Share

5

Keke pikir, cinta tak penting lagi, karena dia pernah merasa sangat bahagia, kemudian menderita setelahnya. Ditinggalkan Kevin memberi luka menganga yang membuatnya jera.

Untuk itu, Keke menyerahkan urusan jodoh pada Sang Ayah, jika menurut ayahnya laki-laki itu baik, maka Keke akan menerima saja.

Tapi Keke tak pernah menduga, dari sebanyak itu laki-laki yang masih lajang, kenapa malah pilihan ayahnya adalah Bujang? Cukup lama Keke berpikir, namun tak ada alasan kuat untuk membuat dia tertarik pada Bujang.

Laki-laki itu memang baik, buktinya dia mengantar Keke pulang walaupun pada akhirnya mereka sama-sama berjalan kaki. Atau dia sangat menjaga adab seperti yang ayahnya bilang. Tapi, pernikahan tak hanya butuh laki-laki yang baik, banyak hal selain itu yang dibutuhkan Keke.

"Ke, bantuin ibu menata piring, tamu sudah mulai datang," kata Ibunya yang tiba-tiba muncul di pintu kamar, memang, hari ini adalah syukuran sunatan adiknya Bayu, dia baru duduk di kelas empat sekolah dasar. Satu-satunya adik Keke dari tiga bersaudara.

"Iya, Bu," jawab Keke. Dia bergegas menuju tenda yang sudah didirikan di depan rumah. Memang, tamu mulai berdatangan walaupun belum ramai, sekarang masih jam satu siang.

Tiba-tiba mata Keke menangkap sesosok laki-laki yang tak asing. Kevin. Mau apa dia ke sini?

"Hai, Ke," sapanya ramah, seolah-olah tak terjadi apa-apa dengan mereka. Keke berusaha menerbitkan senyum di bibirnya, bersikap anggun dan tegar walaupun hatinya sakit.

"Hai, Vin." Mata Keke beralih ke teman Kevin, dia Nando.

"Apa kabar, Ke?"

"Aku baik, Do. Eh, makan dulu!" Keke menyodorkan piring kosong pada Kevin.

"Aku butuh waktu untuk bicara denganmu, Ke."

"Maaf, kau lihat, kan, aku sedang sibuk?"

"Aku bersedia menunggu."

Keke tak merespon, sejujurnya dia berusaha untuk terlihat kuat di depan Kevin, walaupun sebenarnya dia ingin menangis. 

Kevin masih mengawasi Keke walaupun dia sudah duduk di meja paling pojok setelah mengisi nasi dan lauk yang cukup.

"Bermenung, Ke?"

Keke tergagap, dia kembali ke dunia nyata. Di depannya, Bujang sudah berdiri tegap dengan baju batiknya, entah baju itu yang kecil atau ototnya yang besar, baju batik itu mencetak ketat lengannya.

Rambutnya disisir rapi, dan... Kumis itu tak ada lagi, cambangnya pun sudah dirapikan. Oke, dia cukup bersih 

"Sama siapa, Bang?"

"Itu, sama Luqman," tunjuk Bujang sambil mengambil nasi, Keke melihat, Luqman tengah kerepotan mengurus dua anaknya yang ingin pulang.

"Kenapa anak Bang Luqman?"

"Dia nggak mau ikut, tapi dipaksa juga."

"Oh," sahut Keke. Bujang berlalu, dia memilih duduk di samping Kevin.

Pemandangan yang begitu kontras, Kevin dan Bujang sangat berbeda. Kevin murah senyum dan begitu ramah, Bujang pendiam dan tak peduli, Kevin memiliki kulit yang bersih dan cerah, Bujang berkulit sawo matang, Kevin berpakaian necis dengan baju kemeja yang dipadukan dengan celana jins dan sepatu sport, Bujang memakai baju batik bewarna Dongker bercampur putih dan dipadukan dengan celana jins belel.

Jika Kevin terlihat segar dan muda, Bujang terlihat tua. Tak ada keistimewaan fisik Bujang dibanding Kevin, kecuali ototnya yang bertonjolan.

"Ke, mana piringnya?"

"Oh, maaf," Keke tak sadar, piring untuk tamu sudah habis.

***

Kevin menepati janjinya menunggu Keke, bahkan saat waktu Ashar tiba, Kevin masih betah berada di sana. Pemandangan itu membuatnya tak nyaman. Keke merasa urusan mereka telah selesai, laki-laki itu yang memutuskan hubungan mereka lebih dulu, dia yang berselingkuh dengan wanita lain. Lalu apa tujuannya ke sini? Jarak kota tempat mereka kuliah dengen kampungnya memakan waktu lima jam jika naik bus. Hebat sekali kalau begitu, rasanya Kevin juga tak diundang, Keke hanya memberi undangan umum di sosmed.

"Itu siapa?" Ayahnya mulai curiga, karena tamu datang silih berganti sedangkan Kevin masih di sana dan belum berniat ingin pergi. 

"Teman, Yah."

"Oh," sahut Pak Iwan singkat.

"Boleh Keke izin bentar, Yah?"

"Ke mana?" Pak Iwan mulai curiga. Karena Kevin dari tadi pun tak memperkenalkan diri, dia sibuk dengan Hp-nya.

"Ada perlu dengan Kevin, urusan kampus, kebetulan kami sama-sama mau wisuda." Keke terpaksa berbohong. Pak Iwan berpikir sejenak.

"Sebelum jam enam sudah sampai di rumah, bisa?"

"Baik, Ayah." Keke tersenyum lega.

***

Mereka tengah duduk di sebuah warung kecil yang menjual es kelapa muda. Ada banyak meja plastik yang ditata dan disebar di atas rumput, seperti tengah berisitirahat di alam bebas, bedanya pemandangan di depan mereka bukanlah pantai atau pun gunung, hanya kebun sawit seluas mata memandang.

"Bagaimana kabarmu, Ke?"

"Aku baik, seperti yang kau lihat."

"Kau sedikit kurus," sahut Kevin, seolah-olah tak setuju dengan pernyataan Keke.

"Tentu saja, aku baru saja selesai dengan kesibukanku mengurus skripsi sampai sidang."

"Kau tak bertanya sebaliknya, Ke?"

"Aku yakin kabarmu sangat baik. Iya, kan?"

"Kau salah, Ke. Aku kacau."

"Kacau?" Keke tertawa kecil, di matanya pria itu malah terlihat baik-baik saja. 

"Sejak putus denganmu."

"Jangan bahas itu lagi, aku menemuimu saat ini dengan status sebagai teman, tak ada urusan perasaan."

"Ke, dengar sedikit saja, beri aku kesempatan menjelaskan."

"Bagian mana yang harus aku dengar? Semua pengakuanmu aku fahami, aku mengerti, dan aku merelakanmu saat kau memilih wanita lain, jadi bagian mana lagi yang harus aku dengar?"

"Kami sudah putus."

Keke tersenyum, masam.

"Terus?"

"Ceritanya panjang, Ke."

"Sejujurnya aku tak mau dengar, karena itu bukan urusanku lagi."

"Aku masih sayang kamu, Ke."

Keke terdiam, dia mengencangkan cengkraman tangannya pada gamisnya, gamis dan jilbab yang terpaksa dipakai karena acara syukuran Bayu.

"Apa tujuanmu, mengatakan itu sekarang."

"Ke, mungkin kita bisa kembali bersama dengan beberapa hal yang bisa kita ubah."

Keke menatap Kevin dingin, tapi dia ingin mendengar lebih banyak dari mulut pria itu.

"Kamu sempurna, Ke. Tapi aku belum mendapatkan apa-apa darimu, pacaran saat ini berbeda dengan zaman orangtua kita dulu, tiga tahun kita bersama, dan kita hanya berpegangan tangan, tak lebih."

Keke menahan emosinya yang mulai tersulut.

"Aku juga ingin seperti orang-orang, yang ...."

"Kau ingin seperti orang-orang? Kalau begitu temui ayahku, bawa orangtuamu, kita menikah."

"Itu tidak mungkin, Ke. Aku belum wisuda, dan aku belum punya pekerjaan."

Keke bangkit sambil menatap muak pada Kevin.

"Takdir putus denganmu adalah takdir yang paling tepat. Permisi."

Keke pergi, tak mengindahkan seruan Kevin yang memanggilnya.

Gadis itu mengangkat gamisnya, melangkah cepat dengan wajah marah menyusuri jalan desa. Dia ingin marah, tapi pada siapa? Apakah sebegitu tak berharga dirinya sampai Kevin hanya membutuhkannya untuk pelarian.

Bunyi klakson mobil mengejutkan Keke.

"Kemana, Ke?" 

Bujang, menepi dan menyapa Keke. Tanpa basa-basi Keke membuka pintu mobil dan duduk di samping Bujang.

"Abang mau ke mana?"

"Ngantar barang."

"Saya mau ikut."

"Baiklah!" jawab Bujang dengan wajah herannya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
Kevin laki2 brengsek
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
harusnya Keke merasa beruntung bila berjodoh dengan Bujang dia lelaki yang sopan menghormati perempuan tak seperti Kevin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status