Dimas menatap iba ke arah Naomi, ia berkali-kali menggigit bibirnya dan terlihat tengah mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Naomi sudah yakin bahwa Dimas mengetahui sesuatu.
Di saat yang bersamaan asisten Dimas datang menghampiri mereka tanpa peduli apa yang sedang terjadi antara bosnya dengan Naomi. “Pak, Ibu Anda....” asisten itu membisikkan sisanya pada Dimas.
Dimas sontak terlihat panik dengan terpaksa ia melepaskan genggaman Naomi pada jasnya dengan kasar. “Maaf Nom, aku harus pergi.”
“Jawab aku dulu, kamu bahkan ga jawab pertanyaanku kemarin!” rutuk Naomi dengan deraian air mata di wajahnya.
Namun percuma saja Naomi tidak bisa mencegah Dimas pergi, pria itu tetap pergi begitu saja seperti sebelumnya tanpa menjawab kegelisahan Naomi dan dengan tatapan yang mencurigakan.
Naomi memungut kembali anting sialan itu. Sudah dua bukti mengarah pada Maya, parfum dan anting itu, tapi tidak ada satu pun bukti nyata yang ditemukan Naomi. Semua bukti yang terkumpul bisa dengan mudah di sanggah oleh Pandu jika Naomi mempertanyakan kecurigaannya pada pria itu.
Dan semua ini mulai menyesakkan.
Seperti hari sebelumnya Naomi memilih untuk kembali ke butik karena kondisi hati dan pikirannya terlalu kalut untuk pulang ke rumah. Selain itu Naomi juga tidak yakin ia bisa bersikap normal pada Pandu setelah apa yang ia temukan siang tadi.
Namun sikapnya membuat para karyawan mulai bertanya-tanya karena sebelumnya Naomi tidak pernah menginap di butik. Tidak peduli sebanyak apa pun pesanan, Naomi selalu pulang walaupun larut malam.
Tapi Naomi tidak peduli ia memilih untuk menyibukkan diri, menyiapkan setiap pesanan dari kliennya demi mengusir beban hati dan pikirannya.
Setelah menyelesaikan satu lagi pesanan tersisa, Naomi memilih untuk rehat sejenak. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di ruangan kerja dan membaringkan tubuhnya, mengistirahatkan sendi-sendinya yang sudah bekerja keras sejak pagi sampai malam hari.
Tak berselang lama dering berbunyi nyaring dari ponsel Naomi. Ada sebuah panggilan masuk dari Pandu. Naomi pun langsung mengangkatnya walaupun dengan setengah hati.
“Sayang, aku mendadak ada kerjaan ke Bali selama dua hari. Kamu jangan lupa makan ya, kunci pintu rapat-rapat kalau ada apa-apa telepon aku. Oh ya aku masak sesuatu buat kamu sebelum pergi, kamu tinggal angetin aja kalo mau makan,” terang Pandu di ujung sana.
Kening Naomi sontak berkerut, kecurigaan kembali menyelimuti hatinya. “Kok dadakan banget?”
“Ya, gatau nih bos emang ada-ada aja aku bahkan hampir telat nyampe bandara, bawa baju juga asal-asalan. Oh ya maaf ya Mi lemarinya jadi berantakan.”
“Oh ya udah hati-hati,” jawab Naomi seraya melihat jadwal penerbangan pesawat di internet.
Memang benar ada jadwal penerbangan menuju Bali sekitar satu jam lagi, tapi hal itu tidak lantas membuat Naomi percaya bahwa Pandu memang pergi untuk urusan pekerjaan.
Naomi pun kembali bangkit dari duduknya, mengambil sweaternya dan bergegas pergi meninggalkan butik.
‘Aku harus memastikannya sendiri.’
Selama ini Naomi hanya tahu kalau Pandu ada urusan pekerjaan ke luar kota atau ke luar negeri hanya dari mulut Pandu saja, tanpa tahu apa benar ia dikirim ke sana oleh atasannya atau itu hanya akal-akalannya saja.
“Ke Andromeda Star agensi ya Pak.” Pinta Naomi begitu ia menaiki sebuah taksi.
Setelah menempuh perjalanan 30 menit akhirnya Naomi tiba di tempat suaminya bekerja. Tempat itu masih ramai oleh lalu lalang wanita cantik dan pria-pria tampan yang tidak lain adalah para model di agensi tersebut.
Naomi memberanikan diri untuk masuk ke dalam gedung dan berjalan menuju meja penerimaan tamu. Naomi langsung di sambut oleh sapaan ramah dari seorang Wanita yang tengah berjaga.
“Saya sahabatnya Pandu Satya, saya ingin tau apa benar Pandu, fotografer di sini sedang ditugaskan ke luar kota?”
“Oh kak Pandu ya. Engga tuh, yang terakhir itu waktu ada acara di New York dua bulan lalu.”
Seketika wajah Naomi memutih, darahnya dari kepala seolah tersedot habis tak bersisa dan membuat kepalanya pening tak tertahankan. Pandu telah berbohong kepadanya. Kalau begitu di mana suaminya sekarang?
Kepala Naomi mulai berputar-putar dan membuatnya kehilangan keseimbangan beruntung seorang satpam segera membantu Naomi.
Ketika melihat satpam di hadapannya tiba-tiba saja Naomi teringat lagi akan sesuatu dan dengan segera berusaha menahan dirinya agar terlihat baik-baik saja.
“Pak, apa Pandu fotografer yang bekerja di sini dua hari lalu menginap di sini?” tanya Naomi tanpa memedulikan kondisi tubuhnya, ia lebih penasaran tentang Pandu saat ini.
“Oh beliau memang sempat datang sebentar sekitar 10 menit, lalu pergi lagi, beliau tidak menginap bahkan tidak pernah menginap di agensi.”
“Ya Pandu kerjanya super cepat jadi ga pernah ada lembur,” timpal wanita di balik meja.
Deg!!! Hati Naomi mencelos mengetahui bahwa ternyata selama ini Pandu membohonginya tentang urusan pekerjaan dan kesibukannya. Bagaimana bisa pria itu tega melakukannya? Di saat Naomi selalu memberikan kepercayaan penuh padanya.
“Terima kasih Pak, kak, tolong jangan beritahu Pandu ya kalau saya bertanya tentang hal ini,” ucap Naomi dengan lemah kemudian ia beranjak keluar dari gedung agensi itu dengan langkah sempoyongan.
Pikiran Naomi benar-benar kacau, kekecewaan mulai mencekik Naomi seiring dengan kepercayaannya yang porak-poranda pada suami yang dicintainya itu.
Naomi terduduk di trotoar jalan dan berpikir ke mana kemungkinan suaminya pergi. Namun seolah tuhan ingin menunjukkan keburukan suaminya dan mengungkap rahasia kelam yang sebenarnya, tiba-tiba saja terdengar dua orang pria yang baru saja keluar dari gedung agensi bercakap-cakap membicarakan Pandu.
“Eh tadi sore gue liat orang mirip si Pandu di hotel Mutiara,” celetuk pria berbaju kotak-kotak.
“Ngarang lu ngapain si Pandu di sana? Ga ada kerjaan, rumahnya kan ga jauh-jauh amat dari hotel itu. Salah liat kali.”
“Tapi beneran mirip banget gila, lagian siapa tau dia lagi berantem sama istrinya terus di suruh tidur di luar.”
Naomi yang diam-diam menguping percakapan tersebut tanpa membuang banyak waktu segera bangkit dan bergegas menuju hotel yang dimaksud. Meskipun pernyataan pria itu tidak meyakinkan tapi Naomi tetap harus memeriksanya.
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la