Share

Kota Blitar

Arum sudah memutuskan, daripada terus kepikiran sama si brondong alay, dia akan pergi ke Blitar akhir minggu nanti. Mas Pras  sudah bilang sebelumnya kalau minggu ini tidak bisa ke Malang karena ada acara keluarga pernikahan sepupunya.  Arum ingin pergi ke Blitar, hitung-hitung memberi kejutan untuk sang suami. Dia memang tidak memberi kabar mengenai kedatangannya tentu saja.

Hari Sabtu itu Arum sampai di terminal Blitar. Sudah memberi kabar pada sang suami yang tiba sebentar lagi. Dia sedang menunggu di pintu keluar sampai vespa biru kesayangan sang suami terlihat di kejauhan. Seperti biasa dengan senyum lebarnya Pras datang. Suaminya ini jujur saja memang biasa-biasa saja secara fisik. Tidak terlalu tampan, tapi tinggi dan juga tegap dengan kulit sawo matang khas pria Indonesia. Mas Pras punya senyum yang teduh. Bahkan tanpa harus mengenalnya, orang akan langsung tahu kalau dia orang yang baik dan sabar. Arum langsung mencium tangannya. Pras memberikannya helm dan segera naik ke sepeda motor itu setelah mengenakannya.

"Jam berapa tadi berangkat?" tanya Pras.

"Sekitar jam enam pagi, Mas," jawab Arum sedikit mengingat.

"Gitu kok ya enggak kasih kabar dari kemaren? Malah baru 10 menit yang lalu kamu kabarin. Kalo tau kan aku bisa berangkat lebih awal," kata Pras menunjukkan perhatiannya.

"Ya enggak apa-apa mas. Aku kan emang pengen bikin kejutan. Hehehe," Arum tersenyum.

"Capek enggak, Dek?" tanya Pras.

"Enggak kok, Mas. Kenapa emangnya?" Arum ingin tahu.

"Kalo jalan-jalan dulu mau? Mas mau pergi ke pasar burung," ajaknya.

"Boleh mas. Hehehe," Arum tentu saja senang. Dia rindu jalan-jalan dengan suaminya ini.

"Mas, enggak kangen sama aku tah?" tanya Arum mulai bermanja.

"Ya kangen lah, Dek," Jawab Pras sekenanya.

Arum memeluk pinggang Pras selama perjalanan. Banyak tertawa sambil melihat-lihat Kota Blitar yang memang lama tak dia kunjungi karena lebih sering suaminya yang datang ke Kota Malang. Begitulah mereka, saat bertemu semua terasa lebih ringan dan mudah. Tidak ada kecanggungan walau memang tak mesra. Tidak datar seperti pesan mereka di ponsel.

Sampai di pasar burung pun mereka keliling. Pras mendadak ingin membeli burung katanya.

"Cari burung apa sih mas?" tanya Arum yang memang tidak begitu mengerti.

"Mas juga belum tahu pasti sih. Pengen beli love bird sih kayanya. Ya kita cari-cari aja dulu ya," ajak Pras sambil melihat kesana kemari.

"Emang udah ada kandangnya di rumah?" tanya Arum lagi.

"Ya belum sih. Ini rencana pengen beli sama kandangnya. Hehehe," jawab Pras yang membuat Arum geleng kepala.

"Kapan hari tiba-tiba pengen vespa. Sekarang tiba-tiba pengen beli burung. Besok apa lagi?" sindir Arum yang dibalas cengir oleh Pras.

Sampai akhirnya Pras memutuskan membeli sepasang love bird berwarna putih bersayap biru plus kandangnya yang berwarna hitam. Tentu Arum yang duduk di belakang harus menggendongnya di punggung. Hal yang pastinya tidak akan dia lakukan kalau tidak terpaksa.

"Owalah, Mas, Mas. Kok yo tega banget aku disuruh bawa ginian," kata Arum merajuk.

"Maaf ya, Dek. Aku enggak tau kalo gak cukup ditaruh depan. Jadi ya terpaksa harus dibawa di belakang. Berhubung di belakangku kamu, kan ya jadi kamu yang harus bawa. Hehehe," Pras coba menjelaskan dengan lembut.

"Ya udah lah enggak apa-apa. Ayo pulang sekarang!" ajak Arum merajuk. Tentu saja Pras menyanggupi daripada istrinya ini makin marah.

Sesampainya di rumah, Ibu Pras yang mendengar suara vespa langsung menyambut anak dan menantu pertamanya ini.

"Loh ada Arum dateng? Kok enggak kabar-kabar toh. Tau gitu kan Ibu bisa masakin yang enak. Ayo ayo masuk!" Arum langsung bergerak mencium tangan ibu mertuanya itu lalu masuk ke dalam rumah sederhana keluarga suaminya itu.

“Enggak perlu repot-repot, Bu. Saya sih makan apa aja kan lahap. Hehehe,” ucap Arum yang selalu bisa mencairkan suasana.

"Kamu nih tetep aja enggak berubah. Kok tiba-tiba sudah sampe di Blitar toh? Mendadak kesininya?" tanya Ibu Pras.

"Iya, Buk. Ya pengen gantian aja. Sekali-kali saya yang kesini. Pengen ketemu Ibu sama Reno," kata Arum.

Reno adalah adik laki-laki Pras yang sekarang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Usianya memang terpaut jauh dengan sang kakak. Bahkan sering sekali orang lain mengira bahwa Pras adalah om dari Reno. Saking jauhnya jarak usia mereka. Dulu waktu masih awal menikah, Reno bahkan sering pergi dengan Pras dan Arum, tapi sekarang dia mulai enggan karena sudah merasa bukan anak kecil lagi.  

"Owalah, kalo Reno ya masih pergi main kalo jam segini," kata Ibu Pras.

"Ya Buk, enggak apa-apa namanya juga anak cowok. Nanti kan juga ketemu. Ini Arum bawa beberapa oleh-oleh buat dia," kata Arum.

"Ngapain sih repot-repot segala? Ya sudah Arum istirahat aja di kamar. Atau Pras kamu ajak makan siang dulu. Ibu pamit mau jaga toko, itu ada orang beli."

Ibu Pras memang memiliki usaha toko kelontong kecil. Satu-satunya usaha yang dimiliki sejak Pras masih kecil. Walau pun rasanya toko itu sudah tua dan ketinggalan jaman, tapi sang ibu tetap mempertahankannya, sebagai bekal tua katanya. Namun sejak ada Reno, otomatis Pras menjadi tulang punggung keluarganya. Itu juga salah satu alasannya sulit untuk jauh dari orangtuanya yang juga sudah renta.

Di kamar Pras, Arum melihat ke sekeliling. Masih sama dengan terakhir kali dia datang ke kamar ini. Kamar sederhana dengan perabotan lawas serba kayu.

"Masih sama aja ya kamarnya. Gak ada perubahan," kata Arum yang masih sibuk mengamati.

"Iya iya lah, Dek. Mau berubah gimana juga? Mas udah nyaman sama kamar ini."

Pras yang duduk di ranjang tersenyum penuh arti dan menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Sini, Dek. Mas kangen," tentu saja Arum mengerti kemana arah pembicaraan ini.

"Baru juga sampe, Mas. Hehehe. Iya bentar ya mas. Aku ke kamar mandi dulu. Habis perjalanan jauh, badan aku kotor banget," pamit Arum meminta pengertian.

Arum kembali dari kaar mandi setelah mengganti pakaiannya dan membersihkan diri. Senyum Pras masih sama dan masih melekat dengan sempurna. Arum memilih duduk di sisinya dan semua bermula dari sentuhan. Ciuman yang berubah dari lebut menjadi menuntut. Siang panas itu terasa lebih panas di kamar Pras. Dua insan melebur jadi satu dan membaur tanpa ragu untuk melepas rindu.

Malam harinya, Pras dan Arum santai di teras depan. Meminum kopi panas buatan sang istri yang langka baginya. Mereka berdua baru selesai makan malam dengan ayah, ibu, dan juga Reno. Ayah Pras juga tidak kalah rentanya. Lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar saja. Arum juga sudah menyapa beliau dan sedikit bertukar cerita.

"Besok acara jam berapa, Mas?" tanya Arum.

"Besok jam 10 kita udah harus berangkat. Kan masih ada iring-iring penganten dulu. Akad sekalian resepsi," Pras menjawab.

"Owh gitu. Iya Mas siap!" kata Arum.

"Habis ini kita istirahat aja. Tamu juga pasti capek kan? Hm… tapi jatah dulu lagi ya, Dek? Mas masih kangen," rajuk Pras dengan senyum manisnya.

"Ya ampun, Mas, mesum banget ini," goda Arum tentu saja.

"Ya emang mesum. Sama istri sendiri ini. Jadi boleh ya Dek berarti?" Pras masih usaha.

"Iya iya boleh kok. Masa aku bisa nolak sih muka kaya gini?" jawab Arum mengusap pipi suaminya yang disambut senyum lebar keduanya.

Keesokan harinya acara pernikahan sepupu Pras pun yang bernama Eli dengan suaminya Aldo berjalan lancar. Saat ini mereka sedang menanti prosesi temu yang akan segera dilangsungkan. Pras dan Arum duduk berdampingan mengenakan sarimbit batik nuansa biru yang nampak serasi. Cuaca memang sedikit panas siang ini jadi Arum sibuk mengipas tubuhnya dengan sobekan kerdus air mineral. Tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponsel Arum dari Viki. “Lagi ngapain?”

Tentu saja Arum terkejut. Ngapain sih nih brondong W* disaat yang tidak tepat?

Arum menjawab secepatnya, “Di Blitar. Acara nikahan sepupu suami.”

Arum berharap Viki cepat paham dengan situasinya saat ini. Begitu centang biru terlihat, Arum langsung menghapus pesannya.

Bukan! Arum menghapus pesannya bukan karena dia berselingkuh. Dia hanya tidak ingin suaminya curiga lalu menanyakan hal yang tidak-tidak padanya lalu kemungkinan terburuknya berakhir dengan pertengkaran. Arum percaya bahwa kadang, ada hal yang memang tak perlu diketahui oleh pasangan demi keberlangsungan hubungan. Itu saja pikirnya. Namun siapa sangka, Pras melihat semuanya dari tadi melalui sudut matanya. Melihat semua pergerakan Arum.

Viki siapa? Kenapa pesannya pake dihapus?

Dalam dian, menatap istrinya dalam-dalam.

Kamu sembunyiin apa dari aku, Dek? Kenapa kamu enggak pernah cerita tentang teman kamu yang namanya Viki?

Pras masih bimbang dan gamang.

Apa aku tanya aja sama dia? Tapi kayanya aku harus cari tahu sendiri tentang Viki sebelum aku ngobrol sama dia!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status