sebuah pintu yang ada di sebelah kanannya. Dengan santai, pria itu bahkan menuju ke lemari pendingin, mengambil sebotol air mineral, kemudian menenggaknya tanpa menghiraukan Milly yang kini sedang menatapnya dengan tatapan bingungnya.

Boy baru sadar jika Milly tak segera melakukan perintahnya, dan malah menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa?” tanya Boy kemudian.

“Uum, kita tidur terpisah?” tanya Milly dengan wajah polosnya.

“Ya. Aku tidur di kamar satunya. Karena itu aku beli apartmen ini. Apartmenku sebelumnya hanya ada satu kamar.”

“Uum, tapi kenapa? Bukankah kita sudah menikah?” tanya Milly kemudian. Dia bingung dengan apa yang diinginkan Boy. Mungkin, jika mereka menikah karena perjodohan atau kontrak, hal ini akan masuk akal jika dilakukan. Masalahnya adalah, mereka menikah karena Milly sedang hamil. Mereka sudah pernah melakukannya, dan kini Milly tengah mengandung anak Boy, karena itulah mereka menikah. Jadi untuk apa mereka tidur terpisah?

Boy kemudian menghela napas panjang. Dia masuk ke dalam kamarnya, kemudian keluar dengan sebuah map. Boy duduk di sofa ruang tamu apartmennya “Kemarilah, ada yang ingin aku bahas sama kamu.”

Pikiran Milly sudah tak enak. Dia akhirnya menuruti permintaan Boy, duduk di sebelah Boy dan melihat pria itu mulai membuka map yang dia bawa.

“Ini kontrak pernikahan kita.”

Milly menatap Boy seketika setelah pria itu mengucapkan kalimatnya. “Kontrak?”

“Ya. Kita menikah secara kontrak.” Milly ternganga karena Boy mengatakan hal itu seperti sudah sewajarnya. “Kamu baca saja bagaimana kontraknya. Tanda tangan jika kamu setuju, dan kasih tahu aku mana poin-poin yuang harus direvisi menurutmu.”

Milly masih shock dengan fakta ini. Dia mengira saat Boy memutuskan untuk bertanggung jawab padanya, pria ini akan melakukannya dengan sepenuhnya. Dia mengenal Boy. Meski Boy adalah anak orang kaya, dan pria ini merupakan fotografer populer yang koneksinya tak main-main, Boy bukanlah pria jahat. Boy hampir tak pernah memanfaatkan kepopulerannya dan kekayaannya untuk menjadi seorang bajingan. Dia pria baik. Karena itulah Milly memendam perasaan p[ada pria ini. Namun rupanya…

Milly menerima map tersebut, membaca poin-poinnya, dan dia semakin sedih dibuatnya. Inti dari semua yang tertulis dalam surat tersebut adalah, bahwa Boy bertanggung jawab secara finansial terhadap Milly dan bayinya. Namun hanya itu, pria itu tak memiliki kewajiban apapun terhadap diri Milly dan bayinya kecuali hanya menyangkut tentang finansial. Mereka akan hidup sendiri-sendiri, tanpa mengurus urusan pribadi masing-masing.

“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Milly dengan suara lirih.

“Apa maksudmu dengan kenapa? Ini akan mempermudah hubungan kita.”

“Kita akan menjadi orang asing meski sedang tinggal bersama.”

“Maaf, aku lupa mencantumkan di sana. Aku tak akan setiap hari tinggal di sini,” ucap Boy kemudian.

“Kamu tinggal di mana?”

“Di Apartmen lamaku. Kamu tentu tahu, kan? Hanya beberapa blok dari sini.”

Milly mengangguk lemah. “Disini, tidak ada tahun perceraian kita.”

Kali ini giliran Boy yang menatap Milly penuh tanya. “Kamu ingin aku mencantumkannya?”

“Bukankah ini surat kontrak pernikahan? Aku hanya ingin tahu sampai kapan kontrak ini berlaku.”

“Aku tidak tahu.” Boy menjawab jujur. “Sejujurnya, aku tidak berencana menceraikanmu. Tapi jika suatu saat kamu menemukan pasangan yang layak dan kamu cintai, maka kamu bisa mengajukan perceraian padaku.”

Milly menatap Boy dengan sungguh-sungguh. “Kenapa kamu tidak berencana menceraikanku?”

Boy bangkit seketika. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab “Aku sudah tak memiliki hidup lagi. Perempuan yang kucintai sudah bahagia dengan pria lain. Jadi, apa lagi yang kucari? Aku hanya berusaha bertanggung jawab padamu. Jika suatu saat kamu menemukan kebahagiaanmu dengan pria lain, maka tandanya tanggung jawabku telah berakhir.” Boy menatap Milly, kemudian tersenyum lembut, sedangkan matanya menuntukkan tatapan kesedihan.

Milly bisa melihat dengan jelas, bahwa Boy sedang patah hati. Boy mencintai Clara —mantan pacarnya, sekaligus teman dekat Milly, dengan tulus. Kini, Clara sudah hidup bahagia dengan suaminya. Sedangkan Boy tampak hancur hatinya. Astaga…

“Tidak bisakah… kamu… mencoba mencintai… perempuan lain?” tanya Milly kemudian.

Boy menggelengkan kepalanya. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

Milly ikut bangkit, kemudian dia menjawab “Karena kamu juga pantas bahagia.” Milly menghela napas panjang kemudian dia tersenyum dan berkata “Baiklah. Kita sepakat. Pernikahan ini akan berakhir saat aku menemukan pria yang telah kucintai, atau kamu menemukan perempuan yang kamu cintai. Bagaimana?”

“Enggak. Kalau aku yang lebih dulu menemukan perempuan itu, maka kamu akan berakhir dengan rugi.”

“Siapa bilang aku rugi? Aku nggak rugi.” Milly kemudian menandatangani surat kontrak tersebut, lalu mengembalikannya pada Boy. “Kita sepakat dengan keputusanku tadi. kita berdua sama-sama berhak bahagia.” Ucap Milly dengan sungguh-sungguh sembari mengembalikan kontrak tersebut kepada Boy. Boy hanya ternganga melihatnya.

Milly memilih meninggalkan Boy, menuju ke sebuah pintu yang tadi disebutr sebagai kamarnya. Membawa kopernya ke dalam sana dan menunci dirinya di dalam sana.

Boy hanya menatap Milly dengan ternganga. Dia sempat mendengar percakapan Milly dengan Clara, bahwa Milly menyimpan perasaan untuknya. Karena itulah Boy melakukan hal ini, membuat agar Milly bisa melupakannya. Namun rupanya… dia salah. Ya, Milly sudah pasti tak memiliki perasaan padanya.

***  

Di dalam kamarnya. Milly mengamati segala penjuru ruangan. Itu adalah kamar yang sangat mewah, sangat berbeda dengan kamarnya di rumah orang tuanya yang sederhana. Milly mengamatinya, kemudian pandangan matanya mulai mengabur.

Matanya berkaca-kaca, kemudian air matanya menetes begitu saja menuruni pipinya…. Jadi… seperti inikah rasanya? Dia akan menjalani kehidupan pernikahan dengan pria yang dicintainya, namun sepertinya… dia harus puas menganggap pria itu sebagai pria asing untuknya. Kenapa jadi seperti ini?  Bisakah dia menjalani hari-harinya seperti ini nantinya?

-TBC-

Halo... ini adalah cerita baruku... aku harap kalian suka yaa... jangan lupa tinggalkan rating, komen dan juga Vote yaa... agar aku lebih semangat lagi lanjutin ceritanya... terima kasih... :)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status