Share

Buka Hatimu, Untukku!
Buka Hatimu, Untukku!
Author: Deer Diary

Perjodohan

"Ada apa sebenarnya dengan mu Leucaena Leucocephala ? Kenapa kamu tidak mau menerima lamaran dari pria baik seperti Calliandra callothyrsus! Pria seperti apalagi yang kamu inginkan!" ujar Arachis Pintoi ayah dari Caena.

Sejujurnya, sebagai orang tua Arachis sangat lelah dengan sikap dingin anaknya terhadap pria manapun. Padahal, Caena adalah wanita yang terlihat sangat ceria dan terbuka pada siapapun dan dalam hal apapun, namun ketika membicarakan tentang pernikahan, Caena seperti mati rasa dan tidak ingin membahasnya.

"Maafkan Caena Papa. Caena hanya belum siap untuk menikah." Jawaban yang sama seperti beberapa minggu yang lalu. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali Caena di lamar oleh banyak pria. Para pria yang melamarnya bukanlah berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Melainkan dari keluarga terhormat, orang kaya dan pebisnis-pebisnis sukses. Namun, tidak ada satupun yang dapat meyakinkan hatinya untuk menerima salah satu dari mereka.

"Apa yang membuat mu tidak siap, Nak?" tanya ibunya, Setaria Spachelata.

"Aku tidak percaya diri Mah. Aku~" Sebelum Caena melanjutkan apa yang ingin ia katakan. Arachis memotong ucapan Caena.

"Apa yang membuat mu tidak percaya diri Caena? Kamu adalah gadis yang paling cantik di kota ini. Gadis baik-baik dan tidak pernah berbuat macam-macam. Kamu bukan gadis nakal seperti gadis lain di luaran sana. Ayah dan ibu pun tidak pernah kecewa padamu," tutur Arachis mengangkat moril anaknya. Arachis tidak mengatakan omong kosong. Kenyataannya memang seperti itu. Caena terkenal sebagai gadis cantik, baik, perhatian, lembut dan penuh kasih. Ia tidak pernah memperlihatkan raport buruk selama hidupnya.

"Seandainya engkau tahu Pah, Mah. Aku bukanlah wanita seperti yang kalian ucapkan. Kalau saja kalian tahu semua hal tentang ku, pasti kalian akan sangat kecewa denganku," batin Caena sembari meneteskan air mata. Sungguh, ia tidak mampu lagi menahan air matanya. Hatinya sungguh remuk saat ini. Dengan alasan apalagi ia akan menolak pernikahan sedangkan umurnya semakin bertambah seiring berjalannya waktu.

"Maafkan Caena Pah, maafkan Caena Mah." Setelah mengucapkan kata maaf, Caena beranjak pergi dari ruang tamu tersebut lalu menuju kamarnya. Kamar yang menjadi saksi bisu atas segala perbuatan dan misteri kelam yang telah ia simpan selama ini. Tidak ada yang pernah tahu tentang apa yang terjadi di dalam kamar bersegi empat itu.

***

Esok harinya, seperti biasa Caena berangkat ke kantor menggunakan mobil kesayangannya. Caena bekerja di salah satu perusahaan peternakan yang ada di kotanya, ia menjabat sebagai manajer di sana. 

"Selamat pagi bu Caena," sapa asistennya dengan ramah.

"Selamat pagi, Cidia. Apa kamu sudah menyelesaikan laporan yang saya minta kemarin?" tanya Caena dengan sopan dan lembut. 

"Sudah bu. Laporan tentang pengawasan bibit ternak yang ibu Caena minta kemarin sudah saya siapkan di atas meja ibu," jawab Cidia sembari menunduk. Ia sangat menghargai manajer di hadapannya ini. Wanita yang selalu baik dan ramah, belum lagi kecantikannya yang mengalahkan artis. 

"Baguslah." Caena melangkahkan kakinya dengan anggun. Namun sebelum Caena memegang gagang pintu ruangannya untuk masuk, ia pun membalikkan tubuhnya.

"Oh iya, Cidia. Tolong lain kali jangan menunduk di hadapan saya. Kamu harus bersikap biasa saja dan berdiri dengan tegak. Saya bukan orang yang pantas mendapatkan hormat mu," ucap Caena rendah hati sembari mengeluarkan senyum manisnya. Senyuman yang membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh hati.

Caena selalu merasa bahwa dirinya bukanlah wanita baik-baik yang pantas di perlakukan dengan hormat. Status manajer yang melekat pada jabatannya saat ini pun, bukanlah hal yang patut ia banggakan. Bagi Caena, semua manusia itu memiliki status yang sama.

"Ah, baik bu Caena," ujar Cidia sembari membalas senyuman Caena. Cidia tidak ingin berdebat panjang dengan Caena. Sebab, selama ini Cidia selalu berusaha mengatakan kenyataan bahwa Caena memang pantas di perlakukan demikian namun Caena selalu punya cara untuk menyangkal hal itu. Jadi kali ini, Cidia hanya ingin diam saja dan mematuhi apa yang di inginkan oleh manajernya tersebut.

"Kalau saja aku laki-laki. Pasti sejak dulu aku sudah melamarnya," gumam Cidia setelah beberapa saat Caena memasuki ruangannya.

Di dalam ruangan yang sangat sejuk dan nyaman tersebut, Caena berusaha membaca baik-baik semua laporan yang telah tersedia di atas mejanya. Tidak lupa, sesekali Caena menyesap teh yang menemaninya pagi ini. Sungguh, nikmat yang tidak bisa di ungkapkan. Tapi tiba-tiba kenikmatan itu seketika buyar tatkala sebuah panggilan masuk dari Arachis Pintoi, ayahnya.

"Halo Papa, ada apa telpon Caena pagi-pagi? Padahal belum dua jam loh kita berpisah di rumah. Apakah Papa sudah merindukan Caena?" ujar Caena dengan bahagia. Mengajak Arachis untuk bermain-main merupakan hal yang paling Caena sukai. Setidaknya, hal itu membuat Caena lupa akan masalah hidupnya.

"Halo Sayang. Benar sekali tuan putri. Papa sudah sangat merindukan anak Papa yang manja ini." Arachis pun berusaha untuk membalas gurauan Caena.

"Hahahah. Papa bisa saja," ujar Caena malu.

"Oh iya. Ada apa Papa menelpon?" lanjut Caena mulai serius.

"Caena, berhubung kamu tidak ingin menerima lamaran yang datang dari siapapun. Apakah kamu akan menerima pernikahan jika Papa dan Mama menjodohkanmu dengan anak dari teman baik Papa?" tanya Arachis yang terdengar sekali bahwa ia berharap akan mendapatkan jawaban iya dari anaknya.

Sejenak Caena terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Bukan masalah pada prianya, tapi masalah itu ada padanya. Hati Caena di penuhi ketakutan ketika pembicaraan pernikahan dilangsungkan. Ada banyak hal yang Caena takutkan. Namun kali ini, ia harus mencoba bangkit. Caena berharap agar pria yang di maksud ayahnya adalah pria yang bisa menerima dirinya.

"Terserah Papa dan Mama. Tapi Pah, apakah aku bisa bertemu dulu dengan anak teman Papa? Ada hal yang ingin aku bic~"

"Baiklah. Papa akan mengatur pertemuanmu dengan anak teman Papa itu. Kalau begitu, silakan lanjutkan pekerjaan mu anak kesayangan Papa. Dadah," ucap Arachis memotong ucapan Caena lalu memutuskan sambungan telponnya dengan Caena.

"Iya Pah, Dadah."

Tut Tut Tut

"Hufffff." Caena menarik napas kasar. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. Siapa pria yang akan menerima wanita sehina dirinya? Adakah laki-laki yang akan benar-benar tulus menerima apa adanya dirinya? Selama ini, Caena tidak pernah menemukan pria seperti itu. Mungkin itulah yang membuatnya putus asa dengan cinta. Kata cinta selalu saja menjebaknya hingga pada akhirnya membuat Caena menyerah dan takut untuk membuka hatinya.

***

“Kamu sudah pulang, Sayang?” sambut Setaria memeluk Caena dengan hangat.

“Mereka siapa Mah?” tanya Caena bingung dengan adanya sepasang wanita dan pria di rumahnya yang belum pernah Caena lihat sebelumnya. Caena langsung melepas pelukannya dari sang Mama.

“Itu~” ucapan Setaria terpotong ketika seorang pria hadir di tengah-tengah kedua pasangan tersebut. Dan sungguh, Caena terkejut melihat pria yang sungguh tidak asing baginya.

“Kamu~” Caena menunjuk pria itu bingung namun sembari berpikir. 

“Leucaena,” gumam pria itu dan membuang wajahnya malu. Seperti seseorang yang sudah lama memendam rasa dan sekarang berhadapan dengan pihak yang ia sukai. 

Caena berpikir keras, dimana ia pernah melihat pria di hadapannya ini. Seketika ada percikan rindu di hati Caena. Ah, rupanya dia pria itu.

“Centrosema Pubescens.”

...To Be Continued... 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status