Share

3

"Sekalian bantu angkat, Bang! Ayah tidak di rumah."

"Di taruh di mana?"

"Di kamar saya," jawab Keke masuk lebih dulu, ibunya pergi kondangan, dan sang ayah belum balik dari pasar setelah pergi tadi pagi membawa buah pinang untuk dijual.

"Tidak apa-apa aku masuk?" tanya Bujang ragu, dia mengantar barang sendiri, sementara Luqman menjaga gudang.

"Terus, mejanya mau ditaruh di sini aja, gitu?" sahut Keke agak kesal.

"Baiklah," jawab Bujang menyerah. Dia mengikuti Keke masuk ke dalam rumah. Bukan apa-apa, Bujang hanya menjaga adab agar tak menjadi gunjingan tetangga. Bukan dia tertarik pada gadis itu, namun dia adalah orang Melayu yang selalu diajari adab, termasuk ketika masuk ke rumah orang.

"Aku taruh di sini saja, ya, Ke. Nggak enak masuk kamar," kata Bujang meletakkan meja itu di ruang tamu, tepat di sudut ruang tamu Keke.

Keke menatap Bujang, sedikit kesal. Menurutnya Bujang tak hanya kolot namanya, tapi kolot pemikirannya. Menurutnya terlalu berlebihan prinsip Bujang itu.

"Terserah Abang sajalah! Ini, dua ratus lima belas kan? Kembaliannya ambil saja!" kata Keke menyodorkan uang sebesar dua ratus lima puluh.

"Aku punya kembalian, tunggu!" Bujang memasukkan tangan ke kantung celananya. Tapi yang dia dapati hanya yang pecahan seratus dan lima puluh.

"Iya, tidak ada ternyata. Bayar dua ratus saja."

"Harganya kan dua ratus lima belas, saya nggak mau bikin Abang rugi."

"Sudah, dua ratus saja. Aku permisi, masih ada yang mau diantar."

"Baiklah," jawab Keke. Ada yang aneh, biasanya seseorang akan menerima dengan senang hati uang yang berlebih jika dia membayar sesuatu, tapi Bujang malah menolak. Keke mengangkat bahu, mungkin seperti yang ayahnya bilang, Bujang sebenarnya sangat kaya dan tak kekurangan yang. Tentu saja kembalian dengan jumlah puluhan ribu tak berarti baginya.

Keke kembali merasa pria itu terlalu biasa, tak ada yang istimewa. Jika dibandingkan Kevin, Bujang akan ketinggalan jauh. Kevin berwajah ganteng dan keren. Wajahnya bersih dan selalu berpenampilan kekinian, dia memiliki parfum khas yang sangat disukai Keke. Sedangkan Bujang, pria itu terlalu matang, kulitnya gelap dan wajah yang dipenuhi cambang. Dia terbiasa memakai baju kaos tanpa lengan yang sudah lusuh. Serta celana belel yang tak kalah lusuhnya. Jika Kevin selalu wangi karena bersih dan memakai parfum, maka Bujang malah bau rokok. Keke sudah punya kesimpulan, dia tak cocok dengan pilihan ayahnya.

***

"Sudah datang mejanya, Ke?" tanya Pak Iwan saat melihat meja Keke sudah berada di ruang tamu.

"Sudah! Tadi Keke suruh Bang Bujang memasukkan ke kamar, dia malah tak mau. Aneh!" kata Keke sambil menukar siaran televisi.

"Itu namanya bukan aneh, tapi dia bersikap menghormatimu sebagai seorang gadis dan tuan rumah."

"Keke nggak ngerti."

"Coba kamu pikir, kamu anak gadis, masih muda, cantik lagi, kemudian Ayah dan ibu tak di rumah, dia juga memilki kesempatan untuk masuk ke dalam kamar kamu, tapi dia menolak, dia laki-laki sejati, Nak."

"Ayah memuji terlalu berlebihan. Dia tak sebaik itu."

"Ya sudahlah! Terserah kamu saja, jadi gimana? Mau dijodohkan dengan Bujang apa tidak?"

"Tanpa Keke jawab, ayah pasti tau kok."

"Ya sudahlah! Ayah nggak maksa, karena yang akan menjalani rumah tangga nanti kan kamu sendiri. Ayo, ambilkan ayah nasi, ayah sudah lapar, masak apa kamu tadi, Nak?"

***

"Jadi gimana?" tanya Luqman bersemangat, padahal Bujang baru mematikan mesin mobilnya.

"Apanya?"

"Gadis itu, apa lagi, masa ibunya."

"Memangnya ada apa dengan gadis itu?"

"Lha? Kau tanya kenapa, kau suka tidak?"

"Tidak. Aku tak pernah menyukai apa yang tak mungkin jadi milikku."

"Berusahalah! Dia gadis yang baik, bunga desa pula, aduh! Ayahnya pun begitu baik, Jang."

"Kalau begitu Bang Luqman saja yang nikahi dia."

"Aku bisa digorok oleh istriku, kau ini."

"Jadi, jangan bahas-bahas perempuan lagi, Keke bukan seleraku."

"Memangnya seleramu seperti apa? Seperti Laksmi, kah?"

"Tidak, dia terlalu semok."

"Bua ha ha, kau tak perlu membeli kasur," Luqman tertawa geli.

Baru saja Bujang ingin menjawab, bunyi motor kembali terdengar di depan pagar kayu.

"Jang, dia lagi."

Bujang kembali mendengus. Keke datang lagi.

***

Bujang tak habis pikir, apa lagi tujuan Keke ke sini. Rasanya urusan telah selesai dengan gadis itu.

Keke menunjukkan wajah dongkol, entah kenapa, seperti terpaksa.

"Bang, saya ke sini disuruh Ayah, ini! Ngantar undangan."

Bujang menatap Keke sebentar lalu mengambil undangan yang disodorkan gadis itu.

"Siapa yang nikah? Kamu?"

"Baca dulu Bang," seru Keke, sebelum ke sini dia sempat berdebat dengan ayahnya, rasanya undangan itu bisa disampaikan lewat telpon saja, tapi kaya ayahnya, tak sopan mengundang dengan cara seperti itu. Keke pun terpaksa pergi mengantar sendiri.

"Oh, undangan sunatan," kata Bujang lalu meletakkan undangan itu di atas kayu papan yang tersusun rapi.

"Iya, Bayu, adik saya. Ayah sekaligus nyuruh bikinkan lemari dapur."

"Boleh, mau model yang mana?"

"Kasih contoh bisa, Bang?"

"Bisa, silahkan masuk dulu, juga ada Luqman di dalam."

Keke mengangguk. Mata Keke menyapu tempat yang dimakan gudang itu. Ada beberapa perabot yang sudah jadi atau malah tunggal dicat.

Dia melihat Bujang mengambil sebuah album foto dan menyodorkan pada Keke.

"Kamu bisa pilih di situ. Banyak model dan ukuran."

Keke mengangguk, lalu melihat foto berbagai macam model lemari itu satu persatu.

"Yang ini, berapa?" Keke menunjuk sebuah foto.

"Yang mana?" Bujang mendekat, kerena dia tak bisa melihat terlalu jelas.

Hidung Keke mencium aroma sampo yang masih segar, walaupun bau rokok masih tercium samar. 

"Untuk Pak Iwan, sejuta delapan ratus saja," jawab Bujang.

"Jang, bantu angakat, hujan," Luqman muncul membawa meja yang masih dalam proses pengecatan.

"Bentar, Ke."

"Oke," sahut Keke, dia berjalan sedikit ke arah pintu keluar gudang. Awalnya hanya hujan rintik-rintik, kemudian berubah deras.

Bujang dan Luqman berkejar dengan waktu menyelamatkan perabot yang lagi proses pengecatan. Dalam waktu beberapa menit, halaman Bujang sudah kosong.

"Deras, Jang," kata Luqman mengusap wajahnya yang basah. "Aku pulang saja ya, Jang. Sudah sore juga."

Bujang hanya mengangguk.

"Aku pinjam mantelmu, ya?"

"Itu digantung di sudut."

"Pamit ya, Ke!" 

"Iya, Bang, hati-hati."

Keke dan Bujang memandang punggung Luqman yang semakin menjauh.

Tinggal Bujang dan Keke, beberapa menit menunggu, Keke mulai tidak betah dengan suasana sunyi di antara mereka. Bujang seolah-olah bersikap dia tengah sendiri. Mengabaikan Keke.

Keke melihat Bujang menyelinap di balik pintu triplek itu, lalu muncul lagi beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat di tangannya.

"Minum, Ke. Hujannya Masih lebat." Bujang menarik kursi plastik warna merah pudar dan menyerahkannya pada Keke. 

"Jadi, pilih yang mana?"

"Yang ini saja, berapa lama, Bang?"

"Paling cepat satu Minggu, ada pesanan lain soalnya," jawab Bujang santai. Keke takjub dengan sikap tenang Bujang, selama ini tak ada laki-laki yang tak terpikat oleh kecantikannya, bahkan para mahasiswa di kampusnya. Berbeda dengan Bujang, pria itu menunjukkan ekspresi biasa saja, tak menampakkan rasa tertarik sedikit pun.

"Di sini sepi, ya, Bang," ucap Keke sambil melihat ke ufuk barat, matahari pasti sudah tenggelam, hanya saja awan hitam menutupi dan membuat lebih gelap dari seharusnya.

"Namanya hutan, ya sepi."

"Hanya rumah ini saja yang ada di sini, perbatasan ke desa tetangga juga jauh, apa tak berniat pindah, Bang, ke desa supaya lebih ramai."

Bujang menatap Keke sekilas, lalu tersenyum tipis hampir tak terlihat.

"Lebih suka di sini, selain ini tanah milik keluarga, membawa pohon dari hutan juga tak sulit."

"Hm." Keke mengangguk. 

Bujang menjulurkan kepalanya ke luar jendela gudang.

"Motormu kehujanan, Ke."

"Biar saja, Bang."

***

Keke mulai kewalahan, membiarkan motornya kehujanan ternyata menimbulkan masalah serius. Benda itu tak mau menyala. Hari semakin gelap, hanya cahaya lampu pijar yang digantung di tiang sebagai penerang.

"Gimana, Ke?"

"Nggak bisa nyala," kata Keke putus asa. Hujan sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Saatnya dia pulang ke rumah. Sebentar lagi Maghrib.

Bujang sejenak berpikir.

"Biar aku antar, Ke. Pak Iwan pasti sudah cemas menunggumu."

"Oh, baiklah," jawab Keke pasrah.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
kayaknya pak Iwan punya siasat mendekatkan Keke sama bujang
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
iiih kalau aku pasti mau lahh di jodohkan sama Bujang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status