Share

Sekarang

Alya berjalan cepat meninggalkan kantin. Sambil memegang tempat minum, dia mempercepat langkah ingin segera sampai di tempat kerjanya. Sayangnya, perutnya yang semakin membuncit, mengurangi gerak langkahnya. Ditambah lagi, teriakan beberapa orang yang mengingatkannya untuk berhati-hati, mulai terdengar. Dia terpaksa menghentikan langkah saat Andri menghampirinya. 

"Hati-hati, Sayang! Aku ngeri lihat kamu jalan seperti barusan. Ingat, ada anak kita dalam perutmu!" tegur Andri dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Alya yang mendapat protes dari suaminya hanya tersenyum polos. 

"Iya, Sayang. Maaf!"

"Jangan hanya minta maaf. Lain kali, jangan diulangi lagi!" Andri mengusap kepala Alya sayang. Kemudian, dia memberikan usapan pada perut Alya yang kini tengah mengandung anaknya kemudian.

"Anak Ayah, kalau Bundanya nakal jangan diam saja, ya?!" 

Perkataan Andri seolah didengar oleh bayi mereka yang kini menendang perut Alya. Keduanya pun tertawa.

"Dia nurut." 

"Iyalah. Anak aku!" Alya mencebik, sedang Andri tertawa pelan.

"Barusan kenapa sih tergesa-gesa?" 

Alya tersenyum penuh misteri, lalu menggeleng membuat Andri memicing semakin heran. 

"Rahasia! Aku belum mau cerita sama kamu sebelum bilang sama Cahaya." 

"Ada apaan, sih?"

"Nanti kamu juga tahu sendiri! Udah ah, takut dicariin anak-anak!"

Alya melanjutkan langkahnya menyusuri lorong menuju tempat kerjanya. Andri yang memang tidak bisa memaksa Alya akhirnya menggelengkan kepalanya. 

****

"Ya!"

Cahaya menoleh sebentar, lalu kembali memeriksa barang saat melihat Alya berjalan mendekat. 

"Apa?" tanya Cahaya saat Alya sudah berdiri di sampingnya. 

"Sibuk?"

"Iya. Ada yang urgent dan harus dikirim siang nanti. Tadi Pak Indra juga nanyain spec yang kemarin. Udah beres belum?" terang Cahaya tanpa mengalikan pandangannya. 

"Udah, sedang cek QC. Aku ada kabar gembira nih!" Alya semakin tidak sabar menyampaikan berita yang akan dia sampaikan, hingga Cahaya menghentikan pekerjaannya. 

"Apa?"

"Jangan kaget tapi!" Alya sudah heboh sendiri. Itu ciri khas dia saat ada berita yang menurutnya sangat menarik. 

Cahaya mendesah pelan, calon ibu itu tetap tak berubah. Itulah yang membuat Cahaya nyaman bersahabat dengan Alya. 

"Iya," jawab Cahaya pendek agar Alya segera mengatakan maksudnya. 

"Tadi waktu ke kan--"

"Cahaya!" sebuah panggilan menghentikan perkataan Alya. Keduanya menoleh pada sumber suara. 

"Iya, Pak Indra?" jawab Cahaya, sedang Alya menghembuskan napas pasrah. Tampaknya, waktunya kurang tepat untuk bercerita. 

"Ini nggak lulus, barang lain ada nggak?" tanya Indra memberikan kertas hasil kerja pada Cahaya. 

Cahaya mendesah lelah, "Aku cek ke belakang dulu, Pak!" 

"Nanti kabarin, ya?! Soalnya nanti mau ada manager pemasaran yang baru dan harus diajakin kenal bagian produksi." 

"Loh, emang Bapak mau kemana?" tanya Alya yang sedari tadi hanya diam. 

"Saya cuma pengisi kekosongan saja, Al. Orang barunya udah ada di kantor, kok, ya udah aku ke sana dulu."

Indra pun berlalu setelahnya. 

"Ya?"

"Ceritanya nanti aja ya, Al? Aku mau cek barang dulu." 

"Euh, Ya--"

Tangan Alya mengambang di udara. Dia tak bisa mencegah Cahaya yang beranjak ke bagian belakang untuk memeriksa barang. 

"Ya sudahlah, nanti saja bilangnya. Dia juga lagi sibuk," guman Alya meninggalkan tempat kerja Cahaya. 

***

Cahaya terus melakukan pekerjaannya mencari barang yang memang sangat dibutuhkan untuk segera kirim.

Perusahaan tempat kerjanya sekarang adalah perusahaan yang sama seperti saat dia bekerja di Korea. Setahun setelah Cahaya bekerja di negeri gingseng itu, mereka memutuskan memindahkan perusahaan ke Indonesia. Cahaya yang diberikan jabatan leader, akhirnya sibuk dan melupakan janji seseorang yang telah berjanji akan datang dua tahun lalu. Namun, hingga akhir penantian di tahun ketiga pun, lelaki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. 

Berbeda dengan Alya yang berhasil menyatukan cintanya dengan Andri. Kini, sahabatnya itu bahkan tengah menunggu kelahiran anak pertama mereka. 

Waktu terus berjalan. Kesibukan Cahaya harus terhenti oleh suara bel tanda istirahat berbunyi. Dia menyandarkan tubuh lelahnya di kursi kebesarannya dengan Alya yang menatapnya diam.

 

Tak nyaman, akhirnya Cahaya pun bertanya, "Kenapa, Al? Gitu amat liatinnya." 

"Capek?"

"Dikit, kenapa?"

"Aku tanya boleh?"

"Apa?"

"Kalau tiba-tiba kamu ketemu Aa Raja, gimana?"

Cahaya melihat Alya kaget. Sudah lama mereka tidak membicarakan nama itu. Kenapa sekarang Alya menanyakan lagi? 

"Ada apa sih, Al? Tumben!"

"Jawab saja." 

"Entahlah, aku malu--" Cahaya mendesah lelah, semua cerita masa lalu kembali membayang di benaknya.

Tentang dia, Kim, dan juga ... Raja. 

 "Kamu ... masih mengharapkan kedatangan si Oppa, ya?" tanya Alya menatap dalam Cahaya. Dia merasa iba dengan kisah cinta gadis cantik di depannya itu. 

"Aku ... tidak mau membicarakan tentang dia lagi, Al. Sudah cukup aku memberikan banyak kesempatan padanya. Baik saat bersama, atau pun setelah kami berjauhan," 

"Lalu selama ini ... kenapa kamu menutup hati? Adrian pun sempat kamu tolak dulu."

Cahaya tersenyum. Benar, dia dengan tegas menolak cinta Adrian saat lelaki itu mengungkapkan cintanya. Namun, karena merasa lebih nyaman menjadikan Adrian sebagai teman, pria itu pun tersadar.

"Aku bukan menutup hati, hanya ... belum bisa membuka hati lagi." 

"Bukan karena berharap bertemu seseorang?" 

 Cahaya mengerutkan keningnya, "Bertemu seseorang? Siapa?" 

 "Aku yakin kamu akan terkejut kalau aku bilang siapa yang aku lihat tadi," ujar Alya berteka-teki.

Namun, Cahaya yang sudah sangat mengenal Alya dengan baik, yakin kalau yang dikatakan Alya adalah satu kebenaran. 

"Emangnya siapa yang kamu lihat tadi?" tanya Cahaya yang mulai tertarik dengan pembicaraan mereka. 

"Tadi itu, aku ...."

"Kenapa belum ke kantin?" Suara lain menginterupsi, hingga Alya kembali menelan kata-katanya. 

Alya kesal. Lagi-lagi, dia gagal. 

"Ganggu aja kamu, Yan!" dengus Alya membuat Adrian yang baru saja datang mengernyit heran. 

"Kenapa sih Bumil satu ini, Cahaya?" kata Adrian bingung.

"Dari tadi, aku tuh mau ngasih tahu Cahaya sebuah kabar gembira. Sayangnya, selalu aja ada halangan. Siapa yang nggak kesel coba?" rajuk Alya dengan wajah ditekuk.

Adrian yang mengerti langsung terkekeh. 

"Ya, maaf ... kan aku nggak tahu kalau kalian sedang serius, kirain sengaja lagi nungguin biar bisa barengan ke kantin. Andri mana?" kata Adrian dan menanyakan keberadaan suami Alya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status