Tiba-tiba kegelapan malam di dalam Penginapan Melati Jingga pecah oleh kilatan belati yang melesat dari bayang-bayang, tepat bersamaan dengan suara debam keras dari lantai dua, dari arah kamar Suro Joyo yang baru saja dipecahkan.
Suro Joyo, Ayumanis, dan Lodra Dahana yang sedang larut dalam peta dan skema, tersentak. Insting seorang ksatria dan prajurit garis depan mengambil alih. Suro Joyo melompat mundur dari meja, tangannya refleks merogoh gagang keris yang terselip di pinggangnya, sementara Ayumanis, secepat kilat, telah mengayunkan pisau belati tipisnya di udara, memangkas benang halus yang baru saja terulur dari celah jendela, mencoba mengunci pintu dari luar. Lodra Dahana, dengan tubuh kekar dan mata elang, segera menggeser meja sebagai perisai, mempersiapkan diri.
"Serangan!" seru Lodra Dahana, suaranya menggelegar.
Bayangan-bayangan itu kini menjadi wujud. Sepuluh prajurit bertopeng, berbalut serag
Sorak-sorai prajurit Wanabisala tiba-tiba berubah menjadi teriakan panik. Patih Darbasona, yang tadinya menyeringai, kini menunjukkan ekspresi terkejut yang nyata, seperti ada yang lepas kendali. Bahkan Jayengsata menghentikan gerakannya, matanya melebar tak percaya.Suro Joyo merasakan sensasi dingin menjalar di punggungnya. Ini bukan gempa bumi biasa. Ini adalah kekuatan yang sangat tua dan jahat. Dari celah-celah retakan yang semakin membesar di gerbang, sesuatu yang bukan kayu atau besi mulai terlihat.Matanya merah menyala seperti bara api neraka, mengintip dari balik celah yang retak, dan sebuah taring hitam sepanjang lengan mulai menyembul, merobek paksa kayu dan besi gerbang Wanabisala seperti kertas. Raungan mengerikan yang memekakkan telinga meledak, bukan dari Jayengsata, bukan dari Darbasona, melainkan dari kegelapan di balik pintu, mengoyak suasana fajar.Itu sosok ksatria gagah perkasa yang berdiri tegap di puncak gerbang Wanabisala, jubah perangnya yang berwarna hitam l
Kemenangan sementara! Para prajurit bersorak. Sorakan kemenangan pertama setelah pertempuran yang keras. Tapi, euforia itu tidak bertahan lama.Keempat raksasa lainnya, seolah merasakan kematian pemimpin mereka dan hilangnya sumber energi utama, berhenti sejenak. Tapi, bukan untuk mundur. Sebaliknya, dari retakan-retakan di tubuh batu mereka, cahaya merah yang lebih terang mulai berpendar, berdenyut seperti jantung yang baru lahir. Tubuh mereka yang rusak justru mulai tumbuh, membengkak, dan berubah.Batu-batu di tubuh mereka mulai melebur dan membentuk kembali, bukan lagi menjadi raksasa yang sama, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, lebih ramping, tapi jauh lebih buas. Tanduk-tanduk tajam mencuat dari kepala mereka, cakar-cakar runcing muncul dari tangan dan kaki mereka. Otot-otot batu mereka tampak lebih padat, lebih menakutkan. Cahaya merah di mata mereka kini membara, dan aura kegelapan yang mereka pancarkan berlipat ganda, memenuhi lembah dengan hawa dingin yang mematikan.
"Ini bukan sekadar penjaga gerbang," gumam Lodra Dahana, senapati tangguh dari Garbaloka, suaranya sarat akan ketegangan, tapi tetap tegas. Ia berdiri tegak, perisai besar berhias ukiran naga di satu tangan dan gada berat di tangan lainnya, siap menghadapi ancaman apa pun yang akan datang.Di sampingnya, Arum Hapsari menajamkan pandangannya, kedua bilah pedangnya yang melengkung memantulkan cahaya redup dari senja yang mulai turun, seolah api biru menari-nari di bilahnya. Aura spiritual yang khas dari murid Bledeksewu mulai menyelimuti dirinya, mempersiapkan untuk pertarungan sengit.Keempat raksasa lainnya, meskipun sedikit lebih kecil dari pemimpin mereka, masih setinggi pohon kelapa dewasa, tidak menunggu aba-aba. Dengan raungan yang mengguncang bumi, mereka bergerak. Dua melesat ke sisi kanan formasi, dua ke sisi kiri, seolah mengikuti taktik perang yang mengerikan. Setiap langkah mereka menyebabkan tanah bergetar, awan debu membumbung tinggi, dan pohon-pohon di sekitar mereka tum
Di sisi lain, Arum Hapsari sudah mengatur pasukannya. Murid Bledeksewu itu memimpin beberapa pendekar pilihan, menciptakan formasi pertahanan yang solid, menangkis serpihan batu dan tanah yang terlempar oleh gerakan raksasa. Westi Ningtyas, dengan gesitnya, menghindari pukulan tangan raksasa yang menyapu. Panah-panah dan tombak-tombak mulai ditembakkan ke arah makhluk itu, tapi sepertinya hanya menggores kulit luarnya, menimbulkan suara benturan logam di atas batu yang keras.Suro Joyo merasakan getaran tanah di setiap langkah raksasa itu. Ia sadar, serangan biasa tidak akan melumpuhkan makhluk ini. Matanya terfokus pada titik-titik lemah yang mungkin ada: mata yang menyala merah, atau bagian tubuh yang tampak lebih lunak di antara sisik-sisik tebal. Ia teringat ajian penyerap energi yang diajarkan gurunya, Ki Tambung. Mungkinkah ia bisa menyerap sebagian kekuatan makhluk ini? Atau setidaknya melemahkannya?Tapi, raksasa itu tidak memberinya waktu untuk berpikir panjang. Dengan raunga
Ayumanis, dengan kelincahan yang luar biasa, berputar di antara kerumunan. Pisau-pisau kilatnya berkelebat cepat, memutus urat-urat tangan pucat atau menusuk leher tak berdarah makhluk-makhluk itu. Setiap gerakan adalah tarian maut yang presisi, tapi ia bisa melihat kelelahan mulai membayangi wajah para prajurit di sekelilingnya. Mereka tidak dilatih untuk menghadapi teror seperti ini."Makhluk apa ini?" teriaknya, suaranya sedikit tertahan saat ia harus melompat mundur dari sergapan tiga makhluk sekaligus.Westi Ningtyas, di sisi lain, menggunakan kecakapannya dalam menangkis dan menghindar. Pedang panjangnya berkelebat, memblokir cakar-cakar yang mengancam dan sesekali menyerang balik dengan tusukan cepat. Tapi, ia merasa merinding. Tatapan makhluk-makhluk itu, atau lebih tepatnya, ketiadaan tatapan dari rongga mata kosong mereka, jauh lebih mengerikan daripada musuh mana pun yang pernah ia hadapi. "Mereka tidak punya titik lemah biasa!" serunya, saat pedangnya menembus tubuh salah
Mereka bergerak cepat, menempuh jarak sangat jauh dalam waktu singkat. Malam ketiga setelah keberangkatan, kelompok inti Suro Joyo tiba di luar Benteng Jagabaya. Benteng itu menjulang kokoh di atas bukit, temboknya tinggi dan menara pengawasnya tampak tegak waspada di bawah sorotan obor. Tapi, yang mengejutkan, pos-pos penjagaan di luar benteng tampak sepi, bahkan beberapa obor padam."Ini aneh," bisik Lodra Dahana, mengamati benteng dari balik semak-semak. "Jayengsata terkenal sebagai senapati yang teliti. Pos terdepan seharusnya tidak lengah seperti ini."Suro Joyo mengernyitkan dahi. "Terlalu sepi. Ini bisa jadi jebakan, atau mereka sudah mengetahui kedatangan kita dan sengaja membiarkan kita mendekat.""Atau," Ayumanis, yang entah sejak kapan sudah berada di sisi mereka, berbisik dengan suara rendah, "Kelompok Arum Hapsari telah melakukan tugas mereka."Lodra Dahana tersentak. "Maksudmu...?"