Sore itu, suasana teras rumah Nadira berubah menegang karena kedatangan Azka yang tidak diduga.
"Kamu jangan larang aku ketemu sama Geino, dia anak aku juga," ucap Azka. Bicaranya memang setenang itu, namun Syaila tahu, laki-laki itu sedang menekannya sekarang."Mending lo pergi aja dari sini. Lo ngerti kan kenapa Syaila bersikap kaya gini sama lo? Gue disini memang ngebela Syaila, tapi terlepas dari itu, coba intopeksi diri dulu dan balik kalau otak lo udah bener." Nadira ikut bersuara. Mulutnya tidak tahan lagi melihat ekspresi tidak bersalah Azka. Ia bahkan berpikir untuk meninju rahang suami sahabatnya itu—ah, akan menjadi mantan suami—dengan pengalaman juara dua taekwondo tingkat nasional dulu. Namun akal sehatnya masih berjalan. Ia bisa dituntut untuk hal itu.Diantara suara adu mulut yang tidak berhenti, suara dari belakang pungung Syaila mampu membuat perdebatan antar orang dewasa itu tertahan. Nadanya yang datar juga dingin. "Kenapa ribut-ribut? Bisakah kalian bertengkar dengan nada yang sedikit dikecilkan? Aku lagi main game jadi tidak konsentrasi," katanya masih memegang tablet."Geino, kamu masuk, Nak." Syaila benar-benar takut Geino akan mendengar ucapannya. Atau yang lebih buruk anak itu akan salah paham karena telah mengusir papanya."Mengapa? Ada papa. Aku mau main sama papa."Azka tersenyum penuh. Tentu saja kedekatannya dengan sang putra akan ia jadikan sebagai umpan agar putranya bisa ikut dengannya. "Sini, Nak. Papa punya hadiah buat kamu. PS keluaran baru yang kamu ceritakan bulan lalu. Perusahaan yang mengelola memberikannya buat papa saat peluncuran pertamanya." Pria itu sedikit membungkukkan tubuhnya saat berbicara dengan Geino."Tidak! Mama juga bisa belikan PS yang kamu mau. Sekarang kamu masuk." Syaila melangkah maju. Menarik lengan putranya agar menjauh dari Azka.Geino mengernyit. Ia menurunkan tangan sang mama menatap heran. "Mama kenapa? Kenapa harus bertengkar? Kita bisa satu rumah. Aku cuma mau satu PS, buat apa banyak-banyak."Beginilah konsekuensi dalam pernikahan yang gagal. Anak adalah korban, apalagi bagai Geino yang masih di bawah umur. Ia tidak mengerti situasi antara orang tua nya, pikiran nya terlalu bersih untuk Syaila ceritakan kelakuan kotor papanya. Tapi wanita itu juga tidak rela jika Geino pergi bersama Azka."Sekarang Azka pilih, mau pergi sama papa. Atau di sini sama mama?" Adalah kalimat yang Azka tanyakan kepada Geino.Tentu saja membuat Syaila geram. Tapi ia tahan, namun kepalan tangan nya semakin menguat."Aku mau pergi sama papa," kata anak itu mengundang kesedihan yang tidak tertahan dari Syaila. Pun sebaliknya dengan Azka yang tersenyum lebar.Sementara Nadira, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak mungkin memaksa Geino untuk memilih Syaila yang sekarang sudah menangis melihat Geino dibawa oleh Azka. Ia hanya bisa memeluk sahabatnya. "Jangan nangis kaya gini. Lo harus buktiin sama Azka kalo lo bisa tanpa dia. Lo bisa ajuin hak asuh anak. Geino masih di bawa umur yang masih lebih butuh sosok ibunya. Kemungkinan besar Geino enggak akan Azka dapatkan.""Iya, Nad," jawab Syaila dengan nada lirih.****Tiba saatnya, setelah Syaila mendapatkan undangan untuk persidangan pertama perceraiannya, hari ini ia mempersiapkan segalanya. Termasuk hati yang kuat. Tidak peduli kantung matanya yang lagi-lagi menghitam karena menangisi Geino semalaman."Ferdi udah berangkat duluan katanya, nanti ketemu di sana," kata Nadira tiba-tiba muncul di balik pintu yang Syaila tempati.Syaila yang kala itu tengah duduk di depan meja rias menoleh, ia diam beberapa saat lalu kembali menatap sahabatnya. "Gue takut, Nad. Sekarang gue enggak peduli kalau hasil jerih payah gue selama ini Azka ambil. Tapi gue takut Geino malah mau tinggal sama Azka dibanding gue ibunya. Apa gue selama ini ibu yang buruk ya?"Nadira mengembuskan napasnya. Ia melangkah masuk, mendekati Syaila. "Denger, Sya. Jangan gara-gara Azka gertak lo dengan ngambil Geino, lo jadi pesimis kaya gini. Itu hak, lo. Azka harus ngerti kalau dia itu salah. Makanya gue bersedia jadi saksi biar lo bisa hidup bahagia lagi kaya dulu. Walaupun tanpa Azka."Benar, Nadira menawarkan dirinya untuk dijadikan sebagai saksi. Tidak untuk menjatuhkan siapapun, karena Nadira benar-benar tahu kejadiannya."Sekarang kita berangkat. Gue tahu lo bisa."Tiba di tempat tujuan, Syaila dan Nadira mencari keberadaan Ferdi. Dan syukur mereka bertemu di depan ruang persidangan."Sudah bawa berkas yang saya minta untuk dibawa kan?" tanya Ferdi. Syaila hanya mengangguk.Siang itu waktu terasa bergerak lebih lambat. Detak jantung Syaila berpacu lebih kencang. Apalagi melihat rombongan keluarga Azka yang datang. Sidang sebentar lagi akan mulai, namun kegundahan hati Syaila semakin tidak karuan. Ia ingin berlari dari semua kenyataan pahit ini.Tidak ada sapa atau senyum ramah dari ibu Azka. Ayah Azka yang selalu memuji kemandirian nya pun enggan hanya untuk membalas senyum Syaila. Ia tahu, ia sekarang bukan lagi bagian dari mereka. Apalagi saat media menyebar luaskan perihal dugaan Azka yang selingkuh. Entah mengetahui dari mana, yang pasti keluarga prabakesa mungkin terasa tercoreng."Saudari penggugat dan saudara tergugat dipersilahkan memasuki ruang persidangan." Suara perempuan berpakaian rapih menggelegar.Bukan hanya Syaila yang masuk, Ferdi juga pengacara yang dibawa Azka juga masuk. Berikut dengan keluarga Azka dan Nadira turut menyaksikan jalannya persidangan.Sebelum melangkah kerangkaian inti, hakim ketua terlebih dulu bertanya. Banyak pertanyaan yang beliau lontarkan membuat Syaila tidak dapat lagi menahan air matanya."Saudari penggugat, apakah anda yakin dengan keputusan yang anda buat?" tanya hakim ketua. Syaila mengangguk yakin."Selama 13 tahun pernikahan, pasti tidak sedikit kenangan manis yang saudara miliki. Apalagi saudara memiliki seorang putra. Apakah keputusan saudara sudah saudara pikirkan dengan matang?" Pria yang duduknya di dampingi dua rekannya itu kembali bertanya.Syaila tergugu, apalagi setelah bertukar pandang dengan Azka. Jika boleh jujur, ia masih belum mendapatkan jawaban atas dirinya sendiri."Saudara bisa mengubah semuanya sebelum keputusan saudara kami lanjutkan."Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Syaila diam beberapa saat. Namun saat ia tidak sengaja saling adu pandang dengan Maya, yang rupanya turut hadir menyaksikan persidangan ia langsung menjawab tanpa berpikir lebih panjang."Saya yakin! Saya juga menolak untuk mediasi. Sebab saya pikir, diantara kami tidak perlu ada lagi yang harus diperbaiki."Semua orang yang ada di sana bereaksi terkejut, termasuk Ferdi yang duduk mendampingi nya langsung menoleh."Bukan hanya perihal tentang ketidak cocokkan lagi. Masalahnya ada pada dia." Syaila menoleh ke arah Azka. "Saya tidak mau hidup bersama orang yang telah mengkhianati pernikahannya sendiri."Suasana persidangan mendadak menegang. Wajah Azka merah padam. Bahkan keluarga Azka tidak terima dengan pernyataan yang Syaila lontarkan barusan. Mereka saling berbisik jika Syaila hanya berbicara omong kosong mencari pembelaan.Tiga hakim saling berbisik, tidak kalah menegangkan saat menunggu putusannya. "Baik jika begitu, sepertinya upaya mediasi ti
Pukul sembilan pagi, Syaila sudah duduk menghadap hakim untuk mengetahui putusan terakhir atas perceraiannya. Tidak seperti Minggu sebelumnya, hari ini Azka tidak hadir dalam persidangan hanya diwakilkan oleh pengacaranya. Itu tidak masalah bagi Syaila, justru jika pihak terkait tidak hadir akan memudahkan jalannya persidangan. "Demikian sidang pembacaan putusan hari ini, tujuh Desember 2022. Sidang saya tutup." Hakim ketua mengetuk palu tiga kali.Hari ini Syaila resmi menjadi janda. Ia bukan lagi istri dari Azka Prabakesa, laki-laki yang selama ini ia cintai. Putusan sidang perceraiannya membuat dada Syaila sedikit lenggang. Ia menghirup udara dalam dalam seraya terpejam. "Gue harus percaya sama diri gue sendiri," ucapnya.Di depan gedung pengadilan itu, Syaila tersenyum simpul. Ia menatap tulisan yang diukir besar di atas gedung. Ia harap setelah ini ia tidak akan kembali lagi kemari."Saya sudah mengajukan untuk harta gono-gini. Siapkan dan sertakan dukumen yang akan mendukung
Keesokan harinya, selepas mantan mertuanya mengusir Syaila tidak mengizinkan Syaila bertemu dengan Geino. Pagi-pagi sekali Syaila sudah berangkat ke sekolah putranya itu, untuk bertemu dengan anak semata wayangnya. Karena sungguh, meski ia jarang mengobrol dengan anak itu, rasa sepi selalu menyelimuti dirinya kala ia sedang sendiri.Mobil yang ia pinjam dari Nadira sudah ikut berjejer di barisan kendaraan lain di jalanan yang cukup lenggang.Sama seperti seorang ibu pada umumnya, ia tidak akan bisa diam jika urusannya menyangkut anak. Syaila masih bisa menahan diri ketika sang mantan ibu mertuanya menuduh dirinya yang tidak-tidak, tapi jika ada orang yang melarangnya menemui Geino, tidak peduli siapapun. Syaila tidak akan diam saja."Pak, boleh buka gerbangnya? Saya mau menemui anak saya." Sampainya di sekolah, pintu gerbang masuk rupanya sudah di tutup. "Oh, maaf, Bu. Jika tidak dalam keadaan darurat wali tidak dibolehkan masuk untuk ketentraman kegiatan belajar. Jika boleh tahu, a
Kedatangan mantan mertuanya ke sekolah Geino membuat Syaila terkejut. Apalagi wanita itu tiba-tiba menamparnya."Kemarin aku masih bisa diem aja ya, Ma, waktu mama perlakuin aku dengan buruk. Seharusnya mama enggak larang-larang aku buat ketemu sama anak aku sendiri," ucap Syaila. Wajahnya sudah memerah."Kamu enggak punya hak atas cucu saya. Dan sekarang kamu gugat harta gono-gini?" Wanita tua itu tertawa sengak. "Benar-banar enggak tahu diri. Nyesel saya pernah dukung anak saya buat nikah sama perempuan kaya kamu!"Dada Syaila memburu. Napasnya sudah sedari tadi tersenggal. Menahan amarah yang bisa kapan saja meledak. "Jelas aku punya hak atas Geino. Dia anak aku. Sebelum mama nyesel karena telah mendukung pernikahan aku sama Azka. Tanya dulu sama anak mama sendiri. Jangan memutar balikkan fakta! Oh, atau itu salah satu ajaran mama? Selalu bersembunyi atas kesalahan yang sudah dilakukan," sarkas Syaila.Air muka mama dari Azka merenggut. Keriput diwajahnya mengumpul di dahi. "Berani
Sakit hati Syaila atas perlakuan Azka padanya sudah tidak terbendung lagi. Mengetahui dari cerita Geino yang bilang bahwa papanya sudah mengenalkan Maya kepada Geino, menjadi sebuah pukulan paling menyesakkan. Dan yang membuat Syaila tidak menyangka, keluarga Azka bahkan tidak mempersalahkan itu? Apakah selama ini Syaila tidak dianggap? Bugh!"Awh!""Kalau jalan pake mata!" Perempuan dengan rambut digerai berkata dengan garang. Matanya bahkan seperti akan meloncat dari tempatnya.Syaila yang juga merasakan sakit dibagian bahu karena bertabrakan dengan bahu perempuan itu mendongak. Ia nyaris terjatuh jika tidak berpegangan pada pembatas koridor. "Jalan itu pake kaki. Kalau bicara pake otak bukan hanya mengandalkan mulut kamu yang tidak berguna itu." Syaila berdiri tegak kembali. "Sudah jelas-jelas salah kamu. Kenapa jadi kamu yang marah-marah?"Dia berdecih. Wajahnya masih sama menjengkelkan ketika terakhir Syaila bertemu, tempo hari, saat gadis itu tengah tidak mengenakan pakaian a
"Sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, hak asuh anak seharusnya jatuh kepada sang ibu kandung. Karena anak dari yang bersangkutan masih dibawah 12 tahun." Ferdi berdiri dari duduknya. Berjalan menghadap sang hakim ketua. Lima hari lalu, selepas Syaila meminta kepada mantan ibu mertuanya untuk bertemu Geino, dan malah dicaci, Syaila sungguh tidak terima. Sebagai seorang ibu, Syaila tidak bisa jauh dari putranya. Maka, Syaila meminta tolong kepada Ferdi agar mencabut gugatan harta gono-gini dan hanya mengajukan permohonan hak asuh anak.Beberapa hari kemudian Syaila mendapatkan panggilan dari pengadilan, sebab permohonannya dikabulkan. Dan hari ini sidang dilaksanakan dengan terbuka."Keberatan, Yang mulia." Pengacara dari Azka mengangkat tangannya tidak setuju.Semua atensi tertuju pada pria yang dikenal suka wara-wiri di televisi itu. Lantas setelah hakim ketua mempersilahkan pengacara itu bicara, Ferdi duduk kembali."Jika dilihat dari segi ekonomi pak Azka yang lebih pantas
Sidang berlanjut dengan argumen baru dari pihak Azka. "Bicara tanpa adanya bukti hanyalah sebuah omong kosong yang tidak bermakna. Hati-hati jika bicara, atau mulut anda akan berbalik mencelakai anda sendiri," kata Ferdi ditengah panasnya persidangan.Ia memang dibayar untuk membela Syaila sebagai pengacara, tapi melihat Syaila yang diperlakukan buruk oleh orang yang pernah perempuan itu cintai, Ferdi merasa prihatin. Amarahnya tersulut juga."Tentu saja kami memiliki bukti," balas Jaya mengeluarkan sebuah map yang entah apa isinya. Pria berkaca mata itu menyerahkan map itu kepada hakim ketua.Ketiga anggota hakim itu saling adu pandang, saling berbisik setelah melihat apa isi map tersebut. Cukup lama, hingga keheningan persidangan itu kembali hidup."Apakah anda dapat mempertanggungjawabkan apa yang anda katakan dengan bukti ini?" Hakim ketua bertanya pada pihak Azka.Syaila masih belum mengerti, sampai hakim ketua itu memperlihatkan isi dari map tadi. Beberapa foto yang dicetak den
Sudah hampir jam sepuluh malam Syaila belum juga sampai ke tujuannya. Puluhan pesan yang dikirim Nadira ia abaikan, tidak peduli sahabatnya nanti akan mengomel. Sebuah motor matic terus melaju dengan kecepatan tinggi, sebab si pengendara ingin cepat-cepat sampai.Dua puluh menit kemudian Syaila sampai, ia menengadah pada bangunan berlantai yang pernah ia kunjungi itu. Jauh-jauh ia datang ke tempat ini untuk suatu misi yang ia harap dapat membantunya dipersidangan Minggu depan.Lantas tanpa menunggu lebih lama, kakinya melangkah. Karena malam belum terlalu larut, masih banyak orang yang masih berlalu lalang, beberapa sedang menego harga kamar yang mereka akan sewa. "Selamat malam, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Syaila."Saya ada perlu penting," kata Syaila.Dahi perempuan di hadapannya mengerut. "Ada perlu apa?" tanyanya heran. Syaila sedikit mendekat, menempelkan tubuhnya di meja panjang itu. "Sebulan lalu saya pernah ke hotel ini