"Mba ... Kita sudah landing." Suara Lisa, pramugari junior yang menyapaku sebelum berangkat, menyentakkanku dari tidur.
"Oh, Thanks Lis." Buru-buru aku menurunkan ransel yang ada di bagasi kabin pesawat. Bergegas keluar dari garbarata, melewati beberapa penumpang yang telah lebih dahulu keluar dari pesawat.
Seketika udara panas menyapu kulitku ketika keluar dari pintu kedatangan bandar udara Internasional Minangkabau. Beberapa supir taksi menawarkan jasanya berdesakan di depan pintu kedatangan bersama puluhan orang yang juga terlihat tengah menanti kedatangan kerabat mereka dari balik besi pembatas antara pintu kedatangan dengan lobi bandara.
"Taksi Kak?" tawar seorang pria paruh baya bertubuh gempal ketika aku celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Kemeja yang dipakainya tampak terpaksa membungkus tubuhnya yang tambun. Peluh terlihat membanjiri pelipisnya yang berkerut dalam.
"Tidak, Pak. Sudah ada yang jemput," tolakku sembari mengulas senyum.
"Mei!" Terlihat seorang wanita paruh baya melambaikan tangan dengan langkah sedikit tergesa di antara kerumunan penjemput.
"Bundo!" ku percepat langkah menghampiri wanita paruh baya yang terlihat masih segar itu. Tampilannya yang anggun disokong oleh pakaian yang terlihat elegant. Celana pantalon berwarna beige, dengan atasan salem, serta kerudung berwarna senada. Setengah berlari, aku menghambur memeluk Bundo dengan penuh kerinduan.
Hampir satu tahun aku tidak pulang karena sering ditugaskan untuk rute internasional. Rasa rindu yang membuncah, terobati sudah.
"Ayah tidak ikut, Bun?" tanyaku ketika melihat hanya Bundo yang datang.
"Ayah menunggui tukang yang sedang bekerja merenovasi rumah. Bundo kan enggak ngerti urusan begitu. Jadi Bundo saja yang jemput kamu."
"Ooh, masih banyak kerjaannya?"
"Sudah rampung sembilan puluh persen."
***
"Mei, kapan dong kamu bawa calon kamu ke kampung," ujar Bundo ketika mobil sudah bergerak meninggalkan bandar udara.
"Bundo doakan saja, ya," sahutku pelan. Entah kenapa pertanyaan itu selalu saja membuat ku jengah. Bukannya aku tak berniat untuk menjalin hubungan baru, rasa sakit dari hubunganku dengan Dendra masih belum begitu sembuh.
"Kamu jangan cari yang terlalu tinggi kriterianya dong Mei."
"Ih, siapa juga yang pasang kriteria tinggi, Bun. Belum ada yang mau," gelakku mengusir rasa getir yang tiba-tiba saja datang.
"Anak teman Bundo banyak yang mau tuh sama kamu, kamu nya aja yang banyak alasan engga mau ketemu," sungut Bundo.
"Ya tapi nggak ada yang terlihat mau serius sama aku," sahutku agar Bundo tak ceramah sepanjang perjalanan.
***
Seminggu di kampung, aku harus kembali ke Jakarta. Tugasku telah menunggu. Kali ini Ayah ikut mengantar, "Sering-sering pulang kalau sedang tidak dinas Mei, ayah kangen," pesan ayah.
"Ih Ayah biasa juga bisa video call kita," gelakku ketika melihat wajah ayah yang tiba-tiba melankolis.
"Haha ... Iya, tapi tetap beda Mei," gelak ayah membuat matanya seolah tenggelam dalam rongga matanya.
Ayah, walaupun sudah berumur lebih dari setengah abad, sisa ketampanan masa muda masih menjejak di wajahnya yang mulai mengendur. Terkadang aku serasa melihat ayah pada sosok Dendra, itulah dulu kenapa aku bisa bertahan dengan Dendra, rasa nyaman yang diberikannya membuatku merasa seperti ayah sedang melindungiku. Haha ... Seperti 'father complex' ya. Tapi bukankah sosok pria pertama yang di kenal anak perempuan adalah ayahnya, jadi normal saja kalau dia mencari pasangan yang mempunyai karakter seperti ayahnya. Kenapa jadi teringat Dendra lagi. Perbedaan Dendra dengan ayah itu sudah jelas, ayah laki-laki yang setia, sementara Dendra ... Ah sudahlah, kenapa aku harus mengingatnya lagi.
Aku berpamitan dengan ayah dan Bundo ketika panggilan untuk menaiki pesawat terakhir kalinya diumumkan. Aku memang selalu saja menunggu panggilan terakhir diumumkan setiap akan berangkat. Bagiku, berlama-lama sebelum berangkat dengan ayah dan Bundo membuatku bisa sedikit mengosongkan tangki kerinduanku pada mereka.
Setengah berlari, aku menaiki tangga menuju ruang tunggu, untung saja antriannya tidak terlalu banyak, sehingga aku bisa melesar masuk ke pesawat tanpa dipelototi penumpang yang telah lama menunggu.
"Eh, Mba Mei, sudah selesai liburnya," sapa Della, pramugari yang bertugas kali ini.
"Hehe iya, Del ...." sahutku memamerkan senyum ku yang paling hangat.
Tak berapa lama aku duduk, pintu pesawat langsung ditutup.
*** HN***
Setelah menempuh waktu penerbangan selama satu jam lima puluh menit, akhirnya pesawat landing dengan sempurna. Memang Kapten Agus yang bertugas, merupakan Pilot senior yang terkenal dengan kehandalannya pada saat landing. Tak begitu terasa hentakannya pada saat roda pesawat menjejak landasan pacu.
Aku bergegas turun setelah menyampirkan ransel kebangsaanku ke bahu. Berpamitan dengan rekan seprofesiku yang bertugas, lalu melesat turun. Begitu sampai di garbarata, aku menyalakan ponselku, berniat hendak mengabarkan ayah. Ayah memang paling bawel menanyakan kabarku setiap kali aku terbang. Sehingga, seperti suatu ritual bagiku setiap kali turun dari pesawat untuk mengabari beliau.
Baru saja benda pipih itu aku nyalakan, beberapa pesan whatsap masuk, hendak ku abaikan. Namun salah satu pesan dari nomor tak ku kenal menarik perhatianku.
[Mei ... ini aku, Dendra]
Deg, darimana pria itu mendapatkan nomor ponselku. Lagipula, mau apa dia tiba-tiba mengirimiku pesan. Rasa penasaran membuatku membuka pesan dari Dendra dan membalasnya.
[Ya, kenapa Dra?]
Tak menunggu lama, tanda centang biru terlihat.
[Cuma say hi, aja. Tiba-tiba aku kangen] balasnya dengan emot senyum merona.
[Sorry to say, tapi aku ga minat kangen-kangenan ama laki orang] balasku cepat.
[Udah ya, don't try to contact me] kembali ku mengetikkan kalimat lain dengan cepat, disusul dengan memencet pilihan block pada bagian atas percakapan.
Huh, memangnya dia pikir aku akan berteriak kegirangan menerima pesannya yang mengatakan seperti itu. Aku bukan perempuan yang senang menarik perhatian orang yang telah beristri. Aku perempuan yang tak ingin dilukai, sehingga aku berusaha untuk tak mengganggu hubungan perempuan lain. Tak ada hebatnya dari merebut apa yang telah dimiliki orang lain. Hanya akan menuai sumpah serapah yang akan menghancurkan hidupku. Hubunganku dengan Dendra telah lama usai, entah apa lagi yang dia mau dengan mengirimkan pesan seperti itu.
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i
Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan
Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya