Pukul sembilan pagi, Syaila sudah duduk menghadap hakim untuk mengetahui putusan terakhir atas perceraiannya. Tidak seperti Minggu sebelumnya, hari ini Azka tidak hadir dalam persidangan hanya diwakilkan oleh pengacaranya. Itu tidak masalah bagi Syaila, justru jika pihak terkait tidak hadir akan memudahkan jalannya persidangan. "Demikian sidang pembacaan putusan hari ini, tujuh Desember 2022. Sidang saya tutup." Hakim ketua mengetuk palu tiga kali.Hari ini Syaila resmi menjadi janda. Ia bukan lagi istri dari Azka Prabakesa, laki-laki yang selama ini ia cintai. Putusan sidang perceraiannya membuat dada Syaila sedikit lenggang. Ia menghirup udara dalam dalam seraya terpejam. "Gue harus percaya sama diri gue sendiri," ucapnya.Di depan gedung pengadilan itu, Syaila tersenyum simpul. Ia menatap tulisan yang diukir besar di atas gedung. Ia harap setelah ini ia tidak akan kembali lagi kemari."Saya sudah mengajukan untuk harta gono-gini. Siapkan dan sertakan dukumen yang akan mendukung
Keesokan harinya, selepas mantan mertuanya mengusir Syaila tidak mengizinkan Syaila bertemu dengan Geino. Pagi-pagi sekali Syaila sudah berangkat ke sekolah putranya itu, untuk bertemu dengan anak semata wayangnya. Karena sungguh, meski ia jarang mengobrol dengan anak itu, rasa sepi selalu menyelimuti dirinya kala ia sedang sendiri.Mobil yang ia pinjam dari Nadira sudah ikut berjejer di barisan kendaraan lain di jalanan yang cukup lenggang.Sama seperti seorang ibu pada umumnya, ia tidak akan bisa diam jika urusannya menyangkut anak. Syaila masih bisa menahan diri ketika sang mantan ibu mertuanya menuduh dirinya yang tidak-tidak, tapi jika ada orang yang melarangnya menemui Geino, tidak peduli siapapun. Syaila tidak akan diam saja."Pak, boleh buka gerbangnya? Saya mau menemui anak saya." Sampainya di sekolah, pintu gerbang masuk rupanya sudah di tutup. "Oh, maaf, Bu. Jika tidak dalam keadaan darurat wali tidak dibolehkan masuk untuk ketentraman kegiatan belajar. Jika boleh tahu, a
Kedatangan mantan mertuanya ke sekolah Geino membuat Syaila terkejut. Apalagi wanita itu tiba-tiba menamparnya."Kemarin aku masih bisa diem aja ya, Ma, waktu mama perlakuin aku dengan buruk. Seharusnya mama enggak larang-larang aku buat ketemu sama anak aku sendiri," ucap Syaila. Wajahnya sudah memerah."Kamu enggak punya hak atas cucu saya. Dan sekarang kamu gugat harta gono-gini?" Wanita tua itu tertawa sengak. "Benar-banar enggak tahu diri. Nyesel saya pernah dukung anak saya buat nikah sama perempuan kaya kamu!"Dada Syaila memburu. Napasnya sudah sedari tadi tersenggal. Menahan amarah yang bisa kapan saja meledak. "Jelas aku punya hak atas Geino. Dia anak aku. Sebelum mama nyesel karena telah mendukung pernikahan aku sama Azka. Tanya dulu sama anak mama sendiri. Jangan memutar balikkan fakta! Oh, atau itu salah satu ajaran mama? Selalu bersembunyi atas kesalahan yang sudah dilakukan," sarkas Syaila.Air muka mama dari Azka merenggut. Keriput diwajahnya mengumpul di dahi. "Berani
Sakit hati Syaila atas perlakuan Azka padanya sudah tidak terbendung lagi. Mengetahui dari cerita Geino yang bilang bahwa papanya sudah mengenalkan Maya kepada Geino, menjadi sebuah pukulan paling menyesakkan. Dan yang membuat Syaila tidak menyangka, keluarga Azka bahkan tidak mempersalahkan itu? Apakah selama ini Syaila tidak dianggap? Bugh!"Awh!""Kalau jalan pake mata!" Perempuan dengan rambut digerai berkata dengan garang. Matanya bahkan seperti akan meloncat dari tempatnya.Syaila yang juga merasakan sakit dibagian bahu karena bertabrakan dengan bahu perempuan itu mendongak. Ia nyaris terjatuh jika tidak berpegangan pada pembatas koridor. "Jalan itu pake kaki. Kalau bicara pake otak bukan hanya mengandalkan mulut kamu yang tidak berguna itu." Syaila berdiri tegak kembali. "Sudah jelas-jelas salah kamu. Kenapa jadi kamu yang marah-marah?"Dia berdecih. Wajahnya masih sama menjengkelkan ketika terakhir Syaila bertemu, tempo hari, saat gadis itu tengah tidak mengenakan pakaian a
"Sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, hak asuh anak seharusnya jatuh kepada sang ibu kandung. Karena anak dari yang bersangkutan masih dibawah 12 tahun." Ferdi berdiri dari duduknya. Berjalan menghadap sang hakim ketua. Lima hari lalu, selepas Syaila meminta kepada mantan ibu mertuanya untuk bertemu Geino, dan malah dicaci, Syaila sungguh tidak terima. Sebagai seorang ibu, Syaila tidak bisa jauh dari putranya. Maka, Syaila meminta tolong kepada Ferdi agar mencabut gugatan harta gono-gini dan hanya mengajukan permohonan hak asuh anak.Beberapa hari kemudian Syaila mendapatkan panggilan dari pengadilan, sebab permohonannya dikabulkan. Dan hari ini sidang dilaksanakan dengan terbuka."Keberatan, Yang mulia." Pengacara dari Azka mengangkat tangannya tidak setuju.Semua atensi tertuju pada pria yang dikenal suka wara-wiri di televisi itu. Lantas setelah hakim ketua mempersilahkan pengacara itu bicara, Ferdi duduk kembali."Jika dilihat dari segi ekonomi pak Azka yang lebih pantas
Sidang berlanjut dengan argumen baru dari pihak Azka. "Bicara tanpa adanya bukti hanyalah sebuah omong kosong yang tidak bermakna. Hati-hati jika bicara, atau mulut anda akan berbalik mencelakai anda sendiri," kata Ferdi ditengah panasnya persidangan.Ia memang dibayar untuk membela Syaila sebagai pengacara, tapi melihat Syaila yang diperlakukan buruk oleh orang yang pernah perempuan itu cintai, Ferdi merasa prihatin. Amarahnya tersulut juga."Tentu saja kami memiliki bukti," balas Jaya mengeluarkan sebuah map yang entah apa isinya. Pria berkaca mata itu menyerahkan map itu kepada hakim ketua.Ketiga anggota hakim itu saling adu pandang, saling berbisik setelah melihat apa isi map tersebut. Cukup lama, hingga keheningan persidangan itu kembali hidup."Apakah anda dapat mempertanggungjawabkan apa yang anda katakan dengan bukti ini?" Hakim ketua bertanya pada pihak Azka.Syaila masih belum mengerti, sampai hakim ketua itu memperlihatkan isi dari map tadi. Beberapa foto yang dicetak den
Sudah hampir jam sepuluh malam Syaila belum juga sampai ke tujuannya. Puluhan pesan yang dikirim Nadira ia abaikan, tidak peduli sahabatnya nanti akan mengomel. Sebuah motor matic terus melaju dengan kecepatan tinggi, sebab si pengendara ingin cepat-cepat sampai.Dua puluh menit kemudian Syaila sampai, ia menengadah pada bangunan berlantai yang pernah ia kunjungi itu. Jauh-jauh ia datang ke tempat ini untuk suatu misi yang ia harap dapat membantunya dipersidangan Minggu depan.Lantas tanpa menunggu lebih lama, kakinya melangkah. Karena malam belum terlalu larut, masih banyak orang yang masih berlalu lalang, beberapa sedang menego harga kamar yang mereka akan sewa. "Selamat malam, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Syaila."Saya ada perlu penting," kata Syaila.Dahi perempuan di hadapannya mengerut. "Ada perlu apa?" tanyanya heran. Syaila sedikit mendekat, menempelkan tubuhnya di meja panjang itu. "Sebulan lalu saya pernah ke hotel ini
Setelah satu Minggu berikutnya berlalu, tiba saatnya Syaila untuk mendengarkan putusan hakim. Duduk di kursi bersampingan dengan Azka membuat Syaila sungguh tidak nyaman. Karena demi apapun melihat wajah pria itu rasanya Syaila ingin muntah."Sidang hari ini saya buka."Tok tok tokTidak ada perdebatan yang memanas seperti Minggu lalu. Hakim hanya terus bertanya secara bergantian. Sesekali hakim meminta pendapat pada pengacara dari pihak Syaila maupun Azka."Satu Minggu kami sudah berdiskusi, memilih siapa yang kami pikir akan lebih berhak atas putra saudara-saudara sekalian. Saya putuskan .... "Syaila mengepalkan tangannya kuat-kuat, melapalkan doa sebisanya."Saya putuskan sebaiknya putra dari kalian tinggal bersama saudara penggugat."Wajah Syaila mendongak tidak percaya. Ia sampai meneteskan air matanya, mengucapkan syukur pada sang pencipta.Sementara berbeda dengan Azka yang tiba-tiba berdiri, tidak terima dengan putusan hakim. "Saya lebih berhak, Yang mulia!" katanya."Saudara