Share

Kembali Ke Rutinitas

Suara nyaring alarm dari ponsel memaksaku terjaga dari tidur. Semalam aku malah bermimpi tentang Dendra. Mungkin karena efek pesan yang dia kirimkan kemarin. Seolah membuka kembali kotak kenanganku ketika bersamanya.

Kupaksakan tubuh untuk bangkit dari baaring, mengumpulkan seluruh kesadaran. Mengenyahkan bayangan wajah Dendra dari pikiran. Dendra adalah masalalu yang telah kukubur dalam. Tak seharusnya ia kembali meminta tempat yang pernah ditinggalkannya dulu. 

Ngapain juga mikirin laki orang, kayak enggak ada laki-laki lain saja, Mei. Rutukku dalam hati.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat, aku harus bersiap karena ada jadwal penerbangan pagi ini. Tak mau terlambat, bergegas kuseret langkah ke kamar mandi.

Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mandi dan bersiap. Seorang pramugari memang dilatih untuk bergerak cepat. Mulai dari dandan, sampai mengerjakan hal-hal lain. Karena pekerjaan kami juga dituntut untuk melakukan semua hal dengan cepat. Apalagi ketika ada kendala di udara, kecepatan memang benar-benar sangat dibutuhkan. Satu detik saja bisa sangat menentukan keselamatan seseorang, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di udara.

Masih ada waktu lima belas menit untuk sekedar mengganjal perut dan menikmati secangkir kopi. Aku mangambil dua lembar roti dan beberapa buah-buahan dari dalam lemari pendingin. Dengan cekatan memasukkan roti ke toaster, menyiapkan coffe maker dan mengupas buah. Semua kulakukam dalam tempo waktu yang cukup kilat.

Selesai membereskan semua peralatan makan, ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal memanggil. Biasanya driver yang ditugaskan untuk menjemput, menandakan bahwa dia telah berada dekat apartment-ku. Bergegas kutarik koper dan melenggang keluar unit setelah memastikan penampilanku sudah sesuai standar prosedur. Rambut digelung dengan model french twist, wajah yang terlihat segar dengan polesan make-up kebaya dan bawahan rapi, name tag, dan id card yang telah berada di tempat masing-masing. Aku siap memulai aktivitas hari ini.

Suasana lorong di depan unit masih sepi, terasa amat sangat mencekam. Jam masih menunjukkan pukul empat tiga puluh. Sebagian penghuninya pasti masih asyik terlena dalam mimpinya.

Dulu aku menganggap profesi pramugari itu menyenangkan, bisa terbang kesana kemari gratis. Tapi nyatanya, ketika sudah dilakukan secara terus menerus apalagi dengan tuntutan aturan dari perusahaan yang ketat, pekerjaan ini terasa cukup berat.

Ibarat makanan enak, mungkin jika sekali dua kali kita memakannya, rasanya tentu nikmat. Namun, jika dihidangkan terus menerus, tentu akan ada rasa bosan juga. Walaupun begitu, aku tak boleh mengeluh, toh aku sudah mendapatkan banyak pengalaman berkunjung ke berbagai negara karena profesiku ini.

"Pagi, Mbak Mei," sapa driver yang menjemputku ketika mobilnya berhenti di loby apartment.

"Pagi, Mas," sahutku dengan senyum terkembang.

Driver yang mengenalkan dirinya dengan nama Jono itu bergegas turun dari mobil, membantuku memuat barang bawaanku ke bagasi mobil.

Mobil meluncur menginggalkan gedung apartment, menembus jalanan ibukota yang sudah mulai menggeliat terjaga. Pejuang-pejuang nafkah ibukota sudah mulai bertebaran menuju tempat mereka mencari rezki.

"Pagi ini jemput kemana lagi, Mas?" tanyaku pada Mas Jono yang berkosentrasi penuh pada jalanan.

"Eh, pagi ini yang dari daerah sini hanya Mba saja," sahut pria bertubuh kurus itu sopan.

"Oh, kirain Sesil bakal sama lagi jadwalnya dengan saya," ujarku teringat salah seorang rekan seprofesi yang tinggalnya masih di daerah Lebak Bulus.

"Mba Sesil kemarin penerbangan malam ke Solo, Mba," terang mas Jono melirikku dari kaca spion tengah.

"Oh, kemarin mas yang jemput ya?" tanyaku takjub ketika mas Jono tau jadwal temanku itu.

"Iya, Mba. Kebetulan saya yang jemput."

Sisa perjalanan menuju bandara begitu senyap. Mas Jono berkosentrasi penuh pada jalanan ibukota yang mulai memadat. Sementara aku, khusyuk mendengarkan audiobook dari di earphone.

Tak terasa mobil yang membawaku sudah memasuki jalan tol menuju bandara. Papan-papan iklan berbagai maskapai sudah terlihat berjejer di sepanjang jalan menuju bandara.

Mas Jono memarkir mobilnya di pintu keberangkatan. Membantuku menurunkan koper kemudian bergerak meninggalkan area bandara. Aku bergegas masuk agar tidak terlambat mengikuti briefing.

****

Selesai sudah tugasku hari ini. Pukul enam sore, penerbangan terakhirku mendarat kembali di Jakarta. Lelah tentu saja, tapi aku berusaha menikmati setiap tetes keringat yang kukucurkan dalam mencari nafkah.

Mobil kantor yang ditugaskan menjemputku sudah menunggu di pelataran pintu kedatangan. Aku dan beberapa rekan lain bergegas menaiki mobil.

Hari ini cukup melelahkan, mataku begitu berat untuk bertahan berjaga.

"Mei ... Mei ...." Sebuah tepukan pelan membangunkanku.

Aku mengerjap-ngerjap memperhatikan sekitarku. Rupanya aku sukses tertidur tak lama setelah mobil berjalan.

"Bentar lagi aku mau turun, takut driver-nya repot bangunin kamu," ujar Elisa ketika mataku sudah benar-benar terbuka.

"Eh, makasih ya, Lis." Aku menegakkan badan untuk mengenyahkan kantuk yang belum sepenuhnya pergi.

***

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Huft benar-benar perjalanan pulang yang menyiksa, kemacetan dimana-mana sehingga jadwal tempuh yang seharusnya hanya satu setengah jam, mundur jadi lima jam.

Aku bergegas ke arah lift. Tak sabar ingin beristirahat, karena besok pagi aku harus kembali beraktivitas.

Sambil menunggu pintu lift terbuka, aku mengeluarkan ponselku. Seperti biasa, aku harus mengabarkan pada kedua orangtuaku kalau hari ini perjalananku berjalan lancar.

Pintu lift berdenting, disusul pintunya yang terbuka. Aku masih menunduk menatap layar ponsel, menunggu orang yang berada di dalam lift untuk keluar.

"Mei?" Suara berat itu mengagetkanku. Membuatku tak sengaja menjatuhkan ponsel.

"Dendra??"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status