Share

Broken Wings
Broken Wings
Penulis: Alfarin

Pertemuan Kembali

"Mei?" Terdengar suara berat yang tak asing di telinga dari arah belakangku.

Aku berbalik memastikan bahwa telingaku tidak sedang berhalusinasi.

"Oh ... Hei, Dendra?" sapaku berusaha untuk membuat nada suara terdengar biasa.

"Ah! Ternyata benar kamu." Ada bias rindu yang menggantung di kedua belah mata teduhnya.

Satu dekade sudah aku tak melihat tatapan mata teduh itu. Senyumnya masih sama, caranya memandangku juga masih sama, bahkan rasa sakit yang kurasakan juga masih seperti terakhir kali melihatnya.

"Apa kabar? Ah basa-basi banget ya!" gelaknya memamerkan sederet gigi putih yang bersusun rapi di balik bibirnya.

"Ahaha ... Iya! Kalau sudah lihat seperti ini, tak perlu tanya kabar kan?" balasku masih berusaha menetralkan gemuruh yang berdesakkan di dada.

"Pah, sudah beres check-in nya?" Sesosok wanita dengan gamis ungu dan kerudung bewarna senada datang dari belakang Dendra. Pakaian yang di pakainya jelas menampilkan tampilan wanita sosialita. Sebuah tas keluaran perancang ternama tersampir indah di lengannya yang jenjang.

"Oh, sudah. Kebetulan aku bertemu teman lama. Mei ini istriku Nisya, Mah ... Ini Meinar teman seangkatanku ketika SMA dulu."

"Halo, Mei ... Senang bertemu dengan teman lama suamiku." Nisya mengulurkan tangannya yang putih bersih.

Senyum tulus terkembang di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna mauve. Iris mata yang ditutupi lensa kontak berwarna hijau membuat wajah cantiknya terlihat bagai manekin yang sempurna.

"Senang berkenalan denganmu," sahutku meredam rasa perih yang tiba-tiba muncul mendengar kata 'Teman lama' dari bibir Dendra.

Aku tak lebih dari teman lama yang bisa dilupakan begitu saja keberadaanku, karena kisah kami tak berlanjut sebab terhalang restu orangtua.

"Eh, pesawatku sudah mau boarding. Aku duluan ya," pamitku kepada kedua orang yang masih berdiri anggun di hadapanku. Penampilan mereka bak model majalah fashion, tampak serasi, membuat hatiku makin terasa perih.

"Eh ... Oh iya ... Sampai ketemu lagi, Mei." Dendra melambaikan tangannya yang terbalut kemeja lengan panjang biru langit yang mencetak otot lengannya yang kokoh.

"Ya ... Bye Nisya ...." Aku menyempatkan diri berpamitan pada wanita dengan sosok sempurna di hadapanku.

Wanita itu hanya membalas dengan seulas senyum yang begitu manis. Pantas saja Dendra lebih memilih wanita pilihan orangtuanya daripada memilihku yang telah membersamainya selama lima tahun.

Tatkala melewati toko yang menjual souvenir, aku melirik tampilanku yang terpantul pada cermin yang ada di toko kecil itu. Tampak sesosok perempuan dengan tampilan ala kadarnya, memakai celana kulot denim selutut, dengan kemeja berwarna putih longgar. Rambut panjang yang ku warnai burgundy, kuikat asal ke atas tengkuk. Wajahku polos tanpa riasan apa-apa, hanya memakai pelembab bibir yang memberikan sedikit warna pada kulit ku yang pucat. Tas ransel menggantung di pundak, dan sepatu kets putih membungkus kedua belah kakiku. Jauh dari kesan feminim.

Walaupun aku berprofesi sebagai pramugari, namun ketika sedang tidak bertugas, aku lebih memilih tidak menggunakan riasan apapun. Bagiku jika sedang tidak bertugas, lebih nyaman dengan tampilan apa adanya tanpa riasan.

Aku melesat masuk gate menuju pesawat yang akan membawa ku ke kampung halaman.

"Mba Mei, lagi off ya?" sapa pramugari junior yang sedang bertugas dan kebetulan mengenalku.

"Eh iya, Lis. Kamu lagi ditugasin rute ini?" sahutku ramah.

"Iya, Mba ... Seat berapa Mba?"

"2 Alfa."

"Silahkan, Mba." Gadis berseragam kebaya oranye itu mempersilahkan aku menempati tempat duduk yang tertera pada boarding pass.

***

"Maaf Mei, bagiku ketika menikah yang paling utama adalah restu orangtua. Aku anak laki-laki, harus berbakti pada kedua orangtuaku ...." Kata-kata Dendra ketika mengucapkan salam perpisahan terngiang-ngiang lagi di telingaku.

Ya ... Aku harus berbesar hati melepaskan mimpi-mimpiku merajut masa depan dengan pria yang telah merajut asa bersamaku. Lima tahun bersama tak membuat ia berniat memperjuangkan hubungan yang sudah terjalin dalam waktu cukup lama itu.

"Ya ... Sudah, kalau memang harus begitu ... Aku bisa apa," sahutku dengan senyum yang ku buat secerah mungkin. Aku tak mau menampakkan wajah menyedihkan seorang perempuan yang dicampakkan begitu saja oleh orang yang telah merangkai mimpi masa depan bersama denganku.

"Kamu yakin baik-baik saja kan, Mei?" tanyanya seperti mencari kebenaran dalam kedua belah mataku.

"Menurutmu?" Aku balik bertanya. Bukankah pertanyaan aneh, ketika orang yang memutuskanmu menanyakan apakah ia baik-baik saja.

"Aku minta maaf sekali lagi, Mei. Bagiku ini keputusan berat." Dendra menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, kemudian kembali memandangi ku.‌

"It's okay... Everything gonna be okay," sahutku masih dengan senyum yang menghiasi wajahku.

Aku tak mampu merangkai kata-kata untuk menggambarkan rasa patah hatiku saat itu. Yang jelas, jantungku terasa direnggut paksa dari tempatnya berdenyut. Seketika segala mimpi yang telah tergambar jelas seolah remuk begitu saja. Namun hidupku tak harus hancur begitu saja hanya karena seorang pria. Aku akan terus melanjutkan hidup, menggapai semua cita-citaku tanpa pria itu. Aku ingin memperlihatkan padanya bahwa duniaku tak kan hancur tanpa keberadaannya.

**HN**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status