Keke mendapatkan tawaran kerja sebagai guru honorer di SD N 49 yang tak jauh dari rumah. Sekolah itu terletak di perbatasan desa, cukup ditempuh dengan mengendarai motor selama sepuluh menit melewati jalan menurun dan berkerikil.Sekolah negeri itu baru diresmikan oleh pemerintah tiga tahun yang lalu, jadi angkatan pertama masih duduk di kelas tiga. Seluruh murid berjumlah enam puluh orang, sepuluh orang guru yang rata-rata Pegawai Negri Sipil.Keke diminta mengajar ilmu komputer di kelas satu sampai kelas tiga. Jamnya tidak banyak, hanya enam jam seminggu, setidaknya Keke bisa mencari kesibukan lain selain mengurus rumah.Kandungan Keke sudah berusia tujuh bulan, tapi besarnya sudah seperti sembilan bulan. Namun, dia bukanlah wanita hamil yang malas bergerak, bahkan jika perkerjaan rumah selesai, dia membantu mengecat perabot buatan Bujang. Keke sangat senang saat keinginannya untuk bekerja disetujui oleh Bujang. Selain jaraknya dekat dengan rumah, Keke hanya perlu datang di jam men
"Bang, panas!" Keluh Keke, padahal kipas angin telah dinyalakan dengan level tertinggi. Dari tadi dia mencari posisi yang nyaman, tapi belum juga didapatkannya. Belum lagi rasa gatal yang teramat sangat di kulitnya jika kena keringat. Bujang selalu mencegah Keke jika Keke menggaruk menggunakan kukunya, Bujang dengan sabar menggunakan kain sebagai pembatas antara kuku dan kulit Keke jika membantu menggaruk perut besar itu.Bujang yang tadi sudah mulai tertidur bangun lagi. Dia bangkit, Keke masih belum tidur juga. Dia bergerak gelisah ke kiri dan ke kanan dari tadi, sehingga tempat tidur berderit terus.Memang, di usia kehamilannya yang ke sembilan bulan, semakin sulit bagi Keke untuk tidur malam. Dia tidur sambil duduk, satu lagi, hanya mengenakan sarung seperti kemben karena kepanasan. Kadang Bujang geleng-geleng, namun dia memaklumi, perasaan tak nyaman itu hanya Keke yang merasakannya."Besok kita pada AC saja ya, Ke." Bujang memaksa mata beratnya terbuka sempurna. Kalau baginya, u
Anak adalah harta yang tak bisa dinilai harganya. Dia bukan materi yang bisa dicari dengan cara usaha yang menghasilkan untung rugi, tapi hanya orang yang dipercayakan oleh yang Maha kuasa yang akan memilikinya. Ucapan syukur tak putus-putus terucap dari bibir Bujang, bayi kembar mereka tengah dimandikan oleh perawat, dua perawat sekaligus turun tangan memandikan, bahkan perawat yang berbadan gemuk, mendapatkan jatah tembakan kencing pagi dari bayi laki-laki mereka."Haha, dapat jatah kamu, Wit." Rekannya menertawakan perawat yang dipanggil Wit itu. Dia hanya membalas dengan senyum kalem.Bayi kembar Bujang dan Keke mengeluatkan suara tangisnya, mereka bertanding mengeluarkan suara tangis siapa yang paling keras. Dan hasilnya, dimenangkan bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki diam sendiri karena kalah suara."Bu Keke sudah bisa dimandikan, ini sarapannya, ini obatnya ya, Pak!" kata perawat pada Bujang.Buang melirik bayi mereka, bayi kembar itu, menghabiskan malam dengan begadang
Tujuh tahun yang laluKamar berukuran lima kali enam meter, dengan jendala yang menghadap ke matahari terbit. Di sebuah tempat tidur itu, sosok tubuh tidur menghadap ke jendela. Sesakali air mata meleleh di pipinya.Dia bukannya wanita pemalas yang suka tidur dari pada bekerja. Namun, kabar kali ini membuat persendiannya lemah. Dia kecewa dan bersedih.Dia hanya wanita tua yang memiliki anak tunggal dan tak memiliki saudara. Anak tunggalnya pun adalah laki-laki. Bukan dia tak mau memiliki anak yang banyak, tapi mungkin dia kurang subur sebagai wanita, karena untuk mendapatkan Bujang saja dia harus berobat terlebih dahulu.Wanita yang berusia sekitar enam puluhan itu menoleh saat ada sentuhan lembut di bahunya. Dia bukannya tak tau bahwa seseorang telah masuk ke kamarnya, tapi dia merasa enggan menoleh."Bu," suara besar tapi terkesan penuh kasih itu adalah milik putranya. "Aku ingin bicara."Wanita yang tak lain adalah ibunya Bujang itu bangun dari pembaringannya. Menatap wajah lelah
Selama empat puluh hari, ibu Keke bolak balik ke rumah membantu semua pekerjaan rumah. Sebenarnya Bujang tipe laki-laki yang telaten, bahkan sudah dua Minggu si kembar dimandikan oleh Bujang, awalnya Keke merasa ngeri sendiri, Bujang terbiasa memegang kapak, alat pertukangan dan kayu, dia khawatir bayi yang masih merah itu akan remuk di tangan Bujang, tapi Bujang sangat gigih untuk belajar, karena tak mau terlalu merepotkan mertuanya.Di hari keempat puluh satu, ibu Keke tak datang lagi, menurut kebiasaan orang masyarakat, di hari keempat puluh satu itu wanita yang baru melahirkan bisa dikatan 'keras', atau sudah bisa bekerja sedikit karena darah nifas sudah selesai. Sedangkan selama empat puluh hari sebelumnya, wanita yang habis melahirkan tak boleh melakukan apa-apa, hanya menyusui anak.Saat ini mereka tengah menggendong bayi mereka, bayi perempuan yang diberi nama Adelia, dan laki-laki diberi nama Adelio. Sebenarnya awal pemberian nama itu, Bujang kurang setuju, dia menganggap nam
"Sebentaaaar," seru Keke. Dia tengah berkutat di dapur, sementara Delia dan Delio digendong di kiri dan kanan Bujang. Delio menangis keras, sedangkan Delia menatap saudara kembarnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Masih lama, Ke?" tanya Bujang yang mulai kebingungan mendiamkan Delio, Delio semakin menggeliat dan suara tangisnya bertambah keras.Delia ditaruh oleh Bujang di dalam box bayi. Delia malah menangis keras, bahkan lebih keras dari suara Delio, akhirnya Bujang mengambil Delia kembali. "Dua-duanya menangis," kata Bujang bicara sendiri. Ternyata mengasuh anak itu tidak mudah, bahkan sehari ini Bujang belum menyentuh kayu sama sekali."Sedikit lagi cabenya matang," sahut Keke dari dapur. Keke bahkan tak fokus. "Ya ampun, sayurnya kehabisan air.""Matikan saja dulu api kompornya, nanti lanjut masak lagi.""Kita belum makan siang," sahut Keke frustasi."Susukan Delio dulu, biar aku yang menggantikan di dapur.""Ayo! Sini, gantian, ya!" kata Keke mengambil Delio lebih dulu, k
Delia sudah tenang dan bermain sendiri di dalam box-nya. Sedangkan Delio masih menyusu, dia menghisap sumber kehidupan itu seperti takkan ada hari esok, bahkan setelah disusukan kanan kiri dia belum juga kenyang.Bujang mengamati wajah Keke yang masih termenung sendiri. Walaupun sudah cukup tenang, tapi kondisinya belum begitu normal. Wajah murung tanpa alasan yang jelas.Bujang menyadari, sejak Ibu Keke kembali ke rumah karena masa empat puluh hari telah selesai, Keke menampakkan gelagat tak biasa, dia sering bersedih tanpa sebab, bahkan kebingungan saat bayi mereka serentak menangis.Ini baru pertama kali Bujang meninggalkannya di rumah. Karena pekerjaan terbengkalai karena Bujanh juga fokus pada bayi mereka.Bujang pikir semua akan baik-baik saja, ternyata mendapati pemandangan yang membuat hatinya miris. Delia dan Delio tergeletak begitu saja di atas lantai."Ke," sapa Bujang lembut, dia menyentuh bahu Keke, sehingga istrinya itu menengadah padanya. Tatapan Keke kosong, tapi setid
Menjadi orangtua, tak sesederhana yang dipikirkan orang-orang. Apalagi orangtua baru yang sama sekali tak berpengalaman mengurus bayi, pasti akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Ada bahagia, sedih, haru dan putus asa.Delapan bulan sudah umur Delia dan Delio. Mereka tumbuh menjadi bayi yang sehat. Namun, walaupun mereka kembar, perkembangan mereka berbeda. Delia berkembang lebih cepat, dia sudah bisa duduk sendiri, bahkan belajar merayap ke dinding. Sedangkan Delio agak lambat, dia masih merangkak, belum bisa duduk."Bang, sepertinya Delia buang air besar," kata Keke, dia sedang menyantap makan malamnya. Sejak punya bayi, mereka jarang makan serentak, pasti bergantian, dua bayi mereka lagi aktif-aktifnya. Lengah sedikit saja, pasti ada yang cidera, seperti Minggu lalu, kening Delia benjol karena jatuh dari ayunan saat Keke sibuk menyusui Delio. "Kita tunggu dulu agak lima menit, kemaren begitu, mungkin belum tuntas, eh, dia nambah."Keke tertawa, dia masih mengingat, betapa terpa