"Kamu tinggal di sini?" Wajah Dendra tampak begitu antusias ketika bertanya.
Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku membungkuk mengambil ponsel yang terjatuh. Meredam perasaan berkecamuk yang mendadak hadir.
Ah! Kenapa hati ini masih saja belum mampu untuk benar-benar melepaskannya. Padahal rasa sakit yang dulu kurasakan, cukup menjadi alasan untuk tak lagi memberinya sepetak ruang dalam hatiku.
"Untuk saat ini, iya," sahutku sekenanya. Aku tak ingin Dendra tau kalau aku memang tinggal di sini.
"Aku juga baru pindah ke sini, kamu lantai berapa?" Nada suara itu masih saja mampu menggetarkan seutas senar yang membentang dalam hati. Namun aku tak mau terpedaya akan pesona nya, yang masih saja membuatku mabuk. Dia sudah dimiliki perempuan lain.
Heran, dia masih mampu terlihat bersikap biasa setelah apa yang pernah terjadi diantara kami. Setelah meninggalkan luka yang begitu mendalam di hatiku. Entah karena aku hanya memang tak pernah ada di hatinya atau baginya kisah masa lalu kami hanyalah kisah usang yang tak membekas dalam memorinya.
"Lantai delapan," jawabku ngarang. "Sudah ya, Ndra. Aku capek banget, baru pulang," potongku ketika melihat gelagat Dendra yang ingin bertanya kembali. Menatapnya seperti ini, membuat luka yang hampir mengering kembali berdarah.
"Eh, iya. Nanti kapan-kapan mampir, ya. Aku di lantai lima belas," sahutnya dengan senyum simpul yang pernah membuatku terpikat.
"Ya, bye." Aku meninggalkan Dendra yang bergeming di tempatnya, masih menatapku ketika pintu lift menutup.
Mau tak mau, aku memencet tombol lantai delapan untuk memperkuat alibi. Denting penanda pintu lift akan terbuka berbunyi. Kubiarkan pintu stainless itu membuka, lalu ku pencet kembali nomor lantai tempat unitku berada.
Capek fisik, sekarang ditambah lagi luka hati yang kembali menganga. Kemunculannya masih saja menyisakan sedikit rasa perih. Aku pikir, waktu akan mampu menyembuhkan luka ini, atau membuatku terbiasa dengan rasa sakit yang pernah tercipta. Namun semua itu tak berlaku, sosoknya masih saja mampu memporak porandakan segenap rasa.
***
Dua minggu sibuk dengan jadwal penerbangan penuh, sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Membuatku sedikit lupa akan pertemuanku dengan Dendra. Bekerja kadang memang obat yang ampuh untukku melupakan hal-hal yang sulit untuk dienyahkan dari pikiran.
Hari ini jadwal terbangku malam hari. Tadinya aku hanya ingin menghabiskan waktu berkurung di dalam kamar. Berhubung persediaan makananku habis, terpaksa aku harus turun untuk berbelanja di minimarket yang terdapat di lantai dasar gedung apartemen.
Jika sedang tidak bertugas, aku menikmati hari tanpa riasan wajah dan pakaian rapi. Masih dengan wajah lusuh serta piyama yang belum kuganti, aku melangkah keluar dari unitku. Menunggu di depan lift yang akan membawaku ke lantai dasar.
Wajahku mendadak pias, sesosok tubuh jangkung berwajah tampan berpakaian rapi, dan tentu saja sudah wangi, tampak berdiri di dalam lift, ketika pintu di hadapanku terbuka.
"Hei, Mei?" sapanya dengan wajah terkejut. "Kamu dari mana masih pakai piyama?" lanjutnya menatapku yang tetap memilih masuk lift dengan wajah sembab.
"Oh, aku suka jalan pas tidur. Pas bangun ternyata di lantai ini." Jawaban ngasal keluar dari mulutku.
"Serius? Bahaya juga. Memangnya kamu tinggal sama siapa?" Ada gurat khawatir tercetak jelas pada wajahnya.
Ya Tuhan, rencana apa yang sedang Engkau persiapan untukku? Kenapa manusia ini Engkau hadirkan kembali di hadapanku? Apa salahku hingga membuatku pantas menerima semua ini? Lirihku dalam hati.
"Aku tinggal sama sepupu, semalam mungkin dia enggak nyadar kalau aku keluar." Kebohongan lain kuutarakan.
"Lalu sekarang mau kemana? Kok turun?" selidiknya. Mendekatkan wajahnya menyelidik ke arah wajahku. Aroma mint dari after shave-nya menyapu indera penciumanku. Membangkitkan kelebat kenangan yang telah lama terkubur.
"Mau ke coffe shop dulu," sahutku menunduk, tanpa memandang wajahnya. Sebisa mungkin aku tak boleh menatap mata itu jika tak mau mati berdiri.
"Bareng, ya," ujarnya lembut.
"Jangan deh, aku barusan abis janjian sama cowokku, takutnya dia cemburu." Kebohongan lain kembali terlontar.
Ampuni aku Tuhan, entah berapa kebohongan yang telah kuucapkan dalam sekian menit.
Sebelum Dendra sempat menyahut, pintu lift terbuka. Aku melenggang dengan langkah panjang keluar dari lift.
"Mei, tunggu!" teriak Dendra mensejejeri langkahku.
Aku berhenti, menatap sekilas padanya kemudian berkata, "Den, udah deh. Enggak usah menggentayangi aku lagi."
"Apa enggak bisa kita memulai pertemanan dari awal?" Nada suaranya terdengar kaget mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"Saat ini aku belum bisa, maaf ya," sahutku meninggalkannya mematung di depan pintu lift.
Dia pikir hatiku terbuat dari kertas, seenaknya menuliskan kisahnya, lalu menghapusnya tanpa rasa bersalah. Jika ia robek, bisa dengan mudah direkatkan kembali.
Aku mendengkus kesal. Masih pagi, ada saja yang membuat mood-ku memburuk. Aku melangkah pasti menuju coffe shop yang terletak di seberang pintu lift. Semoga saja segelas kafein dan sepotong kue bisa memperbaiki mood-ku.
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i
Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan
Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya