"Mei?" Terdengar suara berat yang tak asing di telinga dari arah belakangku.
Aku berbalik memastikan bahwa telingaku tidak sedang berhalusinasi.
"Oh ... Hei, Dendra?" sapaku berusaha untuk membuat nada suara terdengar biasa.
"Ah! Ternyata benar kamu." Ada bias rindu yang menggantung di kedua belah mata teduhnya.
Satu dekade sudah aku tak melihat tatapan mata teduh itu. Senyumnya masih sama, caranya memandangku juga masih sama, bahkan rasa sakit yang kurasakan juga masih seperti terakhir kali melihatnya.
"Apa kabar? Ah basa-basi banget ya!" gelaknya memamerkan sederet gigi putih yang bersusun rapi di balik bibirnya.
"Ahaha ... Iya! Kalau sudah lihat seperti ini, tak perlu tanya kabar kan?" balasku masih berusaha menetralkan gemuruh yang berdesakkan di dada.
"Pah, sudah beres check-in nya?" Sesosok wanita dengan gamis ungu dan kerudung bewarna senada datang dari belakang Dendra. Pakaian yang di pakainya jelas menampilkan tampilan wanita sosialita. Sebuah tas keluaran perancang ternama tersampir indah di lengannya yang jenjang.
"Oh, sudah. Kebetulan aku bertemu teman lama. Mei ini istriku Nisya, Mah ... Ini Meinar teman seangkatanku ketika SMA dulu."
"Halo, Mei ... Senang bertemu dengan teman lama suamiku." Nisya mengulurkan tangannya yang putih bersih.
Senyum tulus terkembang di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna mauve. Iris mata yang ditutupi lensa kontak berwarna hijau membuat wajah cantiknya terlihat bagai manekin yang sempurna.
"Senang berkenalan denganmu," sahutku meredam rasa perih yang tiba-tiba muncul mendengar kata 'Teman lama' dari bibir Dendra.
Aku tak lebih dari teman lama yang bisa dilupakan begitu saja keberadaanku, karena kisah kami tak berlanjut sebab terhalang restu orangtua.
"Eh, pesawatku sudah mau boarding. Aku duluan ya," pamitku kepada kedua orang yang masih berdiri anggun di hadapanku. Penampilan mereka bak model majalah fashion, tampak serasi, membuat hatiku makin terasa perih.
"Eh ... Oh iya ... Sampai ketemu lagi, Mei." Dendra melambaikan tangannya yang terbalut kemeja lengan panjang biru langit yang mencetak otot lengannya yang kokoh.
"Ya ... Bye Nisya ...." Aku menyempatkan diri berpamitan pada wanita dengan sosok sempurna di hadapanku.
Wanita itu hanya membalas dengan seulas senyum yang begitu manis. Pantas saja Dendra lebih memilih wanita pilihan orangtuanya daripada memilihku yang telah membersamainya selama lima tahun.
Tatkala melewati toko yang menjual souvenir, aku melirik tampilanku yang terpantul pada cermin yang ada di toko kecil itu. Tampak sesosok perempuan dengan tampilan ala kadarnya, memakai celana kulot denim selutut, dengan kemeja berwarna putih longgar. Rambut panjang yang ku warnai burgundy, kuikat asal ke atas tengkuk. Wajahku polos tanpa riasan apa-apa, hanya memakai pelembab bibir yang memberikan sedikit warna pada kulit ku yang pucat. Tas ransel menggantung di pundak, dan sepatu kets putih membungkus kedua belah kakiku. Jauh dari kesan feminim.
Walaupun aku berprofesi sebagai pramugari, namun ketika sedang tidak bertugas, aku lebih memilih tidak menggunakan riasan apapun. Bagiku jika sedang tidak bertugas, lebih nyaman dengan tampilan apa adanya tanpa riasan.
Aku melesat masuk gate menuju pesawat yang akan membawa ku ke kampung halaman.
"Mba Mei, lagi off ya?" sapa pramugari junior yang sedang bertugas dan kebetulan mengenalku.
"Eh iya, Lis. Kamu lagi ditugasin rute ini?" sahutku ramah.
"Iya, Mba ... Seat berapa Mba?"
"2 Alfa."
"Silahkan, Mba." Gadis berseragam kebaya oranye itu mempersilahkan aku menempati tempat duduk yang tertera pada boarding pass.
***
"Maaf Mei, bagiku ketika menikah yang paling utama adalah restu orangtua. Aku anak laki-laki, harus berbakti pada kedua orangtuaku ...." Kata-kata Dendra ketika mengucapkan salam perpisahan terngiang-ngiang lagi di telingaku.
Ya ... Aku harus berbesar hati melepaskan mimpi-mimpiku merajut masa depan dengan pria yang telah merajut asa bersamaku. Lima tahun bersama tak membuat ia berniat memperjuangkan hubungan yang sudah terjalin dalam waktu cukup lama itu.
"Ya ... Sudah, kalau memang harus begitu ... Aku bisa apa," sahutku dengan senyum yang ku buat secerah mungkin. Aku tak mau menampakkan wajah menyedihkan seorang perempuan yang dicampakkan begitu saja oleh orang yang telah merangkai mimpi masa depan bersama denganku.
"Kamu yakin baik-baik saja kan, Mei?" tanyanya seperti mencari kebenaran dalam kedua belah mataku.
"Menurutmu?" Aku balik bertanya. Bukankah pertanyaan aneh, ketika orang yang memutuskanmu menanyakan apakah ia baik-baik saja.
"Aku minta maaf sekali lagi, Mei. Bagiku ini keputusan berat." Dendra menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, kemudian kembali memandangi ku.
"It's okay... Everything gonna be okay," sahutku masih dengan senyum yang menghiasi wajahku.
Aku tak mampu merangkai kata-kata untuk menggambarkan rasa patah hatiku saat itu. Yang jelas, jantungku terasa direnggut paksa dari tempatnya berdenyut. Seketika segala mimpi yang telah tergambar jelas seolah remuk begitu saja. Namun hidupku tak harus hancur begitu saja hanya karena seorang pria. Aku akan terus melanjutkan hidup, menggapai semua cita-citaku tanpa pria itu. Aku ingin memperlihatkan padanya bahwa duniaku tak kan hancur tanpa keberadaannya.
**HN**
"Mba ... Kita sudah landing." Suara Lisa, pramugari junior yang menyapaku sebelum berangkat, menyentakkanku dari tidur."Oh, Thanks Lis." Buru-buru aku menurunkan ransel yang ada di bagasi kabin pesawat. Bergegas keluar dari garbarata, melewati beberapa penumpang yang telah lebih dahulu keluar dari pesawat.Seketika udara panas menyapu kulitku ketika keluar dari pintu kedatangan bandar udara Internasional Minangkabau. Beberapa supir taksi menawarkan jasanya berdesakan di depan pintu kedatangan bersama puluhan orang yang juga terlihat tengah menanti kedatangan kerabat mereka dari balik besi pembatas antara pintu kedatangan dengan lobi bandara."Taksi Kak?" tawar seorang pria paruh baya bertubuh gempal ketika aku celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Kemeja yang dipakainya tampak terpaksa membungkus tubuhnya yang tambun. Peluh terlihat membanjiri pelipisnya yang berkerut dalam."Tidak, Pak. Sudah ada yang jemput,"
Mengabaikan perasaan yang mendadak tidak nyaman akibat pesan singkat dari Dendra, aku memencet nomor kontak ayah untuk mengabarkan kalau aku telah mendarat di Bandar udara Soekarno-Hatta.Setelah nada sambung ke tiga, terdengar suara lembut bundo menjawab, "Assalamualaikum, Mei. Sudah sampai ya?""Iya, Bun. Ayah lagi nyetir, ya?""Iya, nih. Nanti kalau udah nyampe rumah aja ayah nelpon balik ya," sahut bundo."Siap, Bun. Aku juga mau langsung balik. Dah, Bundo." Kututup sambungan telpon setelah bundo membalas salamku.Berbagai aroma makanan dan minuman memaksa masuk indera penciumanku ketika keluar melewati beberapa kios penjual makanan dan minuman yang terdapat di area kedatangan. Para penumpang yang baru saja turun bersamaku bergegas mengambil troli untuk memuat bagasi mereka yang akan diturunkan dari pesawat. Sebagian dari mereka telah berjejer mengelilingi conveyor tempat bagasi diturunkan. Aku melenggang keluar dari area kedatangan ka
Suara nyaring alarm dari ponsel memaksaku terjaga dari tidur. Semalam aku malah bermimpi tentang Dendra. Mungkin karena efek pesan yang dia kirimkan kemarin. Seolah membuka kembali kotak kenanganku ketika bersamanya.Kupaksakan tubuh untuk bangkit dari baaring, mengumpulkan seluruh kesadaran. Mengenyahkan bayangan wajah Dendra dari pikiran. Dendra adalah masalalu yang telah kukubur dalam. Tak seharusnya ia kembali meminta tempat yang pernah ditinggalkannya dulu.Ngapain juga mikirin laki orang, kayak enggak ada laki-laki lain saja, Mei. Rutukku dalam hati.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat, aku harus bersiap karena ada jadwal penerbangan pagi ini. Tak mau terlambat, bergegas kuseret langkah ke kamar mandi.Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mandi dan bersiap. Seorang pramugari memang dilatih untuk bergerak cepat. Mulai dari dandan, sampai mengerjakan hal-hal lain. Karena pekerjaan kami juga dituntut untuk melakuk
"Kamu tinggal di sini?" Wajah Dendra tampak begitu antusias ketika bertanya.Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku membungkuk mengambil ponsel yang terjatuh. Meredam perasaan berkecamuk yang mendadak hadir.Ah! Kenapa hati ini masih saja belum mampu untuk benar-benar melepaskannya. Padahal rasa sakit yang dulu kurasakan, cukup menjadi alasan untuk tak lagi memberinya sepetak ruang dalam hatiku."Untuk saat ini, iya," sahutku sekenanya. Aku tak ingin Dendra tau kalau aku memang tinggal di sini."Aku juga baru pindah ke sini, kamu lantai berapa?" Nada suara itu masih saja mampu menggetarkan seutas senar yang membentang dalam hati. Namun aku tak mau terpedaya akan pesona nya, yang masih saja membuatku mabuk. Dia sudah dimiliki perempuan lain.Heran, dia masih mampu terlihat bersikap biasa setelah apa yang pernah terjadi diantara kami. Setelah meninggalkan luka yang begitu mendalam di hatiku. Entah karena aku hanya memang tak pernah ada di
"Pagi Mba," sapa salah seorang pegawai coffe shop ramah. "Mau pesan apa, Mba?" lanjutnya masih dengan senyum terkembang, tak peduli dengan tampilanku yang masih muka bantal, memakai piyama, rambut diikat asal, dan mata masih agak sembab."Breakfast Sausage dan Kolasi Toraja, ya," sahutku menyebutkan pesanan.Setelah membayar, aku mencari tempat yang agak pojok untuk menikmati sarapan. Terpaksa kuurungkan niat untuk ke minimarket gara-gara pertemuan tak terduga dengan Dendra. Emosi, membuat perutku protes minta diisi.Ternyata Dendra cukup tebal muka, setelah apa yang kukatakan tadi padanya, dia masih saja mengikutiku ke coffee shop ini. Setelah memesan, dia dengan wajah tak berdosa, duduk di hadapanku. Aku tak ingin terlihat begitu kekanak-kanakan, jadi kubiarkan saja."Kenapa harus menghindar seperti itu, Mei? Apakah kamu masih marah padaku?" tanyanya menghenyakkan tubuh jangkungnya di kursi kosong di depanku.Ingin kuteriakkan k
Selepas kepergian Dendra, aku masih belum mampu meredakan perasaan yang mendadak kacau. Ingin rasanya kembali ke unitku, membenamkan diri di dalam kamar. Perutku yang belum sempat terisi mendadak protes. Masa bodohlah dengan Dendra, yang penting perutku terisi.Kopi yang kupesan sudah mulai dingin dan sedikit pahit, tapi rasa pahit dari kopi yang kuminum masih kalah dari rasa pahit yang kurasakan saat ini. Mengingat percakapan dengan Dendra membuat setitik harap yang pernah ada, muncul kembali.Perdebatan batin mulai hadir. Entah kenapa aku merasa besar kepala ketika Dendra mengatakan bahwa perempuan yang dia cintai hanya aku. Namun, logikaku membantah, jika memang dia mencintaiku, tak mungkin dulu dengan mudahnya dia melepaskanku.Terngiang-ngiang kembali bagaimana dulu dia dengan wajah dingin mengatakan bahwa hubungan kami tak lagi bisa berlanjut karena orangtuanya tak merestui. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Sekarang dengan seenaknya dia hadir dan
Hampir tengah malam ketika aku bersama beberapa rekan pramugari lainnya tiba di hotel yang terletak tak jauh dari bandara. Hotel yang memang biasa dijadikan tempat peristirahatan para kru.Aku kebagian kamar Deluxe twin bersama Serin —gadis cantik berwajah eksotis khas timur tengah. Kami cukup beruntung, kamar yang kami tempati menyuguhkan pemandangan gunung Merapi yang menjulang angkuh dan terkesan dingin. Malam ini pemandangannya tak begitu terlihat indah, aku yakin besok, ketika matahari mulai muncul lukisan alam akan tersaji mempesona pada bingkai jendela kaca ini."Mau mandi duluan enggak, Mei?" tegur Serin. Aku memalingkan wajah dari pemandangan malam di luar jendela ke arah gadis itu."Duluan aja, Ser. Aku mau ngedinginin badan dulu, masih keringetan," sahutku, melepaskan sepatu dan duduk mengunjurkan kaki di sofa yang terletak di samping jendela."Oh, ok." Serin beranjak ke kamar mandi. Meninggalkanku yang kembali tenggelam dalam la
Berendam membuatku mengantuk, aku segera keluar dari bath-up. Sudah larut juga. Berniat untuk tidur, ketika teringat sehari tadi aku masih belum memeriksa ponselku. Sehari ini aku juga belum mengabari ayah dan bundo.Sambil mengeringkan rambut, kunyalakan ponsel dan menunggu. Seketika beberapa notifikasi pesan chat dan suara muncul di layar saat benda pipih itu telah menyala sepenuhnya. Beberapa pesan suara dari ayah. Laki-laki yang selalu merindukanku, ha-ha.Kubuka satu persatu pesan dari ayah, "Mei, hari ini kenapa tidak ada kabar?" pesan pertama pada jam 17.00. Pada saat itu aku sedang briefing dan ponsel telah kumatikan."Sudah malam begini ponselmu masih belum aktif. Kamu kemana? Ayah khawatir," pesan kedua pada jam 20.00, ketika aku on board. Tentu saja aku masih belum mengaktifkan ponselku."Mei, telpon ayah jam berapapun. Ayah tunggu.