Bujang tak bertanya apa pun lagi, hanya deru mobil yang terdengar memecah kesunyian mereka.
Keke berusaha untuk tetap meneguhkan hati agar dia tidak menangis, sungguh, semua ucapan Kevin sangat menyakiti harga dirinya. Pria itu menjalin kasih dengannya selama bertahun-tahun, kemudian memutuskannya secara sepihak karena mengakui perselingkuhannya. Lalu, dalam kurun waktu yang tak lama, dia datang lagi dan ingin kembali. Hei, apakah menurut Kevin hatinya terbuat dari batu? Susah payah dia mengobati lukanya sendiri, setelah dia yakin dia mulai bangkit, Kevin ingin mengorek luka yang sudah mengering itu dan menaburkan garam di atasnya.
"Bisa berhenti sebentar, Bang," kata Keke dengan suara serak, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Sebentar saja.
Bujang menurut, dia menepikan mobil pick up-nya di tepi jalan desa.
Keke menutup wajahnya, melepaskan tangisnya sendiri. Bahunya terguncang dan Bujang hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa dan berbuat apa-apa.
Beberapa menit kemudian, hati Keke lega. Dia mengambil sapu tangan dari dalam tas kecilnya dan mengusap wajahnya yang basah.
"Abang pasti heran, kan? Kenapa saya seperti ini."
"Tidak, aku tak tertarik mengetahui urusan pribadi orang," jawab Bujang tenang, matanya menatap lurus ke ujung jalan, di mana mobil bak membawa muatan kelapa sawit yang telah dipanen.
Keke tak habis pikir, dia bersikap sangat bodoh, naik ke mobil pria itu, ikut mengantar barang, lalu menangis seperti orang gila, dan ... Pria itu tak ingin tau?
"Abang tak ingin tau?" Keke memastikan kembali pendengarannya.
"Tidak," wajah Bujang masih datar. Tak ada emosi apa pun.
"Kenapa Abang bisa setenang ini?"
Bujang menoleh, memandang wajah Keke yang masih penuh keraguan.
"Karena aku tak pernah memikirkan orang yang tak memikirkanku."
Keke tertegun, jawaban itu menyentaknya, sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Bahkan Bujang belum mengetahui apa pokok permasalahannya. Keke belum bercerita apa pun.
"Bisa kita berangkat, Ke?" Bujang bersiap-siap menghidupkan mesin mobil.
"Tunggu!" Tak sadar Keke mencengkram lengan Bujang, saat mata Bujang memandang ke mana tangan Keke, Keke sadar dan buru-buru melepaskannya karena malu.
"Abang mau mendengarkan saya?"
"Bicaralah!" Bujang mengubah posisi duduknya, sedikit mengarah ke arah Keke, pandangan matanya tajam dan menunggu.
"Saya baru putus dari pacar saya, namanya Kevin, kami berpacaran hampir tiga tahun, Kevin selingkuh, saat itu hidup saya terasa hancur."
Mulut Bujang masih terkatup rapat.
"Terus, setelah itu dia datang lagi dan ingin kembali. Menurut Bang Bujang apa yang harus saya lakukan?"
Bujang berpikir sejenak.
"Siapa yang memutuskan lebih dulu?"
"Kevin."
"Berati sudah jelas."
"Maksud Abang?" tanya Keke tak puas.
"Dia memutuskanmu, berarti dia tak menginginkanmu. Lalu apa lagi?"
"Dia masih menginginkan saya, buktinya dia ingin kembali, ingin kami balikan lagi."
"Kenapa dia ingin kembali?"
"Karena dia masih sayang pada saya."
"Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu."
"Bang." Keke protes.
"Jawabannya sangat sederhana, Ke. Kami laki-laki akan cepat bosan pada sesuatu yang kami dapatkan dengan mudah. Jika kau menerimanya lagi, dia akan kembali bosan padamu, lalu dia akan memutuskanmu lagi, apa kau mau seperti itu?"
Keke mulai tertarik.
"Tentu saja tidak."
"Kalau kau tak ingin begitu, jangan kau lakukan. Ingat, Ke. Kita yang memutuskan kita mau bahagia apa tidak."
Keke tertegun, apa yang dikatakan Bujang semuanya benar.
"Sudah, sebentar lagi Maghrib, masih ada satu tempat lagi."
"Baik," jawab Keke tanpa melepaskan matanya dari Bujang.
Kenapa semua masalah jadi mudah saat berbicara dengan laki-laki itu, rasanya beban di pundak Keke hilang sudah. Dia menyesal sempat menangis di depan Bujang. Alangkah bodohnya dia.
"Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu."Ucapan Bujang terus terngiang-ngiang di kepala Keke. Begitu sederhana analisa Bujang, logikanya benar. Selama ini Kevin mengaku mencintainya, sampai-sampai Keke melakukan apa pun yang bisa membuat Kevin senang, mulai dari mengerjakan tugasnya, memasak untuknya, mencucikan bajunya, menyetrika pakaiannya, banyak lagi, semua hal dilakukannya untuk Kevin, kecuali sentuhan fisik.Kevin memang sering mengeluh tentang hubungan mereka yang dianggap seperti pacaran kolot, namun, Keke tetap dengan prinsipnya, tidak akan memberikan apa pun kepada laki-laki yang bukan suaminya.Setahun terakhir, Kevin mulai mendesak, Keke menawarkan pernikahan, tapi Kevin menolak dengan alasan pernikahan jauh dari tergetnya saat ini. Dan puncaknya, pria itu akhirnya berselingkuh.Keke tak pernah menyesali keputusannya, walaupun sakit, dia sadar putus dari
Keke sampai di rumah tepat saat azan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, Bujang menolak singgah dan langsung putar arah ke arah bukit tempat tinggalnya selama ini.Ayah Keke menyambut anak gadisnya itu dengan raut cemas. Namun, dia melepaskan nafas lega saat anak gadisnya itu muncul di ambang pintu."Ke mana saja, Ke? Ayah sudah bilang pulangnya jam enam, ini sudah setengah tujuh. Mana temanmu itu?""Nggak tau, Yah. Mungkin udah kembali ke kota.""Siapa dia? Wajahmu berubah setelah kembali menemui temanmu itu.""Mantan pacar Keke, Yah.""Sudah jadi mantan, kan?" tanya Pak Iwan sambil menutup pintu."Iya," jawab Keke lesu."Syukurlah, ayah tak menyukainya, nggak punya sopan santun, tamu tadi mengeluh karena sikapnya yang sombong."Keke menjadi tertarik."Sombong?"
Bujang datang tepat waktu di rumah Pak Iwan. Sebuah mobil Toyota Anvanza telah terparkir manis di depan rumah Keke. Bujang yakin, inilah mobil yang akan dibawa ke acara Wisuda Keke di kota, tepatnya di Pekanbaru."Masuk, Bang!"Keke muncul, dia sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain songket, wajahnya sudah dipoles. Tapi bawaannya tidak bersemangat.Bujang masuk ke rumah, dia sendiri memakai baju batik, baju yang sama ketika acara sunatan Bayu adiknya Keke."Buatkan kopi, Bu!" Seru Pak Iwan."Iya," sahut ibu Keke."Tunggu bentar, tantenya Keke belum datang.""Ini yang membuat Keke kesal, Yah. Kita harus masuk aula jam delapan tepat, Tante Silvi ini tidak pernah berubah, lelet minta ampun." Keke mengomel, dia memakai sepatu tinggi tumit. Sesekali menggerutu karena tak nyaman dengan benda itu, dia terbiasa memakai sandal
"Saya akan katakan pada ayah, bahwa saya menerima perjodohan Abang dengan saya."Bujang tertegun. Dia memandang Keke tak percaya. Keputusan dari mana itu, dia tau pasti Keke tak menyukainya, gadis kampung tapi bergaya modren itu terlalu kekanak-kanakan. Baru saja dia menangis karena patah hati, sekarang minta dijodohkan dengannya.Dia bukan anak-anak yang bisa dijadikan lelucon sesuka hati Keke. Bagaimana bisa, wanita patah hati itu membuat keputusan sepihak tanpa bertanya dulu padanya.Wanita ini cantik, sangat. Bunga desa yang menjadi buah bibir karena kecantikannya. Karakternya yang percaya diri dan cuek menjadi pesona tersendiri bagi siapa yang melihatnya. Namun, Bujang bukanlah anak SMA yang akan terpesona dengan kecantikan remaja yang emosinya masih labil itu. Bujang tau pasti, wanita itu sedang patah hati.Bujang telah puas makan asam garam kehidupan, dia telah lelah berharap akan memiliki istri, bahkan dia ikhlas jika tak memilik
Menikahi Keke? Bujang tersenyum hambar. Rasanya tak perlu menanggapi gadis itu, gadis kecil yang masih labil. Namun, apa yang disampaikan Keke begitu mengganggunya. Entah kenapa dia memikirkan ide gila Keke itu sampai saat ini.Sudah seminggu berlalu, Bujang menganggap ucapan Keke hanya lelucon yang tak serius, tapi tetap saja mengganggunya. Biasanya dia tak ambil pusing."Hey, bermenung lagi, kau sedang jatuh cinta?" Luqman tiba-tiba sudah berada di depannya sambil merebut rokok yang hendak dibakar."Jatuh cinta? Bang Luqman ngawur.""Kalau beneran jatuh cinta baru tau rasa kamu, Jang."Bujang mengabaikan ucapan Luqman. Dia mengeluarkan satu batang rokok lagi dan membakarnya, mereka tengah beristirahat untuk makan siang."Bang, aku boleh nanya?""Wah, sepertinya akan ada hal serius ini." Luqman memperbaiki posisi duduk bersilanya, jarang-jarang Bujang mau bercerita."Menurut Abang, Keke gimana?"Luqman tersenyum l
Keke tak mampu menyembunyikan raut kesalnya. Kenapa pria itu begitu cuek dengan motornya sendiri, bukankah dia orang yang sebenarnya punya banyak uang, kalau membangun mesjid saja bisa, masa membeli motor baru tidak mampu. Keke mengusap wajahnya lalu berjalan ke arah Bujang."Korslet lagi?""Habis minyak.""Huff.""Maaf, Ke. Motornya terpaksa didorong, jadi kita sama-sama jalan kaki.""Ya gimana lagi, Bang? Nggak ada pilihan lain, kan? Lagi pula, kenapa nggak beli motor baru, sih, Bang? Atau yang bekas tapi yang kondisinya masih bagus.""Ini banyak historinya, Ke. Banyak kisahnya, sayang kalau dijual cuma laku satu juta.""Segitunya, Bang."Bujang tak menyahut, mereka beriringan berjalan di jalan desa yang sudah sepi karena para hadirin telah pulang dengan motor mereka masing-masing. Zaman sekarang, ke wa
Keke meyakinkan dirinya, bahwa yang dia lakukan ini telah benar. Dia baru jatuh cinta sekali, pada kevin yang dulu sangat manis.Kevin laki-laki dengan fisik sempurna dan keluarga berada, dia juga perhatian dan penyayang, bahkan dari hal-hal kecil. Namun Keke tak menyangka, laki-laki yang dicintainya itu ternyata bukan jodohnya.Keke tak butuh cinta lagi, rasa sakit itu masih membekas ibarat luka yang membusuk. Ayahnya ingin dia segera menikah, umurnya sudah cukup, kuliah selesai, apa lagi? Dia tak butuh lagi laki-laki yang akan membuatnya jatuh cinta. Ayahnya suka Bujang, Keke rasa alasan itu cukup. Bujang punya banyak uang, dia tak perlu bekerja setelah mereka menikah. Iya, kan?Keke memantapkan hatinya, perhatiannya teralih ke pekarangan rumah, tepatnya pada mobil pick-up milik Bujang. Pria itu datang tepat waktu, tak sendiri, tapi dengan Luqman.Kemeja kotak-kotak, kemeja yang sama d
Bunyi mesin pemotong pohon berbunyi keras, dua anggota yang bekerja sebagai pekerja lepas yang bekerja pada Bujang memindahkan kayu yang berjenis kayu Ulin itu ke samping gudang. Kebetulan, Minggu ini ada pesanan perabot dari sekolah, membuat kursi belajar. Mau tidak mau mereka bekerja lebih keras dari biasanya untuk mencapai target.Luqman menggerutu, pria yang kelihatan lebih tua dari umurnya itu tampak kesal. Dia mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang tersampir di bahunya."Lain kali kau cari yang lain sajalah, Jang. Jangan kau pakai lagi si Bambo itu, lain disuruh lain pula yang dikerjakan. Bikin aku darah tinggi saja. Sudah seratus kali dibilang, nggak ngerti-ngerti juga."Bujang memandang sekilas pada Luqman, kemudian kembali menyalakan mesin amplas di tangannya."Sabar saja, aku kasihan sama dia, yatim piatu, nggak punya pekerjaan. Abang hanya perlu bersabar sama dia, walaupun dia nggak ngerti, tapi tenaganya kuat melebihi tenaga Abang."