Share

Pengakuan

"Pagi Mba," sapa salah seorang pegawai coffe shop ramah. "Mau pesan apa, Mba?" lanjutnya masih dengan senyum terkembang, tak peduli dengan tampilanku yang masih muka bantal, memakai piyama, rambut diikat asal, dan mata masih agak sembab.

"Breakfast Sausage dan Kolasi Toraja, ya," sahutku menyebutkan pesanan.

Setelah membayar, aku mencari tempat yang agak pojok untuk menikmati sarapan. Terpaksa kuurungkan niat untuk ke minimarket gara-gara pertemuan tak terduga dengan Dendra. Emosi, membuat perutku protes minta diisi.

Ternyata Dendra cukup tebal muka, setelah apa yang kukatakan tadi padanya, dia masih saja mengikutiku ke coffee shop ini. Setelah memesan, dia dengan wajah tak berdosa, duduk di hadapanku. Aku tak ingin terlihat begitu kekanak-kanakan, jadi kubiarkan saja.

"Kenapa harus menghindar seperti itu, Mei? Apakah kamu masih marah padaku?" tanyanya menghenyakkan tubuh jangkungnya di kursi kosong di depanku.

Ingin kuteriakkan ke mukanya untuk enyah saja, tapi kutahan. Tak ingin dia tau bahwa hatiku telah dia hancurkan hingga menjadi debu. Lalu ketika aku berusaha untuk bangkit diantara serpihan debu itu, dia datang kembali dengan wajah tak bersalah. Entah dari apa hatinya terbuat.

"Aku tidak marah, hanya saja terlalu menyakitkan bagiku untuk melihatmu kembali." Jujur kuutarakan apa yang kurasakan dengan nada suara yang kubuat setenang mungkin.

"Lalu, apakah kita tidak bisa menjadi teman? Toh banyak pasangan kekasih yang putus, lalu mereka masih bisa menjalin pertemanan tanpa ada rasa saling menyakiti atau tersakiti," tuturnya menatapku tajam.

Ya Tuhan, tolong jaga mulutku agar tak mengeluarkan kata makian terhadap pria ini, pintaku dalam hati.

"Ya, enggak bisa disamain, dong, Ndra. Aku bukan perempuan yang kamu ceritakan." Kusandarkan tubuh pada sandaran kursi, menyilangkan kedua tanganku di dada. Menandakan bahwa aku sudah tak nyaman dengan perbincangan ini.

"Iya, maaf. Aku memang pria brengsek," akunya kemudian.

Nah! Akhirnya sadar diri, kan. Aku bersorak dalam hati.

"Enggak perlu minta maaf lagi. Toh cerita kita sudah selesai, kan? Tak perlu berdalih ingin menyambung silaturrahmi atau apalah itu. Bullshit sajalah itu semua," tuturku masih dengan nada datar. "Aku sudah bahagia dengan hidupku, kamu juga begitu. Sudah bahagia dengan istrimu. Tak usah ada lagi cerita diantara kita."

Dendra terdiam. Tampak seperti meresapi kata-kataku. "Aku tidak bahagia dengan istriku, Mei. Kau kan tau, pernikahan kami bukan berdasarkan cinta. Aku menjalankan ini semua agar tidak mengecewakan mama," tukasnya kemudian.

Percakapan kami terhenti ketika salah seorang pramusaji mengantarkan pesanan kami.

"Lalu, kalau kamu enggak bahagia, bisa seenaknya mengusik ketenanganku setelah sekian tahun aku berusaha untuk bangkit?" tanyaku dengan nada sinis.

"Aku hanya meminta kesempatan supaya kamu bisa membuka hatimu untuk memaafkan aku."

Kali ini nadanya mulai terdengar gusar.

"Buat apa?" Aroma makanan yang kupesan benar-benar menggugah selera, tapi sayang kehadiran Dendra membuat selera makanku mendadak lenyap.

"Ya buat ketenanganku dan kamu," sahutnya tampak tak yakin dengan apa yang diucapkannya.

"Tanpa itu aku sudah cukup tenang. Kalau misalnya aku mati pun, aku sudah tak akan gentayangan karena penasaran," paparku asal.

Dendra diam, menyesap espresso yang dipesannya. Lalu memandangku lama.

"Mama sudah meninggal tahun lalu, tak ada kewajibanku lagi untuk membahagiakan siapa-siapa kecuali diriku. Apakah kamu mau aku menceraikan istriku, lalu kita kembali seperti dulu?" pintanya dengan tatapan yang terasa mengintimidasi.

"Wow! Menurutmu semudah itukah? Setelah dulu, kamu membuangku begitu saja demi kebahagiaan mamamu. Lalu ketika mamamu sudah tak ada, kau ingin memungutku kembali." Kutahan agar suaraku tidak meninggi. Berhadapan dengan pria ini membuatku harus menekan emosiku sekuat mungkin.

"Egois kamu, Ndra. Kamu hanya memikirkan kebahagiaan dirimu sendiri. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dan anakmu?" geramku.

Wajah Dendra kembali gusar, mengacak rambutnya dan kembali menatapku. Kali tatapannya tampak menghiba. Aku tak akan tertipu dengan tatapan itu.

"Sebenarnya ... tanpa bertemu denganmu pun, aku memang sudah berniat untuk bercerai ...." desahnya.

Hening. Bagaimana mungkin. Padahal beberapa minggu yang lalu aku masih melihat mereka tampak sebagai pasangan serasi. Tak ada tanda-tanda mereka sedang mempunyai masalah. Walaupun rasa ingin tahuku cukup tinggi, tapi aku bersikap seolah tak peduli.

"Istriku merasakan kalau aku memang tak pernah benar-benar mencintainya. Dulu ketika akan menikah, dia berpikir kalau dia mampu membuatku mencintainya ...." Dendra kembali mengunci tatapannya padaku. "Setelah sepuluh tahun menikah, dia menyerah. Karena aku memang tak bisa benar-benar melepaskamu dari hatiku, Mei," gumamnya hampir tak terdengar olehku.

Andai saja hati ini tak pernah hancur, inginku menghambur ke pelukannya. Mengatakan bahwa akupun tak pernah mampu mengenyahkan rasa yang pernah tercipta diantara kami. Namun egoku menahan tubuh ini untuk bergeming. Menatapnya dingin.

"Sudah beres ngedongengnya?" ketusku.

Dendra mengembuskan napas kasar. Terjejak jelas kegusaran dari wajahnya, tapi dia tahan.

"Sekali lagi aku minta maaf, karena telah mengecewakanmu dulu, Mei," lirih dia berkata, lalu bangkit dari duduknya meninggalkanku.

Tertegun, melihat sosok jangkung berbahu bidang itu berjalan menjauh. Langkahnya tak seperti biasa yang penuh percaya diri. Dia berjalan gontai menuju pintu keluar. Meninggalkanku dengan perasaan yang tak mampu kuungkapkan dengan kata.

Tuhan, kenapa justru disaat aku telah merelakannya, Engkau kembalikan dia. Aku hanya memohon untuk menghadirkan seorang pria yang mampu mengisi kekosongan hatiku setelah ditinggalkan Dendra. Aku tak ingin dia yang Engkau izinkan untuk kembali masuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status