š¹Kau adalah orang yang paling beruntung, meskipun berpalung malangš¹
Pak Sholeh memapah tubuh tinggi 180 itu, melewati pematang sawah, di mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah Gubuk tua yang sangat memprihatinkan, terlihat seperti kandang hewan ternak. Meskipun tergopoh-gopoh, Arlan dibantu Pak Sholeh mampu sampai di gubuk tua itu. Dengan tatapan mata kosong yang tak bisa diartikan, Arlan melihat gembok yang mengunci gubuk itu.
Lalu, ia memegang gembok sejari matanya tak lekat dari gembok itu, "Apa Zara berada di dalam, Pak?" tanya Arlan dengan kerisauan hati.
Pak Sholeh hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Arlan pun tersenyum getir, dan berkata, "Lalu kenapa dikunci?"
Pak Sholeh masih terdiam, tidak menanggapi pertanyaan Arlan.
"Bapak punya kuncinya?" tanya Arlan dengan suara lembut bergetar.
"Kuncinya ada pada Tuan Radit. Pamannya Nona Zara," jawab singkat Pak Sholeh yang membuat darah Arlan mendidih.
"Satu-satunya wali Zara?" Arlan menghempaskan gembok yang sedari tadi ia pegang, dan memegangi keningnya.
"Iya, Nak Arlan. Dia satu-satunya yang bertanggung jawab pada Nona Zara setelah semua keluarganya tiada."
Arlan membalikan badannya dari gubuk tua itu dan berteriak sekeras-kerasnya, "Haaaaaaaaaaa-"
"Bagaimana seorang Paman bisa melakukan ini kepada keponakannya, sedangkan ia tahu ini semua bukanlah kesalahan, Zara!" suara parau Arlan, menahan kemarahan, telontar begitu saja.
"Kenapa harus Zara yang dihukum atas kejahatan para penjahat itu," keluhnya dengan expresi wajah penuh kemarahan.
Pak Sholeh yang melihat expresi hancur Arlan hanya bisa terdiam. Ia tak tau harus bicara apa soal keadaan Zara.
Arlan pun kembali ke arah pintu gubuk tua, dan mengetuk-ngetuk pintunya dengan terus memanggil nama Zara.
Tok
Tok
Tok
"Zara kamu di dalam?"
"Aku Arlan datang untukmu."
"Zara, jawab aku!" pinta Arlan sejari tangannya terus mengetuk pintu.
Pak Sholeh hanya dapat menatap sedih ke arah Arlan tanpa bicara sepatah kata pun.
"Zara, jawablah aku! Jangan menghindariku!"
"Zara aku mohon! Jika kamu ada di dalam jawablah!Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi. Bagaimana pun keadaanmu aku akan selalu menerimamu," tegas Arlan terus mencoba memanggil Zara, dan berharap ia menyautnya.
"Kumohon Zara! Apakah kamu ada di dalam?" Arlan mulai terlihat sangat menyedihkan dengan rintihan suara hatinya.
Pak Sholeh masih diam membeku di belakang Arlan tak mampu mengucapkan apapun, hanya ada sebening emun jatuh di sudut matanya yang berusaha ia sembunyikan.
Batu yang cukup besar di tepian sawah menarik perhatian kedua bola mata Arlan. Ia pun langsung mengambilnya tanpa mempedulikan baju mahal yang ia kenakan bercipratan dengan lumpur. Kemudian batu itu, dipukulkannya pada gembok yang ada pada gubuk tua, hingga gempok lepas dari pasaknya. Pintu gubuk tua pun terbuka.
Arlan membeku sejenak, menatap seorang gadis yang ada di dalam gubuk tua. Tak ada lagi kelembutan dan kehangatan di wajah itu. Wajah lusuh, dan kumuh sekarang ada di depan Arlan. Ia tak dapat mengenali gadis yang terpasung di depan matanya. Baju compang - camping, rambut kumal, dan kulit kasar kumuh, tak sedikit pun menggambarkan Zara Si kembang desa yang dulu ia kenal dan cintai. Hanya mata coklat tanpa dosa itu, yang mampu ia kenali. Mata coklat yang tersenyum dan memperlihatkan keindahan dunia, kini penuh kekosongan dan kehampaan, tetapi tak mehilangkan keindahannya.
Arlan yang terduduk menatap gadis malang itu, pun bangkit, berdiri, dan mulai memasuki tempat yang tak bisa disebut sebagai ruangan. Ketika pintu baru dibuka bau busuk langsung menyerbak keluar. Bau kotoran, urine, dan makanan yang telah membusuk. Bagaimana tidak kedua kaki gadis malang itu, dipasung dengan kayu besar dan dirantai. Ia tidak bisa kemana - mana, pastinya ia melakukan segala aktifitas di sana, baik buang air besar, dan kecil. Di sudut gubuk terdapat pintu kecil, tempat Pamannya melempar makan, dan minuman dari luar. Kondisi Zara sangat memprihatinkan, kakinya lebam karena terlalu lama dipasung. Tubuhnya juga kurus, karena tidak mendapat makanan yang layak. Kondisi fisiknyanya jauh dari gadis pujaan hati Arlan dulu.
Zara yang dulu memiliki kulit putih bersih, kini tak berwarna lagi, karena kotor dan terpapar sinar matahari yang masuk dari atap gubuk yang penuh lubang. Arlan tak dapat membayangkan bagaiman Zara bisa hidup di kondisi yang bahkan untuk binatang saja tidak layak. Arlan mendekati Zara tanpa mempedulikan betapa busuknya tempat itu.
"Terimakasih untuk tetap hidup!" Arlan memeluk Zara begitu erat tanpa mempedulikan bau busuk, dan kondisi wanita yang ada di pelukannya.
Pak Sholeh yang melihat semua hal itu, tak dapat membendung air matanya.
"Akhirnnya ada yang menyelamatkanmu Nona Zara. Pak Adhi pasti bisa tenang sekarang di sana." Pak Sholeh mengusap air matanya.
Zara yang berada di dalam pelukan Arlan hanya diam tanpa expresi. Terlihat kehidupan di ke dua bola matanya telah mati, entah sejak kapan.
"Maafkan aku datang terlambat!" Arlan mempererat pelukannya.
Setelah mendapati gadis pujaan hatinya di sebuah gubuk yang berada di tengah sawah dalam keadaan tak manusiawi. Emosi Arlan pun memuncak, ia berusaha melapaskan pasungan Zara, tetapi begitu sulit. Ia terus berusaha memukul gembok pasungan itu, yang tak kunjung terbuka malahan melukai kaki Zara.
"Pak Sholeh, mohon jaga Zara sebentar, beri ia makanan yang layak!" Arlan berjalan meninggalkan Zara.
"Nak, Arlan mau ke mana?"
"Saya mau menjumpai Radit, Pamannya Zara. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan ini semua terhadap keponakannya," nada suara Arlan naik dan raut wajah sangat marah.
"Maaf, Pak. Saya terlalu emosi. Seharusnya ia melakukan pengobatan terhadap Zara bukan memasungnya secara tidak manusiawi seperti ini." Arlan menyadari nada suaranya yang tidak sopan terhadap Pak Sholeh.
"Memangnya kamu tahu di mana rumah Radit. Biar saya antar."
"Tidak, Pak. Saya akan bertanya dengan warga desa di dalam perjalanan nanti. Bapak di sini saja menjaga, Zara!"
"Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Radit?" tanya Pak Sholeh menghentikan langakah Arlan.
"Saya tetap akan menikahi Zara. Bagaimana pun ia satu-satunya wali Zara. Saya butuh izinnya dan kunci dari pasungan," ucap Arlan penuh keyakinan dan gelombang emosi.
Pak sholeh memandang punggung Arlan dari kejauhan dan menutup gubuk sebentar. Ia kembali ke rumahnya, mengambil makanan, dan minuman kemudian diberikannya kepada Zara yang begitu kelaparan.
"Semua mata tak akan mampu melirikmu lagi, Nak!" ucap Pak Sholeh sembari tanganya memberi minuman ke Zara.
"Tetapi pemuda itu sungguh berbeda, ia tetap melirik ke arahmu meskipun sudut dunia pun bukan untukmu. Orang berpikir betapa malangnya dirimu, Nak!"
Zara yang mendengar kata-kata pak Sholeh seakan kesadarannya kembali.
"Terima kasih," suara samar-samar terdengar dari kesunyian.
"Mereka tak sadar kau adalah orang yang paling beruntung meskipun berpalung malang," tambah Pak Sholeh.
***
Terima kasih udah mampir dan stay on di novelku, mohon kritik dan sarannya jangan lupa saling mendukung dalam berkarya dengan like, love, vote dan follow juga writer in Boxš„°š„°š„°š„°šŖšŖ.
Love you see ya....š„°š„°š„°š„°š„°šŖ
Arlan menemukan rumah Radit yang berada di tengah desa, iya langsung mengetuk pintu.TokTokTok"Assalammualaikum!" Arlan dengan tangan terus mengetuk pintu."Walaikumsalam!" Tante Sofia bergegas memubuka pintu.Sofia, wanita separuh baya itu, merupakan istri Radit Paman Zara. Ia langsung keluar mendengar ucapan salam Arlan dengan tangan dipenuhi busa Sabun, terlihat seperti selesai mencuci piring atau baju."Siapa, ya?" Tante Sofia asing dengan wajah Arlan."Saya Arlan, temannya Zara. Saya ingin bertemu dengan Paman Radit," jawab Arlan."Radit sedang keluar, tetapi sebentar lagi dia pulang untuk makan siang bersama Anaknya." Tante Sofia mengibaskan rambut yang menutup matanya dengan punggung tangan."Anak yang dimaksud! Pasti Anaknya Zara," pikir Arlan."Silahkan masuk!""Tunggu di dalam saja." Tante S
š¹Apapun kisah dibaliknya, hubungan antara Ibu dan Anak akan selalu begitu. Menyimpan kasih sayang satu sama lainš¹Zayn setelah mencuci muka berjalan ke ruang tengah di mana Sofia dan Arlan sedang berbincang-bincang."Tidak masuk akal, kamu ingin menikahi Zara dengan kondisi Zara saat ini," ucap Tante Sofia, mendengar tujuan Arlan menemui Pamannya Zara, Radit."Lebih tak masuk akal membiarkan Zara terpasung seperti itu." Arlan merapatkan giginya menahan emosi."Kami tidak punya pilihan lain," sesal Tante Sofia dengan keadaan Zara.Dilihat dari kondisi ekonomi keluarga Pamannya Zara, bisa dikatakan mereka keluarga berada, malahan lebih. Radit memiliki usaha sendiri dan Pabrik tahu di desanya. Ia juga termasuk orang terpandang di desa, dan tak mungkin mereka kurang uang atau kesulitan hanya untuk melakukan pengobatan pada Zara."Tidak punya pilihan!" seru Arlan dengan nada suara kesa
Tante Sofia sedang menyiapkan makan siang di meja makan, sedangkan Paman Radit menemui Arlan yang sedari tadi telah menunggunya."Perkenalkan paman, saya Arlan sujibto teman masa kecil Zara." Arlan mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya pada Paman Radit yang memang untuk pertama kalinya ia jumpai."Sujibto?" Paman Radit tidak asing dengan nama belakang Arlan."Iya, saya anaknya Burhan sujibto dari kampung hilir.""Ah, iya yang punya toko klontong yang cukup besar dikampung hilir itu, ya!" Paman Radit menyadari ia mengenal Bapaknya Arlan."Iya, Paman!""Kamu Anak Burhan yang kuliah di luar negeri itu, ya. Kapan sampainya di Indonesia?""Iya Paman! Saya sampai baru tadi subuh dan langsung ke desa ini."Setelah bersalaman, Radit mempesihlakan kembali Arlan duduk."Silahkan duduk!"Mereka pun duduk bersamaan. Sekila
Setelah sekian lama terkungkung kejamnya dunia Zara Adhira bisa merasakan hembusan angin di kulit lusuhnya. Setelah Arlan medapatkan kunci pasungan dari Paman Radit, ia Iangsung menemui Zara."Nak Arlan, berhasil mendapatkan kuncinya?" tanya Pak Sholeh yang sedang mendaping Zara."Alhamdulilah pak, meskipun harus bersetegang sedikit dengan Orang itu," jawab Arlan kesal mengingat Paman Radit."Radit bukanlah orang biasa, Nak!" gumam Pak Sholeh mengingat bagaimana Radit dulu mengacam keluarga Pak Soleh ketika ia mencoba melindungi Zara, ditambah lagi Pak Sholeh mengetahui tentang kebenaran Zayn. Hidup keluarga Pak Sholeh selalu dihantui oleh lelaki picik itu."Saya bisa merasakan itu, Pak!" jawab Arlan."Berhati-hatilah dengannya!" tambah Pak Sholeh Lagi."Iya, Pak. Saya akan menjauhkan Zara dari srigala berbulu domba itu." Arlan Geram mengingat nama Paman Radit.
"Apa ada tontonan yang sangat bagus di sini!" Senyum sinis Arlan melihat warga masih berkerumun di halaman Rumah Pak Sholeh."Iya, ini tontonan yang sangat bagus. Kisah cinta wanita gila yang malang," cemooh dari wanita separuh baya."Bisanya anda sebagai sesama wanita menghina Zara seperti itu," ucap Arlan."Itu bukan sebuah hinaan, tetapi pujian. Dia sungguh luar biasa membuatmu seperti ini Anak muda!" gumam wanita separuh baya, membuat Arlan geram."Hal yang terjadi pada Zara bisa terjadi pada siapa pun, jadi jangan menjadikanya sebagai objek kalian. Anda sendiri perempuan dan apa anda tidak memiliki anak perempuan di rumah. Apakah anda akan selalu bisa mengawasi Anak perempuan anda. Janganlah tertawa di atas duka Zara, belum tentu duka akan selalu untuk Zara. Dia juga berhak bahagia," jawab Arlan panjang lebar."Apa maksudmu, kurang ajar!" sungut wanita separuh baya meninggalkan Arlan.
Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu."Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong."Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan."Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat."Terimakasih!" Arlan tersenyum.Akad nikah Arlan dan Z
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma