Keke pikir, cinta tak penting lagi, karena dia pernah merasa sangat bahagia, kemudian menderita setelahnya. Ditinggalkan Kevin memberi luka menganga yang membuatnya jera.
Untuk itu, Keke menyerahkan urusan jodoh pada Sang Ayah, jika menurut ayahnya laki-laki itu baik, maka Keke akan menerima saja.
Tapi Keke tak pernah menduga, dari sebanyak itu laki-laki yang masih lajang, kenapa malah pilihan ayahnya adalah Bujang? Cukup lama Keke berpikir, namun tak ada alasan kuat untuk membuat dia tertarik pada Bujang.
Laki-laki itu memang baik, buktinya dia mengantar Keke pulang walaupun pada akhirnya mereka sama-sama berjalan kaki. Atau dia sangat menjaga adab seperti yang ayahnya bilang. Tapi, pernikahan tak hanya butuh laki-laki yang baik, banyak hal selain itu yang dibutuhkan Keke.
"Ke, bantuin ibu menata piring, tamu sudah mulai datang," kata Ibunya yang tiba-tiba muncul di pintu kamar, memang, hari ini adalah syukuran sunatan adiknya Bayu, dia baru duduk di kelas empat sekolah dasar. Satu-satunya adik Keke dari tiga bersaudara.
"Iya, Bu," jawab Keke. Dia bergegas menuju tenda yang sudah didirikan di depan rumah. Memang, tamu mulai berdatangan walaupun belum ramai, sekarang masih jam satu siang.
Tiba-tiba mata Keke menangkap sesosok laki-laki yang tak asing. Kevin. Mau apa dia ke sini?
"Hai, Ke," sapanya ramah, seolah-olah tak terjadi apa-apa dengan mereka. Keke berusaha menerbitkan senyum di bibirnya, bersikap anggun dan tegar walaupun hatinya sakit.
"Hai, Vin." Mata Keke beralih ke teman Kevin, dia Nando.
"Apa kabar, Ke?"
"Aku baik, Do. Eh, makan dulu!" Keke menyodorkan piring kosong pada Kevin.
"Aku butuh waktu untuk bicara denganmu, Ke."
"Maaf, kau lihat, kan, aku sedang sibuk?"
"Aku bersedia menunggu."
Keke tak merespon, sejujurnya dia berusaha untuk terlihat kuat di depan Kevin, walaupun sebenarnya dia ingin menangis.
Kevin masih mengawasi Keke walaupun dia sudah duduk di meja paling pojok setelah mengisi nasi dan lauk yang cukup.
"Bermenung, Ke?"
Keke tergagap, dia kembali ke dunia nyata. Di depannya, Bujang sudah berdiri tegap dengan baju batiknya, entah baju itu yang kecil atau ototnya yang besar, baju batik itu mencetak ketat lengannya.
Rambutnya disisir rapi, dan... Kumis itu tak ada lagi, cambangnya pun sudah dirapikan. Oke, dia cukup bersih
"Sama siapa, Bang?"
"Itu, sama Luqman," tunjuk Bujang sambil mengambil nasi, Keke melihat, Luqman tengah kerepotan mengurus dua anaknya yang ingin pulang.
"Kenapa anak Bang Luqman?"
"Dia nggak mau ikut, tapi dipaksa juga."
"Oh," sahut Keke. Bujang berlalu, dia memilih duduk di samping Kevin.
Pemandangan yang begitu kontras, Kevin dan Bujang sangat berbeda. Kevin murah senyum dan begitu ramah, Bujang pendiam dan tak peduli, Kevin memiliki kulit yang bersih dan cerah, Bujang berkulit sawo matang, Kevin berpakaian necis dengan baju kemeja yang dipadukan dengan celana jins dan sepatu sport, Bujang memakai baju batik bewarna Dongker bercampur putih dan dipadukan dengan celana jins belel.
Jika Kevin terlihat segar dan muda, Bujang terlihat tua. Tak ada keistimewaan fisik Bujang dibanding Kevin, kecuali ototnya yang bertonjolan.
"Ke, mana piringnya?"
"Oh, maaf," Keke tak sadar, piring untuk tamu sudah habis.
***
Kevin menepati janjinya menunggu Keke, bahkan saat waktu Ashar tiba, Kevin masih betah berada di sana. Pemandangan itu membuatnya tak nyaman. Keke merasa urusan mereka telah selesai, laki-laki itu yang memutuskan hubungan mereka lebih dulu, dia yang berselingkuh dengan wanita lain. Lalu apa tujuannya ke sini? Jarak kota tempat mereka kuliah dengen kampungnya memakan waktu lima jam jika naik bus. Hebat sekali kalau begitu, rasanya Kevin juga tak diundang, Keke hanya memberi undangan umum di sosmed.
"Itu siapa?" Ayahnya mulai curiga, karena tamu datang silih berganti sedangkan Kevin masih di sana dan belum berniat ingin pergi.
"Teman, Yah."
"Oh," sahut Pak Iwan singkat.
"Boleh Keke izin bentar, Yah?"
"Ke mana?" Pak Iwan mulai curiga. Karena Kevin dari tadi pun tak memperkenalkan diri, dia sibuk dengan Hp-nya.
"Ada perlu dengan Kevin, urusan kampus, kebetulan kami sama-sama mau wisuda." Keke terpaksa berbohong. Pak Iwan berpikir sejenak.
"Sebelum jam enam sudah sampai di rumah, bisa?"
"Baik, Ayah." Keke tersenyum lega.
***
Mereka tengah duduk di sebuah warung kecil yang menjual es kelapa muda. Ada banyak meja plastik yang ditata dan disebar di atas rumput, seperti tengah berisitirahat di alam bebas, bedanya pemandangan di depan mereka bukanlah pantai atau pun gunung, hanya kebun sawit seluas mata memandang.
"Bagaimana kabarmu, Ke?"
"Aku baik, seperti yang kau lihat."
"Kau sedikit kurus," sahut Kevin, seolah-olah tak setuju dengan pernyataan Keke.
"Tentu saja, aku baru saja selesai dengan kesibukanku mengurus skripsi sampai sidang."
"Kau tak bertanya sebaliknya, Ke?"
"Aku yakin kabarmu sangat baik. Iya, kan?"
"Kau salah, Ke. Aku kacau."
"Kacau?" Keke tertawa kecil, di matanya pria itu malah terlihat baik-baik saja.
"Sejak putus denganmu."
"Jangan bahas itu lagi, aku menemuimu saat ini dengan status sebagai teman, tak ada urusan perasaan."
"Ke, dengar sedikit saja, beri aku kesempatan menjelaskan."
"Bagian mana yang harus aku dengar? Semua pengakuanmu aku fahami, aku mengerti, dan aku merelakanmu saat kau memilih wanita lain, jadi bagian mana lagi yang harus aku dengar?"
"Kami sudah putus."
Keke tersenyum, masam.
"Terus?"
"Ceritanya panjang, Ke."
"Sejujurnya aku tak mau dengar, karena itu bukan urusanku lagi."
"Aku masih sayang kamu, Ke."
Keke terdiam, dia mengencangkan cengkraman tangannya pada gamisnya, gamis dan jilbab yang terpaksa dipakai karena acara syukuran Bayu.
"Apa tujuanmu, mengatakan itu sekarang."
"Ke, mungkin kita bisa kembali bersama dengan beberapa hal yang bisa kita ubah."
Keke menatap Kevin dingin, tapi dia ingin mendengar lebih banyak dari mulut pria itu.
"Kamu sempurna, Ke. Tapi aku belum mendapatkan apa-apa darimu, pacaran saat ini berbeda dengan zaman orangtua kita dulu, tiga tahun kita bersama, dan kita hanya berpegangan tangan, tak lebih."
Keke menahan emosinya yang mulai tersulut.
"Aku juga ingin seperti orang-orang, yang ...."
"Kau ingin seperti orang-orang? Kalau begitu temui ayahku, bawa orangtuamu, kita menikah."
"Itu tidak mungkin, Ke. Aku belum wisuda, dan aku belum punya pekerjaan."
Keke bangkit sambil menatap muak pada Kevin.
"Takdir putus denganmu adalah takdir yang paling tepat. Permisi."
Keke pergi, tak mengindahkan seruan Kevin yang memanggilnya.
Gadis itu mengangkat gamisnya, melangkah cepat dengan wajah marah menyusuri jalan desa. Dia ingin marah, tapi pada siapa? Apakah sebegitu tak berharga dirinya sampai Kevin hanya membutuhkannya untuk pelarian.
Bunyi klakson mobil mengejutkan Keke.
"Kemana, Ke?"
Bujang, menepi dan menyapa Keke. Tanpa basa-basi Keke membuka pintu mobil dan duduk di samping Bujang.
"Abang mau ke mana?"
"Ngantar barang."
"Saya mau ikut."
"Baiklah!" jawab Bujang dengan wajah herannya.
Bujang tak bertanya apa pun lagi, hanya deru mobil yang terdengar memecah kesunyian mereka.Keke berusaha untuk tetap meneguhkan hati agar dia tidak menangis, sungguh, semua ucapan Kevin sangat menyakiti harga dirinya. Pria itu menjalin kasih dengannya selama bertahun-tahun, kemudian memutuskannya secara sepihak karena mengakui perselingkuhannya. Lalu, dalam kurun waktu yang tak lama, dia datang lagi dan ingin kembali. Hei, apakah menurut Kevin hatinya terbuat dari batu? Susah payah dia mengobati lukanya sendiri, setelah dia yakin dia mulai bangkit, Kevin ingin mengorek luka yang sudah mengering itu dan menaburkan garam di atasnya."Bisa berhenti sebentar, Bang," kata Keke dengan suara serak, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Sebentar saja.Bujang menurut, dia menepikan mobil pick up-nya di tepi jalan desa.Keke menutup wajahnya, melepaskan tangisnya sendiri. Bahunya terguncang dan Bujang hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa dan berbua
"Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu."Ucapan Bujang terus terngiang-ngiang di kepala Keke. Begitu sederhana analisa Bujang, logikanya benar. Selama ini Kevin mengaku mencintainya, sampai-sampai Keke melakukan apa pun yang bisa membuat Kevin senang, mulai dari mengerjakan tugasnya, memasak untuknya, mencucikan bajunya, menyetrika pakaiannya, banyak lagi, semua hal dilakukannya untuk Kevin, kecuali sentuhan fisik.Kevin memang sering mengeluh tentang hubungan mereka yang dianggap seperti pacaran kolot, namun, Keke tetap dengan prinsipnya, tidak akan memberikan apa pun kepada laki-laki yang bukan suaminya.Setahun terakhir, Kevin mulai mendesak, Keke menawarkan pernikahan, tapi Kevin menolak dengan alasan pernikahan jauh dari tergetnya saat ini. Dan puncaknya, pria itu akhirnya berselingkuh.Keke tak pernah menyesali keputusannya, walaupun sakit, dia sadar putus dari
Keke sampai di rumah tepat saat azan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, Bujang menolak singgah dan langsung putar arah ke arah bukit tempat tinggalnya selama ini.Ayah Keke menyambut anak gadisnya itu dengan raut cemas. Namun, dia melepaskan nafas lega saat anak gadisnya itu muncul di ambang pintu."Ke mana saja, Ke? Ayah sudah bilang pulangnya jam enam, ini sudah setengah tujuh. Mana temanmu itu?""Nggak tau, Yah. Mungkin udah kembali ke kota.""Siapa dia? Wajahmu berubah setelah kembali menemui temanmu itu.""Mantan pacar Keke, Yah.""Sudah jadi mantan, kan?" tanya Pak Iwan sambil menutup pintu."Iya," jawab Keke lesu."Syukurlah, ayah tak menyukainya, nggak punya sopan santun, tamu tadi mengeluh karena sikapnya yang sombong."Keke menjadi tertarik."Sombong?"
Bujang datang tepat waktu di rumah Pak Iwan. Sebuah mobil Toyota Anvanza telah terparkir manis di depan rumah Keke. Bujang yakin, inilah mobil yang akan dibawa ke acara Wisuda Keke di kota, tepatnya di Pekanbaru."Masuk, Bang!"Keke muncul, dia sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain songket, wajahnya sudah dipoles. Tapi bawaannya tidak bersemangat.Bujang masuk ke rumah, dia sendiri memakai baju batik, baju yang sama ketika acara sunatan Bayu adiknya Keke."Buatkan kopi, Bu!" Seru Pak Iwan."Iya," sahut ibu Keke."Tunggu bentar, tantenya Keke belum datang.""Ini yang membuat Keke kesal, Yah. Kita harus masuk aula jam delapan tepat, Tante Silvi ini tidak pernah berubah, lelet minta ampun." Keke mengomel, dia memakai sepatu tinggi tumit. Sesekali menggerutu karena tak nyaman dengan benda itu, dia terbiasa memakai sandal
"Saya akan katakan pada ayah, bahwa saya menerima perjodohan Abang dengan saya."Bujang tertegun. Dia memandang Keke tak percaya. Keputusan dari mana itu, dia tau pasti Keke tak menyukainya, gadis kampung tapi bergaya modren itu terlalu kekanak-kanakan. Baru saja dia menangis karena patah hati, sekarang minta dijodohkan dengannya.Dia bukan anak-anak yang bisa dijadikan lelucon sesuka hati Keke. Bagaimana bisa, wanita patah hati itu membuat keputusan sepihak tanpa bertanya dulu padanya.Wanita ini cantik, sangat. Bunga desa yang menjadi buah bibir karena kecantikannya. Karakternya yang percaya diri dan cuek menjadi pesona tersendiri bagi siapa yang melihatnya. Namun, Bujang bukanlah anak SMA yang akan terpesona dengan kecantikan remaja yang emosinya masih labil itu. Bujang tau pasti, wanita itu sedang patah hati.Bujang telah puas makan asam garam kehidupan, dia telah lelah berharap akan memiliki istri, bahkan dia ikhlas jika tak memilik
Menikahi Keke? Bujang tersenyum hambar. Rasanya tak perlu menanggapi gadis itu, gadis kecil yang masih labil. Namun, apa yang disampaikan Keke begitu mengganggunya. Entah kenapa dia memikirkan ide gila Keke itu sampai saat ini.Sudah seminggu berlalu, Bujang menganggap ucapan Keke hanya lelucon yang tak serius, tapi tetap saja mengganggunya. Biasanya dia tak ambil pusing."Hey, bermenung lagi, kau sedang jatuh cinta?" Luqman tiba-tiba sudah berada di depannya sambil merebut rokok yang hendak dibakar."Jatuh cinta? Bang Luqman ngawur.""Kalau beneran jatuh cinta baru tau rasa kamu, Jang."Bujang mengabaikan ucapan Luqman. Dia mengeluarkan satu batang rokok lagi dan membakarnya, mereka tengah beristirahat untuk makan siang."Bang, aku boleh nanya?""Wah, sepertinya akan ada hal serius ini." Luqman memperbaiki posisi duduk bersilanya, jarang-jarang Bujang mau bercerita."Menurut Abang, Keke gimana?"Luqman tersenyum l
Keke tak mampu menyembunyikan raut kesalnya. Kenapa pria itu begitu cuek dengan motornya sendiri, bukankah dia orang yang sebenarnya punya banyak uang, kalau membangun mesjid saja bisa, masa membeli motor baru tidak mampu. Keke mengusap wajahnya lalu berjalan ke arah Bujang."Korslet lagi?""Habis minyak.""Huff.""Maaf, Ke. Motornya terpaksa didorong, jadi kita sama-sama jalan kaki.""Ya gimana lagi, Bang? Nggak ada pilihan lain, kan? Lagi pula, kenapa nggak beli motor baru, sih, Bang? Atau yang bekas tapi yang kondisinya masih bagus.""Ini banyak historinya, Ke. Banyak kisahnya, sayang kalau dijual cuma laku satu juta.""Segitunya, Bang."Bujang tak menyahut, mereka beriringan berjalan di jalan desa yang sudah sepi karena para hadirin telah pulang dengan motor mereka masing-masing. Zaman sekarang, ke wa
Keke meyakinkan dirinya, bahwa yang dia lakukan ini telah benar. Dia baru jatuh cinta sekali, pada kevin yang dulu sangat manis.Kevin laki-laki dengan fisik sempurna dan keluarga berada, dia juga perhatian dan penyayang, bahkan dari hal-hal kecil. Namun Keke tak menyangka, laki-laki yang dicintainya itu ternyata bukan jodohnya.Keke tak butuh cinta lagi, rasa sakit itu masih membekas ibarat luka yang membusuk. Ayahnya ingin dia segera menikah, umurnya sudah cukup, kuliah selesai, apa lagi? Dia tak butuh lagi laki-laki yang akan membuatnya jatuh cinta. Ayahnya suka Bujang, Keke rasa alasan itu cukup. Bujang punya banyak uang, dia tak perlu bekerja setelah mereka menikah. Iya, kan?Keke memantapkan hatinya, perhatiannya teralih ke pekarangan rumah, tepatnya pada mobil pick-up milik Bujang. Pria itu datang tepat waktu, tak sendiri, tapi dengan Luqman.Kemeja kotak-kotak, kemeja yang sama d