Berbagai macam pertanyaan dan pikiran negatif seketika memenuhi benak Naomi. Dia tidak ingin berburuk sangka tapi hal-hal yang dia temukan memicunya untuk berpikir begitu dan tanpa sadar membuat Naomi tenggelam dalam lamunannya.
Karena Naomi terlalu senyap, Pandu pun jadi merasa heran. Ia menatap wajah istrinya dengan penuh tanda tanya.
“Apa kamu sakit Mi? Kamu pendiam sekali pagi ini.”
Suara Pandu sontak memutus lamunan panjang Naomi, menariknya kembali pada realita yang tengah membuat dirinya gundah gulana.
“Tidak, aku baik-baik saja.” Naomi mengerjap-ngerjap, “Oh ya mas semalam kamu sendirian? Aku agak cemas.”
“Kalau di ruanganku ya sendiri, tapi ada satpam di luar dan Aldi. Dia juga ga pulang semalam karena sama mendadak tenggat waktu kerjaan dimajukan,” jelas Pandu, “Kamu khawatir aku kesepian ya?” goda Pandu kemudian yang langsung dibalas dengan timpukan gemas dari Naomi.
“Kamu ini.... Oh iya biasanya pekerja perempuan atau modelnya suka ada yang kerja lembur gitu ga?”
“Jarang sih, tapi semalam ga ada. Kenapa sih nanya-nanya? Takut aku dikelonin cewek lain ya?”
Deg! Sungguh godaan Pandu kali ini tidak terasa lucu untuk Naomi dan malah membuat suasana hatinya semakin buruk. Naomi juga melontarkan pertanyaan itu untuk menggali informasi lebih dalam, tapi penjelasan Pandu seolah mematahkan semua kecurigaannya.
Namun tetap saja masih ada hal yang terasa aneh tentang mengapa dari pakaian Pandu tercium aroma parfum wanita?
“Aku mau belanja dulu.” Naomi mengalihkan topik pembicaraan lalu buru-buru mengambil kunci mobilnya. Ia tidak ingin berlarut-larut memikirkan semua itu sebelum semuanya jelas.
“Ayo aku siap antar istriku ke mana pun.” Pandu merebut kunci mobil ditangan Naomi dengan penuh antusias.
“Kamu istirahat aja, bukannya habis bergadang semaleman?” sindir Naomi.
“Aku sempet tidur sebentar sebelum pulang jadi ga ngantuk lagi.”
Mereka pun akhirnya pergi berbelanja kebutuhan bulanan dan bahan makanan bersama. Pagi itu situasi di supermarket tidak terlalu ramai karena baru satu jam buka. Naomi memilih bahan makanan dengan leluasa. Sedangkan Pandu hanya memperhatikannya seraya mendorong troli belanjaan.
“Eh, Naomi?” celetuk seorang pria dari arah belakang Naomi.
Naomi dan Pandu sontak berbalik dan mendapati dua orang yang tidak asing.
“Hey Dim ke mana aja jarang keliatan?” sambut Pandu antusias seraya menepuk-nepuk bahu Dimas dan melirik ke arah Maya, istri dari sahabatnya itu.
Belum sempat Naomi menyapa Dimas atau pun Maya tiba-tiba dari arah sampingnya terlihat seorang nenek yang belanjaannya tumpah ruah. Buah mangga yang besar-besar menggelinding di atas lantai. Naomi dengan cekatan segera mengutipnya dan membantu nenek itu tanpa pamrih.
“Beruntung banget ya punya istri baik hati kaya Naomi. Ga masuk akal sih kalau misalnya lo selingkuhin cewek sebaik itu, Pand.”
Klang!!!
Sebuah kornet kalengan yang tengah digenggam Pandu tiba-tiba saja terjun bebas dan bertumbuk keras dengan ubin supermarket hingga menimbulkan kebisingan.
“Mas kamu gapapa?” tanya Naomi yang baru saja tiba dan membantu Pandu mengambil kaleng di lantai.
“Ah... ini tanganku licin,” balas Pandu terbata-bata dengan wajahnya yang pucat pasi.
Naomi menatap ke arah Dimas dan Pandu bergantian. Ia menyadari ada ekspresi yang tidak biasa dari Dimas. Selain itu perkataan Dimas juga mengapa bisa pas sekali dengan kegelisahan yang kini sedang Naomi rasakan.
“Kenapa kamu ngomong kaya gitu? Bawa-bawa isu perselingkuhan,” celetuk Naomi dengan tatapan penuh kecurigaan pada Dimas.
Dimas langsung tersengih, sorot matanya berubah menjadi lebih ramah. “Ga, kebetulan aja isu kaya gitu lagi panas kan,” balas Dimas, “Lagian kenapa kamu kaget gitu Pand? Kaya orang abis ke gep aja,” sindirnya lagi pada Pandu.
Pandu sontak terbelalak, wajahnya semakin pucat, tapi kali ini kemarahan tergambar di wajahnya. “Lo ngomong apa sih? Mau bikin salah paham orang lain?” rutuk Pandu.
Sedangkan Naomi semakin memicingkan matanya berusaha menebak maksud ucapan Dimas.
Namun Dimas tidak terintimidasi oleh apa pun terlebih amukan Pandu, Dimas malah kembali mengukir senyumnya yang penuh arti dan mencurigakan.
“Kamu nih mau anter aku belanja atau apa? Aku harus kerja bentar lagi,” gerutu Maya mengalihkan pembicaraan Dimas. “Ayo cepetan! Sorry kita sibuk, lain kali aja ngobrolnya,” imbuh Maya pada Naomi dengan ketus lalu menggandeng lengan Dimas dan menarik pria itu pergi bersamanya.
Dimas dan Maya melangkah pergi meninggalkan Naomi dan Pandu serta perasaan tidak nyaman yang Dimas torehkan pada pasangan suami istri itu. Mereka berjalan melalui Pandu dan Naomi. Begitu tubuh Maya bersisian dengan Naomi, Naomi terpaku seketika saat aroma parfum yang menyeruak dari tubuh Maya menembus indra penciuman Naomi.
‘Aroma ini.... sama dengan aroma parfum yang menempel di pakaian mas Pandu pagi ini.’
Naomi menoleh menatap punggung Maya yang semakin menjauh dengan kemelut di pikirannya. Kecurigaan semakin membara membakar hati dan kepercayaan Naomi terhadap suaminya.
Maya dan Pandu bekerja di tempat yang sama. Maya sebagai model dan Pandu sebagai fotografer. Mereka sering pergi bersama karena tuntutan pekerjaan baik antar kota maupun antar negara. Tentu saja dengan semua hal itu mereka akan memiliki banyak waktu bersama.
Apa selama ini diam-diam Pandu bermain dengan Maya? Tapi Maya juga sudah punya suami. Apa mungkin mereka melakukannya di belakang Naomi dan Dimas. Kepala Naomi rasanya mau pecah memikirkan semua itu.
‘Oh tuhan, apa aku boleh berpikir begini?’ Batin Naomi serasa sesak.
“Apa-apaan si Dimas itu....” rutukkan Pandu tertahan begitu melihat Naomi yang mematung di sampingnya setelah kepergian Dimas dan Maya. “Mi, kamu kenapa? Kamu mikirin omongan si Dimas?” tanya Pandu dengan terbata-bata, ketakutan kembali terpancar dari bola matanya.
Naomi tersentak dan lamunannya pecah. Kesadaran Naomi kembali sepenuhnya walaupun hati dan pikirannya masih sibuk beradu tanya yang masih tak berjawab.
“Eh ga kok, ngapain aku mikirin itu. Oh ya, kita berpencar aja ya mas biar cepet belanjanya, nanti ketemu di kasir.”
“Oke deh kamu hati-hati ya.”
Sebenarnya alasan Naomi ingin berpencar dengan Pandu tidak sepenuhnya benar. Tiba-tiba saja ada yang ingin Naomi lakukan untuk memastikan kecurigaannya terhadap Pandu dan Maya, sebab itu Pandu tidak boleh berada di dekatnya untuk sementara waktu dan Naomi harus melakukan rencananya dengan cepat.
Naomi bergegas pergi menuju lorong tempat Dimas dan Maya terakhir kali terlihat dari pandangan Naomi. Setelah beberapa saat mencari mereka, akhirnya Naomi kembali menemukan pasangan itu.
‘Dimas sepertinya tau sesuatu aku harus bertanya padanya,’ batin Naomi.
Namun masalah lainnya muncul, Maya begitu lengket berada di samping Dimas sepanjang waktu hingga dengan terpaksa Naomi harus mengikuti mereka diam-diam sambil pura-pura melihat-lihat barang belanjaan.
Tetapi saat Naomi sedang pura-pura melihat-lihat panci dan peralatan dapur, tanpa sengaja salah satu panci yang diambil Naomi membuat panci lainnya berjatuhan. Beruntung seorang pria datang melindungi tubuh Naomi hingga panci-panci itu tidak menyentuhnya sama sekali.
Begitu Naomi mendongak, tubuhnya terpaku seketika saat maniknya beradu pandang dengan manik kecokelatan milik Dimas. Pria itu melindungi Naomi bahkan rela tubuhnya dihujani panci-panci itu.
Namun seolah tidak merasakan apa pun pada tubuhnya Dimas kini malah menatap Naomi dengan panik dan cemas, “Kamu baik-baik aja Nom?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya pada tubuh Naomi, memeriksa apakah wanita itu terluka.
“Kamu ngelamunin apa sampe—.”
“Apa semalam Maya ada di rumah bersama kamu?” tukas Naomi.
Dimas bungkam seketika, emosi yang terpancar dari bola matanya berubah dengan cepat. Naomi tidak bisa mengartikan sorot mata itu yang jelas Dimas seperti menarik diri dan menyembunyikan sesuatu dari Naomi.
“Dimas jawab!” desak Naomi setengah berbisik
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la