Bab 5
“Iya, aku Lolita. Jadi ini beneran kamu, Ngel?" Perempuan bernama Lolita itu berkata penuh rasa antusias lalu merengkuh tubuh Angel dan membawa ke dalam pelukannya.
Angel membalas pelukan Lolita tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Ben yang menyaksikan pemandangan tersebut kini diliputi kebingungan. Dari yang dirinya cerna, lelaki itu menyimpulkan bahwa kekasih dan istrinya saling mengenal satu sama lain. Entah ini merupakan sebuah kemalangan atau ia harus mensyukurinya.
Kedua perempuan itu kemudian saling mengurai pelukan mereka lalu berpandangan satu sama lain.
"Ya ampun, Ngel, udah lama banget ya kita nggak ketemu. Kamu ke mana aja sih?" tanya Lolita sembari memindai tubuh Angel dari puncak kepala hingga bawah kaki.
"Aku kuliah di London, Ta," jawab Angel dengan lidah kelu. Pertemuan yang tidak disangka ini sungguh sangat mengejutkan baginya apalagi setelah mengetahui bahwa teman lamanya semasa SMU dulu adalah kekasih pria yang saat ini menjadi suaminya. Apa tidak ada lagi kejadian yang lebih konyol dari ini semua?
"Oh, pantas kalau begitu. Kamu menghilang kayak ditelan bumi." Lolita tertawa sedangkan Angel hanya bisa tersenyum canggung. Seluruh persediaan kata-katanya tertelan oleh kegugupan.
"Oh ya, Ngel, by the way kenapa kamu bisa ada di sini? Kamu mau melamar pekerjaan di perusahaan ini?" Lolita bertanya lagi. Yang ada di dalam benaknya Angel adalah salah seorang job seeker yang sedang interview dengan Ben selaku pemimpin perusahaan.
Pertanyaan Lolita itu membuat Angel kian dikuasai kegugupan. Ia melempar pandang ke arah Ben, memberi sinyal agar lelaki itu saja yang menjawabnya. Angel tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Lolita bahwa dirinya adalah istri Ben. Perasaan bersalah menghampirinya bertubi-tubi.
Ben berdeham. Tangannya meraih tangan Lolita lalu menggenggamnya erat.
Perempuan itu menatap Ben penuh tanda tanya. Kenyataan bahwa Ben menikah akibat paksaan orang tuanya begitu menyakiti perempuan itu. Tapi karena Ben menjanjikan ini hanya sementara lalu akan menceraikan istrinya, membuat Lolita percaya dan terus melanjutkan hubungan dengan Ben. Hanya saja ia tidak tahu siapa istri Ben. Ben melarangnya datang ke acara pernikahannya. Ia juga tidak mencari tahu karena selain akan membuatnya sakit pastilah perempuan itu biasa-biasa saja. Ben mengatakan padanya bahwa perempuan tersebut tidak ada apa-apanya dibanding Lolita yang cantik jelita.
"Yang, aku akan jelasin sama kamu. Tapi kamu jangan marah ya?"
"Kenapa aku harus marah?" Lolita semakin heran mendengar ucapan Ben.
"Karena—" Ben berdeham lagi, sementara tatapan Lolita menguncinya begitu lekat.
"Karena apa, Ben?" desak perempuan itu.
"Karena Angel adalah istri aku."
Sontak mata perempuan yang sudah dipacarinya selama satu setengah tahun ini membelalak lebar.
"Are you kidding me?" lafalnya syok berat.
"I'm not kidding you, Ta. Dia adalah istri aku, tapi tenang, aku nggak mencintai dia. Aku akan segera menceraikan dia secepatnya. Aku sudah pernah bilang ini sebelumnya kan?"
Lolita menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Fakta ini sungguh mengejutkannya.
"Ta, aku nggak tahu kalau kamu kekasih Ben." Angel mengucapkannya dengan perasaan penuh rasa bersalah. Ia tidak akan setertekan ini jika Lolita adalah orang lain. Masalahnya Lolita adalah sahabat baiknya saat sekolah dulu.
Lolita memandang Ben dan Angel bergantian lalu kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa lagi. Dan kamu, Ngel, tega-teganya merebut pacar sahabat sendiri. Apa udah nggak ada lagi laki-laki lain yang bisa kamu nikahi? Kenapa harus, Ben?"
"Ta, aku nggak tahu apa-apa. Aku dan Ben sama-sama dijodohkan oleh orang tua masing-masing.” Angel mencoba menjelaskan agar Lolita mengerti.
“Tapi seharusnya kamu bisa menolak. Kenapa kamu menerimanya, Ngel? Kamu pasti sengaja karena kamu juga menyukai Ben. Lalu kamu selidiki dia dan tahu bahwa dia sudah ada yang punya, tapi kamu tetap nekat. Begitu kan?” serang Lolita membabi buta. Suaranya yang keras membuat pecah ruangan.
“Ta, nggak gitu. Aku—"
"Ah, sudahlah!" Lolita mengibaskan tangannya sebelum Angel sempat menjelaskan lebih jauh. Perempuan itu lantas menarik langkah panjang meninggalkan ruangan bersama bantingan keras di pintu.
"Puas kamu?!" Seakan semua ini adalah kesalahannya, Angel juga menerima bentakan keras dari Ben sebelum lelaki itu pergi mengejar kekasihnya.
Dan Angel hanya bisa memijit pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba terasa begitu berat.
***
Angel mengecilkan volume pemutar musik di ponselnya lalu membuka head set yang sejak tadi terpasang di telinganya. Lebih dari satu jam perempuan itu mendengarkan lagu-lagu favoritnya tanpa rasa bosan. Lalu kini kantuk datang menyerangnya.
Sembari meletakkan ponsel di nakas, Angel menatap hampa hamparan kasur yang dingin dan kosong. Sudah lewat jam dua belas malam namun Ben masih belum pulang. Ini bukanlah yang perdana. Sejak malam pertama lelaki itu sudah meninggalkan Angel. Lalu malam-malam berikutnya lelaki itu juga tidak di sisinya. Angel tidak tahu di mana lelaki itu bermalam.
Mencoba untuk tidur tanpa memikirkan keberadaan Ben, Angel mulai memejamkan mata. Dinginnya suhu kamar akibat air conditioner yang menyala pada suhu paling rendah membuat matanya semakin berat.
Perempuan itu hampir saja terlelap ketika telinganya menangkap suara pintu yang dibuka dengan keras, membuat matanya ikut terbuka dengan cepat.
Tampak seorang lelaki berjalan terhuyung-huyung mendekatinya.
Angel spontan terduduk dan menyerukan nama, “Ben!”
Ben tampak kusut. Mukanya kuyu, rambutnya acak-acakan. Dan saat ia mendekat, Angel mencium aroma alkohol yang kuat menguar dari pria itu.
Tanpa Angel duga Ben mendorongnya hingga Angel terbaring di ranjang. Dengan tubuhnya yang besar Ben memenjarakan Angel di bawahnya hingga membuat Angel ketakutan.
“Ben, ka—ka—kamu mau apa?” tanya Angel dengan suara gemetar sambil mencoba mendorong dada Ben. Namun tenaga pria itu terlalu kuat.
“Aku mau melakukan apa yang mau aku lakukan.” Seringai lebar Ben membuat Angel menjadi semakin takut.
“Ta—tapi, Ben—”
“Diam!” bentak Ben keras sembari tangannya membuka kancing baju tidur yang membungkus tubuh Angel satu demi satu. “Kamu sudah menghancurkan hubunganku dengan Lolita, jadi kamu harus menerima akibatnya.”
“Aku nggak tahu kalau dia kekasihmu. Dia memang temanku, tapi aku—”
Sebelum Angel berhasil menuntaskan perkataannya, Ben lebih dulu membungkam mulut perempuan itu dengan ciuman. Ciuman yang kasar dan tidak sabar yang membuat Angel sakit dan takut di waktu yang sama.
Ciuman lelaki itu lalu menjalar ke leher Angel, singgah di dadanya yang terbuka lalu merambat ke bagian tubuhnya yang lain.
Lalu … sesuatu yang asing terasa memasuki di bagian kewanitaannya hingga membuat Angel terdesak.
Angel memejamkan mata sambil menahan rasa sakit. Erangan lirih mencuri keluar dari mulutnya. Ben berhasil menembusnya. Sebagian dari pria itu kini berada di dalam Angel.
Mereka menyatu dengan sempurna.
***
Detik waktu seakan berhenti berputar ketika pria itu memutar tubuhnya hingga bertemu mata dengan Angel. Sekujur tubuh Angel seketika menggigil. Pria itu adalah satu-satunya manusia yang tidak ingin Angel temui di muka bumi ini. Kalau pun dirinya harus bertemu dengan pria tersebut maka dia adalah orang terakhir yang ingin Angel lihat."Angel ..." Bibir Ben gemetar saat melafalkan nama perempuan yang sudah bertahun-tahun menghilang dari kehidupannya.Angel membeku di tempat. Kakinya terasa selunak agar-agar hingga ia merasa tidak sanggup lagi menopang tubuhnya sendiri."Mama, Om itu lagi bicara sama Mama." Bobby menggoyang-goyangkan tangan Angel karena ibunya itu terpaku membisu.Angel masih belum sanggup melakukan apa-apa. Semua ini begitu mendadak dan sangat mengejutkannya.Sementara itu Ben masih belum berkedip memandang Angel. Adegan demi adegan yang terjadi di masa lalu kini berputar-putar di kepalanya seperti tayangan film yang diputar ulang. Namun yang paling berkesan adalah saat
Ben yang tadi berdiri tegak membungkukkan sedikit badannya agar sejajar dengan Bobby. Melihat cara anak itu memandangnya membuat Ben mengerti bahwa Bobby meragukannya."Bobby, jangan takut. Om bukan orang jahat atau penculik anak. Maksud Om sebenarnya baik. Om hanya kasihan dan nggak mau Bobby lama menunggu di sini.”Meski Ben sudah mencoba meyakinkannya namun Bobby masih merasa bimbang. Mamanya mengajarkan pada anak itu agar berhati-hati pada orang tidak dikenal."Dari mana Om tahu namaku?" tatap Bobby curiga.Ben menahan senyum melihat ekspresi Bobby yang menggemaskan. Tangannya lantas menyelinap ke balik jas. Dikeluarkannya sesuatu dari sana. Kertas gambar yang kemarin ditemukannya."Ini, Om tahu dari sini."Sepasang mata anak itu terbuka lebar menyaksikan kertas yang kemarin dicarinya ternyata ada bersama Ben."Ini dia yang aku cari. Om ketemu di mana?" kejarnya antusias."Om ketemu di sekolah ini. Kemarin kertasnya jatuh tapi Bobby sudah pulang. Ini ambillah." Ben memberikan kert
Ben menekuri dengan saksama kertas putih di tangannya. Di kertas itu berisi gambar. Bukan gambar biasa melainkan gambar pesawat. Dilihat sepintas lalu gambar tersebut digambar oleh orang dewasa atau seseorang yang begitu berbakat. Gambar tersebut begitu bagus dan rapi. Mulai dari goresannya yang begitu estetik hingga kombinasi warna yang digunakan. Tidak akan ada yang menyangka jika gambar tersebut adalah hasil goresan tangan dari seorang anak yang masih berusia lima tahun. Bahkan Ben sendiri.Kertas itu Ben dapat di sekolah Taman Kanak-Kanak tempatnya bertemu dengan anak yang begitu mirip dengannya. Saat anak itu pergi bersama lelaki yang Ben duga adalah ayahnya Ben baru menyadari anak tersebut meninggalkan sesuatu.Ben memungut kertas gambar tersebut dari tanah. Lalu akibat terlalu penasaran lelaki itu membawa kertas tersebut bersamanya.‘Bobby Fernanda.’ Ben mengeja di dalam hati dua potong kata yang merupakan nama anak tersebut.Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya yang
Enam tahun kemudian. "Papa!!!" Segaris senyum tipis terselip di bibir Refal di ketika melihat seorang anak laki-laki memanggil lalu berlari menghampirinya. Anak laki-laki itu berkulit putih dan memiliki paras yang rupawan. Tinggi badannya juga melebihi anak-anak seusianya. Refal tersenyum lantas menyambut tangan anak itu saat ingin bersalaman dengannya. "Gimana sekolahnya, By?" tanyanya pada Bobby, nama anak itu. "Menyenangkan, Pa. Aku suka sekolah di sini." Refal membelai kepala Bobby. Mereka melangkah bersisian menuju tempat mobil Refal diparkir. Tiba-tiba seorang lelaki yang berjalan terburu-buru dari arah berlawanan dengan mereka tidak sengaja menabrak Bobby hingga anak itu terjatuh. "Aduuuuh, Papaaa ...," rintihnya dengan ringisan di wajah. Sontak pria yang menabrak memandang ke arah Bobby. "Maaf, Om nggak senga—" Perkataan pria itu terputus. Wajah anak yang ditabraknya terasa tidak asing lagi dengannya. Matanya, hidungnya, bibirnya, serta bentuk dahinya bagai copy pa
Setelah meninggalkan kamar Angel dan menyuruh perempuan itu beristiraharat Refal muncul tak lama kemudian dengan membawa nampan berisi nasi dan dua buah gelas. Masing-masing gelas tersebut berisi air putih dan teh. Lelaki itu lantas meletakkan di atas nakas."Makanlah dulu," suruhnya pada Angel. Setelah berkata demikian lelaki itu keluar dari kamar.Menghela napasnya, Angel bangkit dari posisinya berbaring. Perempuan itu memijit-mijit pelipisnya. Sementara itu pikirannya mulai mengurai kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupnya.Apa yang dilakukan Ben sekarang? Apa lelaki itu mencarinya? Apa lelaki itu tidak merasa penasaran karena Angel tidak pulang?Angel menepis pikiran demi pikiran itu dari kepalanya. Mana mungkin Ben mencarinya. Lelaki itu sudah mengusirnya dan terlihat begitu membenci Angel.Memejamkan mata, Angel mengusir pikiran tersebut jauh-jauh. Ia tidak boleh lagi memikirkan Ben apalagi berharap lebih dengan menginginkan lelaki itu mencarinya."Kenapa tidak dimakan
Sore itu Refal baru saja pulang dari tempat kerjanya. Hari ini pasiennya tidak terlalu banyak sehingga ia bisa meninggalkan rumah sakit lebih awal.Sejak pagi hujan turun tanpa henti. Titik-titik air masih terus membasahi hingga saat ini.Refal mengemudi dengan santai. Namun lama kelamaan ia mulai merasa ngantuk. Berkali-kali lelaki yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut menutupi kuap dengan telapak tangan. Ia berencana setibanya nanti di rumah akan tidur sepuasnya. Bergelung di dalam selimut adalah hal yang sangat diinginkannya saat ini.Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Lelaki muda itu sontak menekan pedal rem dengan mendadak ketika tiba-tiba melihat seorang perempuan berlari ke tengah jalan dan menabrakkan diri ke mobilnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga ketika orang tersebut ambruk ke aspal tepat di depan mobilnya.Refal buru-buru keluar dari mobil dan melihat sendiri perempuan itu. Kantuknya lenyap. Matanya yang tadi begitu berat mendadak terbuka leb