Share

Adrian

Mengabaikan perasaan yang mendadak tidak nyaman akibat pesan singkat dari Dendra, aku memencet nomor kontak ayah untuk mengabarkan kalau aku telah mendarat di Bandar udara Soekarno-Hatta.

Setelah nada sambung ke tiga, terdengar suara lembut bundo menjawab, "Assalamualaikum, Mei. Sudah sampai ya?"

"Iya, Bun. Ayah lagi nyetir, ya?"

"Iya, nih. Nanti kalau udah nyampe rumah aja ayah nelpon balik ya," sahut bundo.

"Siap, Bun. Aku juga mau langsung balik. Dah, Bundo." Kututup sambungan telpon setelah bundo membalas salamku.

Berbagai aroma makanan dan minuman memaksa masuk indera penciumanku ketika keluar melewati beberapa kios penjual makanan dan minuman yang terdapat di area kedatangan. Para penumpang yang baru saja turun bersamaku bergegas mengambil troli untuk memuat bagasi mereka yang akan diturunkan dari pesawat. Sebagian dari mereka telah berjejer mengelilingi conveyor tempat bagasi diturunkan. Aku melenggang keluar dari area kedatangan karena tak membawa bagasi lain selain tas ransel kebangsaanku.

Udara panas dan agak terasa lengket menyambutku ketika keluar dari gedung terminal tiga. Tampak beberapa penumpang yang baru saja turun telah berjejer di area pemberhentian bis Damri. Aku pun berjalan setengah berlari ketika melihat pada kaca salah satu bis besar yang baru datang itu, terdapat tulisan jurusan Lebak Bulus.

Aku berhasil masuk dan mendapatkan tempat duduk sebelum beberapa penumpang lain dengan bagasi yang cukup berat, naik ke bis. Aku paling menyukai bepergian dengan transportasi massal dibanding transportasi pribadi ataupun taksi. Bagiku duduk di antara penumpang lain memberikan kesan tersendiri. Apalagi jika transportasi itu tempat duduknya berhadap-hadapan dengan penumpang lain, aku bisa memperhatikan berbagai ekspresi dari penumpang lain.

"Mbak, di sini kosong, kan?" sapa seorang pria menunjuk tempat duduk di sampingku.

"Oh, iya. Kosong Mas, silahkan," sahutku beringsut ke tempat duduk samping jendela.

Tak lupa memberikan senyum hangat ala pramugari yang biasa aku pamerkan. Kadang tuntutan profesi masih suka terbawa ketika sedang tidak bertugas. Mungkin sudah bawaan dari sananya.

"Pulang dari liburan, ya?" Pria yang di sampingku memulai pembicaraan.

Sesosok pria yang wajahnya menurutku biasa saja, tapi tampilannya rapi dan kulitnya yang bersih serta aroma bergamot lembut dari parfumnya membuat dia tampak sedikit menarik di mataku.

"Iya," sahutku singkat kembali melemparkan seulas senyum.

Sebenarnya aku bukan tipe yang bisa langsung akrab ketika diajak orang lain berbicara. Jadi aku hanya bisa membalas singkat ketika ada yang berasa-basi mengajak mengobrol.

"Dari mana memangnya?" tanyanya kembali.

"Dari Padang," sahutku masih dengan kalimat singkat.

"Orang sana, apa cuma pergi liburan?" suaranya bassnya kembali terdengar setelah jeda beberapa saat.

"Asli sana," sahutku, kali ini dengan sedikit cengiran lebar.

"Wah, dimananya? Saya minggu lalu ke Solok."

"Payakumbuh. Ada acara apa di Solok?" kali ini aku pun ikut mengajukan pertanyaan.

"Nyari biji kopi. Saya buka coffe shop di Kemang, untuk kopinya saya cari sendiri ke beberapa perkebunan kopi," terangnya.

"Oh, memangnya di Solok ada kebun kopi yang bagus?" tanyaku penuh minat. Karena setauku, peminat kopi biasa lebih memilih kopi dari Sidikalang Sumatera Utara atau Gayo Aceh.

"Ada, dong. Justru karena belum terlalu terkenal makanya saya ingin memperkenalkan rasanya pada penikmat kopi di Jakarta. Padahal sebenarnya kopi dari Solok sudah banyak diekspor ke Inggris dan Australia. Orang kita saja yang belum terlalu mengenal kopi hasil alamnya sendiri."

"Iya kah? Aku baru tau," sahutku jujur dan takjub juga.

"Eh, saya Adrian." Pria itu menyodorkan telapak tangannya.

Sudah biasa kalau bepergian sendiri naik transport umum begini, ada saja yang mengajak berkenalan. Tapi kali ini aku cukup tertarik meladeni proses perkenalan dengan Pria yang bernama Adrian ini.

"Meinar," sahutku menyambut uluran tangannya.

"Lalu, kamu di Jakarta kerja?" Pertanyaannya kembali tertuju padaku.

"Iyap."

"Kerja di mana? Eh sorry, tidak perlu dijawab kalau merasa tidak nyaman," ucapnya sambil mengangkat telapak tangannya di depan dada.

"Ha-ha, enggak apa-apa. Aku kerja di penerbangan," sahutku tanpa menyebutkan secara terperinci di bagian mana aku bekerja.

Karena setauku, banyak pria yang jadi tertarik untuk mendekati ketika aku mengatakan kalau aku berprofesi sebagai pramugari. Mereka kadang menganggap bisa mengencaniku dengan mudah karena anggapan stereotip negatif terhadap profesiku ini. Padahal masih banyak pramugari yang bekerja lurus tanpa melakukan pekerjaan sampingan yang merusak citra profesi yang satu ini.

Untungnya Adrian tak menanyakan detail pekerjaanku di bagian mana. Sehingga membuatku sedikit lebih nyaman mengobrol dengannya di sepanjang perjalanan. Tak terasa bis mulai merapat ke dalam terminal. Aku baru tersadar, seharusnya aku bisa turun di pintu masuk terminal, tapi karena terlalu asyik mengobrol, aku terpaksa turun pada pemberhentian bis terakhir.

"Oh, iya ... Mei, ini kartu nama saya. Jika ada waktu luang, silahkan mampir ke coffee shop," ujarnya menyerahkan selembar kartu kecil berwarna hitam berpadu coklat ke tanganku.

"Baik, nanti kapan-kapan aku mampir," sahutku mengambil kartu nama dari tangan Adrian.

"Sampai ketemu lagi," pamitnya ketika akan turun.

Tak seperti kebanyakan pria yang biasa mengajakku berkenalan, Adrian tak meminta nomor kontakku. Dia berlalu begitu saja keluar dari bis. Tanpa banyak basa-basi. Pria yang unik, cukup mampu membuatku jadi penasaran. Kulirik kembali kartu nama yang diserahkan Adrian ke tangan ku.

Tertulis disana "Adriano Riyoga" dengan nomor telponnya tertera disana. Sebaiknya kusimpan saja kartu namanya, siapa tau nanti bisa berkunjung ke coffee shop-nya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status