Dimas masih terdiam sedangkan Naomi menunggunya dengan penuh harap. Dimas menghela napas berat dan hendak membuka mulutnya. Tetapi belum sempat Dimas mengatakan sesuatu Maya yang tiba-tiba muncul, menarik tubuh Dimas dengan kasar menjauh dari Naomi.
Naomi dan Dimas tercekat tapi belum sempat mereka bereaksi banyak Maya sudah melayangkan sebuah tamparan ke wajah Naomi.
“MAYA!” pekik Dimas saking terkejutnya.
“Dasar ganjen, suami kamu ga cukup apa?! Berani-beraninya deketin suami orang lain!” hardik Maya dengan wajah yang merah padam.
Naomi termangu seraya memegangi pipinya, merasakan wajahnya terbakar karena saking kerasnya tamparan Maya. Tapi sungguh apa Naomi berhak menerimanya?
“Ganjen?! Apa maksudmu?! Dia yang datang padaku,” balas Naomi tak gentar.
Naomi tidak terima wajahnya ditampar begitu saja padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan orang tuanya pun tidak pernah memukul Naomi sama sekali tapi lihatlah berani-beraninya Maya melakukan hal itu.
“Ga usah sok kecantikan deh—.”
“Maya berhenti!” Dimas berusaha menarik Maya agar menjauh dari Naomi tapi Maya dengan kasar langsung menepisnya dan menatap garang ke arah suaminya.
“Diem! Kamu ga usah ikut campur ini urusan aku sama cewek genit ga tau diri ini.” Maya menoyor kepala Naomi dengan kasar.
Kekesalan di hati Naomi semakin meluap. Maya sangat keterlaluan kali ini, wanita itu berlaku kasar dan menuduhnya sembarangan, saat Naomi bahkan tidak tertarik pada Dimas walau seujung kuku pun.
“Aku bahkan tidak melakukan apa pun atau menyentuhnya. Kenapa kamu sangat berlebihan?!” pekik Naomi yang langsung disambut oleh jambakan dari Maya pada rambut indah Naomi yang terurai.
“Dasar jalang! Kamu pikir aku bakal percaya?!”
Naomi meringis akar rambutnya tertarik-tarik hingga menimbulkan nyeri di seluruh kulit kepalanya. Naomi meronta hendak melakukan perlawanan sedangkan Dimas kepayahan melerai kedua wanita itu, ia bahkan kesulitan menarik Maya dan memisahkannya dengan Naomi.
Beruntung satpam datang dan menghentikan pertikaian itu. Di saat yang sama Pandu juga datang dengan barang belanjaan yang sudah dikumpulkannya dan menatap panik ke arah Naomi juga Maya.
“Mi ada apa?!”
Naomi hanya menatap sinis ke arah Pandu tanpa berkata apa-apa lalu pergi begitu saja. Naomi masih emosi karena Maya dan kini ia harus melihat wajah Pandu yang malah membuat hatinya semakin terasa sesak.
Kecurigaan itu begitu menyiksa Naomi hatinya tidak lagi merasa senang atau pun damai ketika berada di dekat Pandu dan tentu saja hal itu salah. Pandu adalah suaminya tapi di satu sisi Naomi juga cemas bagaimana kalau pria itu benar-benar bermain api di belakangnya?
“Mas, temen aku ada yang diselingkuhi suaminya,” celetuk Naomi saat ia dan Pandu sudah berada di dalam mobil.
Pandu sontak menginjak pedal rem mobilnya secara mendadak. Naomi yang duduk di sampingnya menyelidiki ekspresi pandu dengan penasaran. Jelas sekali suaminya tampak terkejut, tapi mengapa reaksi Pandu harus berlebihan? Sama seperti saat Dimas mengatakan hal serupa beberapa saat yang lalu.
“Kamu kenapa mas? Kok kaget gitu?” tanya Naomi dingin.
Pandu menghela napas berat lalu menjalankan kembali mobinya, “Kamu beneran terpengaruh omongan Dimas ya? Kenapa harus ngomongin itu sih?”
Naomi mendengus tidak percaya, “Mas aku cuma cerita, kenapa kamu harus nyolot gitu sih? Kalo emang ga ada apa-apa harusnya biasa aja,” sergah Naomi.
“Bukan gitu Nom, aku ga mau gara-gara omongan Dimas tadi kamu jadi terpengaruh dan mikir yang engga-engga tentang aku.”
“Ya terus kenapa kamu harus tersinggung?” sergah Naomi.
“Aku ga tersinggung, Mi cuma....”
“Turunin aku di depan!” pinta Naomi dengan dingin.
“Mi—.”
“Aku tuh cape tau ga. Kamu bahkan ga tau apa yang terjadi di supermarket tadi. Kamu gatau apa yang cewek itu lakuin ke aku. Tapi kamu bahkan ga tanya hal itu, kamu juga ga tanyain gimana kondisi aku,” kata-kata Naomi mengalir begitu saja, luapan emosinya sudah tidak bisa ia kendalikan lagi.
“Ok, maaf—.”
“Turunin aku!” tukas Naomi.
Akhirnya dengan terpaksa Pandu menepikan mobilnya dan membiarkan Naomi pergi sendiri. Lagi-lagi Naomi pikir menghindar adalah jalan terbaik untuk saat ini. Naomi takut ia akan berbicara lepas kendali dan mengungkap hal-hal yang belum pantas untuk diungkapkan. Selagi bukti-bukti belum cukup sepertinya Naomi akan terus menghindari Pandu sebisa mungkin.
***
Naomi tidak pulang dan memilih untuk bermalam di butik. Pandu tidak banyak mendebat Naomi ketika istrinya itu mengabari dan membiarkan melakukan apa yang diinginkannya. Mungkin Pandu ingin membiarkan Naomi menenangkan dirinya atau mungkin karena pria itu tidak peduli. Naomi tidak tahu dengan pasti.
“Menurut kalian anting ini milik wanita atau laki-laki?” Naomi menunjukkan anting yang ia temukan dari kamar gelap Pandu, pada karyawan di butiknya.”
Dan mereka kompak menjawab wanita. Ya manusia mana yang akan berpikir kalau sebelah anting itu milik pria? Dari bentuknya saja sudah jelas sekali. Setelah bertanya begitu Naomi memutuskan untuk pergi ke toko yang menjual anting tersebut.
Semalaman Naomi mencari-cari brand anting itu, ia bahkan bertanya di sebuah forum internet hingga akhirnya seseorang menjawabnya. Anting itu adalah barang limited edition dari brand perhiasan ternama. Akan mudah untuk mencari pembelinya karena anting itu hanya dijual sepasang saja.
Sungguh sebuah keberuntungan pikir Naomi. Dengan mengetahui siapa pemilik anting itu ia akan tahu siapa wanita yang menyusup masuk ke dalam rumahnya tanpa sepengetahuannya.
“Permisi saya mau tanya apa saya bisa melihat siapa pembeli anting ini? Tidak perlu data lengkap cukup namanya saja,” pinta Naomi pada seorang karyawan di toko perhiasan ternama itu.
Karyawan wanita di hadapannya melihat anting itu dengan saksama lalu meletakkannya lagi di atas meja kaca. “Maaf kami tidak bisa memberikan data konsumen pada siapa pun terkecuali untuk kepentingan penyelidikan dan ada surat perintah.”
Naomi mendesah, “Tapi saya hanya butuh namanya saja, tidak perlu nama lengkap tidak masalah, saya mohon,” desak Naomi dengan putus asa.
“Maaf tapi ketentuannya seperti itu.”
Berapa kali pun Naomi memohon karyawan itu tetap tidak mengabulkan permintaan Naomi. Padahal Naomi sudah merasa ia akan menemukan titik terang dan mengungkap kebenarannya, tapi ternyata ia salah.
Dengan kecewa Naomi berjalan keluar toko, tetapi karena pikirannya begitu kalut ia sampai tidak memerhatikan sekitar hingga tubuhnya tanpa sengaja menabrak tubuh seorang pria dan membuat anting yang ada di genggaman Naomi serta gawai milik pria itu terjatuh ke tanah.
“Ah, maaf saya....” ucapan Naomi terhenti begitu ia melihat sosok pria di hadapannya. Seperti dejavu, lagi-lagi pria yang berada di hadapan Naomi di saat seperti ini adalah Dimas. “Kamu...” Naomi segera mengerjap, “Maaf aku ga sengaja.”
Naomi buru-buru mengambil gawai milik Dimas yang teronggok di atas tanah dan dengan panik berusaha memeriksanya takut ada kerusakan. Begitu layar gawai itu berpendar dan memperlihatkan wallpaper ponsel itu gerakkan Naomi langsung terhenti.
Tangan Naomi tiba-tiba bergetar, dan matanya yang mulai berair menatap tidak percaya layar gawai yang kini sedang memperlihatkan foto separuh bagian wajah wanita berikut telinganya yang terhias cantik oleh anting yang sama dengan yang Naomi temukan di kamar gelap Pandu.
Dimas tidak mengerti mengapa Naomi mendadak diam saja, tapi begitu ia melirik ke bawah dan mendapati sebelah anting berkilau yang amat familiar untuknya, Dimas yang tersadar akan sesuatu langsung merebut ponselnya dari tangan Naomi.
“Aku harus pergi Nom—.”
Dimas hendak melangkah tapi Naomi mencekal lengannya.
“Itu Maya kan?” tanya Naomi dengan suara bergetar.
Lagi-lagi Dimas tidak langsung menjawab, ia malah bungkam dengan tatapan sama yang ia berikan pada Naomi saat Naomi menanyakan tentang Maya kemarin pagi. Tatapan getir yang berusaha menyembunyikan sesuatu dari Naomi.
Bulir air mata perlahan jatuh membasahi wajah mulus Naomi, “Anting itu cuma ada satu pasang... apa kamu ga penasaran gimana caranya sebelah anting itu ada di tanganku?!” Naomi meremas jas yang Dimas kenakan, dan menatap pria itu dengan penuh luka juga keputusasaan, “Kamu tau sesuatu kan Dimas! JAWAB!!!”
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la