"Bagaimana jika pelakunya adalah orang lain, bukan Elisa seperti yang kalian kira," ungkap Hart dengan pendapatnya.
"Itu yang kami takutkan Hart. Elisa mungkin masih punya perasaan dan tidak tega mencelakai Liana-cucunya, tapi jika ini orang lain maka akan berbeda hasilnya."
Ali membenarkan.
"Apa menurutmu pelakunya bukan dari keluarga Veronica?"
"Mungkin saja, tapi apa tujuannya?" Ali merasa kembali pada titik nol setelah penyelidikannya selama bertahun-tahun.
"Masih ada kemungkinan ketiga," sahut Liana dari belakang.
Kedua lelaki itu dibuat terkejut dan spontan menoleh ke arah Liana datang.
"Nona?"
"Liana?"
Mereka mengucapkan kata yang berbeda secara bersamaan.
Liana duduk di ujung bangku di samping Hart. Bangku itu cukup panjang, lima orang duduk di sana masih akan muat.
"Tadi kau mengat
"Menghilang!"Semuanya dikejutkan oleh jawaban seseorang yang muncul dari ujung tangga."Tahu dari mana kau, budak sialan?" timpal Viana."Dia yang membawa pelayan itu, Nona," tunjuk salah satu pengawal yang melihat Hart menyelamatkan pelayan yang terjatuh."Oh ... jadi pelayan itu suruhanmu?" Viana kembali melayangkan tuduhan yang tidak jelas, kali ini Hart menjadi sasarannya.Hart hanya menatap Viana sekilas, pemuda itu tidak peduli dengan ucapannya.Liana yang tiba bersama Hart, langsung menghampiri Riana untuk mendapatkan pelukan darinya."Apa pelayan itu ada hubungannya dengan kematian ibu?" tanya Riana setelah Liana melepaskan pelukannya."Kemungkinan begitu. Saya Isac Marius, detektif yang menangani kasus ini. Bisa saya minta beberapa keterangan dari Anda?" kata Isac kepada Hart."Tidak masalah," jawab Hart tanpa ragu."Isac?" panggil Ali yang baru saja tiba."Ali? Kau masih bekerja di
"Jadi ... Liana! Apa orang yang kita curigai ini sama?" Dengan santainya Hart mengungkapkan kecurigaannya. Liana cukup terkejut mendengar ucapannya, ia takut jika seseorang sampai mendengarkan perkataan pemuda itu. "Diamlah! Dasar bodoh!" bentak Liana dengan berbisik, matanya berputar mengamati sekitar, memastikan tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. "Entak kenapa jawaban yang aku temukan dari dua pertanyaan detektif tadi selalu mengarah padanya. Aku menyadari jika pikiranmu sama denganku saat kamu menahanku tadi." Hart seakan tidak peduli dengan teguran Liana, pemuda ini seakan tak punya rasa takut sama sekali. "Kau ingin anggur ini kutuangkan ke wajahmu?" ancam Liana sebagai ungkapan kekesalannya saat peringatannya diabaikan. Hart mendekatkan wajah ke hadapan Liana, "kenapa kau begitu takut?" bisiknya. Liana tak mampu bertahan lama bertatapan dengan Hart, bola matanya bergerak tidak karuan menc
Saat kepanikan menguasainya, Riana tiba-tiba teringat seseorang."Apa kalian melihat Viana?"Dengan suara lirih sedikit bergetar, wanita itu mencari tahu di mana adiknya. Namun, satu pun pelayan tidak ada yang mengetahui keberadaannya.Ketegangan di lantai dua masih berlanjut, yaitu di depan kamar Viana. Perlahan dan penuh kewaspadaan, Hart mendorong pintu yang sedikit terbuka menggunakan kakinya. Hart berhenti sebelum pintunya terbuka lebar, kakinya tidak dapat menjangkau terlalu jauh, ia harus tetap berlindung di balik dinding.Kini ada sela antara dinding dan pintu. Hart mencoba mengintip mencari tahu keadaan di dalam kamar, tapi sudut yang dapat dijangkau pandangannya sangat terbatas.Hart kembali bersandar pada dinding, menggelengkan kepala saat melirik Ali yang sedang menatap ke arahnya.Tempat Ali berdiri berbeda, jangkauan pandangannya lebih luas dari apa yang dapat diawasi Hart. Namun, ia juga tidak melihat sesuatu yan
"Ada banyak, mereka ... orang-orang itu membawanya." "Saya tidak tahu apa maksudmu. Tenangkan dulu dirimu, lalu katakan dengan jelas apa yang terjadi," saran Isac pada orang yang meneleponnya. Dari speaker ponsel yang ditempel pada kuping, Isac dapat mendengar dengan jelas suara napas yang dihembuskan dengan pelan. Dia berusaha menenangkan diri. "Kalau kau sudah tenang, sekarang ceritakan apa yang terjadi di sana," pinta Isac setelah menunggu beberapa detik. "Kami dihadang, Pak. Sebuah kelompok menghentikan kami sebelum sampai ke rumah sakit. Mereka banyak, semuanya membawa tongkat baseball atau semacamnya." "Kalian terluka?" "Kami baik-baik saja. Namun, mereka memaksa mengambil salah satu korban yang terluka. Kami tidak bisa menahannya, mereka terlalu banyak. Maaf, Pak." "Ini salahku, seharusnya kutugaskan beberapa anggota bersenjata mengawal kalian. Lalu, di mana kalian sekarang?" "Kami sebentar lagi akan sampai k
Sebuah pemandangan yang mencengangkan kembali muncul dari arah tangga. "Hart ...?" decak Liana penuh tanya, situasi yang ia lihat menjadi pukulan tersendiri baginya. Hart turun dari lantai dua dengan pengawalan dan borgol melingkar pada pergelangan tangan. Liana berdiri, setiap orang menoleh ke arah tangga setelat melihat ekspresi kaget yang terpampang pada wajah wanita cantik itu. Ali sama terkejutnya, gelang besi yang dikenakan Hart jelas menandakan jika pemuda itu telah melakukan sesuatu yang salah. Tidak ingin menebak-nebak dan menyimpulkan sendiri. Ali langsung bergegas ke arah mereka, menunggu di ujung tangga dengan deretan pertanyaan dalam kepala. "Apa dia dalangnya?" lirih Viana yang belum mampu berdiri. Dalam hati ia ingin sekali melayangkan tamparan telak pada wajah tegas Hart. "Aku tidak tahu, tapi tangannya diborgol," jawab Riana yang masih duduk di samping Viana, tidak ingin meninggalkan adiknya sendiri di teng
"Jika saja Liana belum memberimu tamparan, maka saya pastikan tanganku ini yang akan melakukannya. Apa mungkin kau telah tahu rencana pembunuhan ibu dan mengatur pembunuhanku?" Kini giliran Viana yang melontarkan pertanyaan sulit, lebih terdengar seperti sebuah tuduhan."Maaf, Nona. Sepertinya dia hanya bertindak sebagai informan. Kami telah melucuti alat komunikasi satu arah yang dia gunakan.""Kalau begitu, cepat bawa dia pergi dan jebloskan ke dalam sel tahanan! Atau tembak mati saja sekalian," kata Viana begitu kesalnya.Apa yang disarankan Viana tidak mungkin dilakukan saat itu, terutama tentang menembak mati Hart."Kami tidak bisa membawanya pergi sebelum Isac dan timnya kembali. Jika sebuah kelompok menghadang, kemungkinan kami tidak akan bisa melawan dengan jumlah yang terbatas," jelas detektif yang bertubuh tinggi."Kami butuh sebuah ruangan untuk menahannya sementara, ditakutkan dia akan berontak atau kabur saat kita sedang lengah,"
"Siapa kau?" tanya Hart menatap heran.Namun, pertanyaan Hart hanya dibalas senyuman, wanita itu sekilas menatap wajahnya lalu kembali fokus membuka borgol.Dia mahir, hanya butuh beberapa detik saja untuk melepas borgol dari tangan Hart."Sekarang, kau bisa bergerak leluasa. Aku Aura."Aura menggantung borgol di depan wajah Hart dengan jemarinya, memiringkan kepala dan tersenyum pada Hart.Meski dengan tangan diborgol, seharusnya pemuda itu masih bisa kabur, meskipun hal itu akan memperlambat larinya."Apa rencanamu?" tanya Hart."Tentu saja mengeluarkan kamu dari sini.""Tidak semudah itu, aku tahu di depan ada seseorang yang berjaga.""Akan kualihkan perhatiannya. Saat itu keluarlah lalu segera masuk ke dalam salah satu kamar pengawal. Kamar-kamar itu memiliki jendela, kau bisa keluar dari sana," tutur Aura menjelaskan rencananya."Bagaimana denganmu?""Begitu kau masuk ke kamar pengawal, akan kual
Lalu kenapa Seth menuruti permintaan Hart untuk membuka borgolnya tanpa ada penolakan sedikit pun?Vin juga tidak mencegah tindakan yang dilakukan rekannya."Jadi ... kalian ingin mendengarkan yang mana dulu?""Tentu saja kami ingin informasi," tegas Seth."Kalian tidak ingin mendengar permintaanku dulu?" tawar Hart. Ia berdiri, membersihkan debu yang penempel pada bagian belakang celananya."Baiklah. Katakan keinginanmu!" Seth tidak ingin debat dan tawar menawar dengan Hart."Pelayan yang mengantarkan minuman untukku namanya Aura. Aku minta kalian melepaskan dia.""Artinya kecurigaanku tidak salah," ujar Vin, menatap Seth dan Hart bergantian."Kau punya rencana?" tanya Seth sebelum mempertimbangkan permintaan Hart."Ya ... ini hanya untuk jaga-jaga saja. Aku kalian tetap merahasiakan penyamaranku.""Mengenai hal itu, kami tetap harus menyampaikannya pada Isac," timpal Vin."Itu tidak masalah selama kalian