Raja mendekat, menarik lembut tangan Cahaya yang menutupi wajahnya. "Aku sayang kamu, Ya. Rasa itu masih sama dengan yang dulu. Tak berubah sedikitpun. Bahkan kini setelah tahu kamu masih sendiri, rasa itu semakin besar. Semakin dalam. Bukankah ini satu pertanda, kalau kita memang tercipta untuk satu sama lain? Bukankah aku pernah berjanji, kalau aku akan membawamu pulang, Ya? Kamu tidak melupakan itu kan?"Raja menatap wajah Cahaya yang basah oleh air mata, mengusap pelan pipinya yang masih diluncuri air mata."Aku hanya merasa tidak pantas untukmu, A. Kamu layak bahagia, dengan orang yang tulus mencintaimu. Bukan aku yang selalu menyakiti dan memberi harapan yang tak pasti," elak Cahaya masih dengan pemikirannya, kalau dia bukan yang terbaik untuk Raja.Raja menatap Cahaya dengan tatapan kecewa, entah bagaimana menyakinkan gadis di depannya kalau bahagianya adalah dia."Aku ingin bahagia denganmu, Ya. Bersamamu. Bisakah kita mewujudkannya sekarang? Bisakah aku menjadi satu-satunya d
Senyum terus menghiasi bibir Raja, bahkan dia seolah tak peduli pada Cahaya yang diam-diam memperhatikannya. Hatinya kini tengah berbahagia, cintanya telah kembali. Dia semakin tampan! Cahaya menggelengkan kepala, dengan wajah merona malu sendiri. "Kenapa? Aku cakep kan?" kata Raja yang membuat Cahaya langsung mencebik, mengingkari kebenaran yang dikatakan oleh kekasihnya itu. Kekasih? Debaran jantungnya mengencang, tak menyangka status itu kembali disandangnya, kekasih dari Rajendra Subrata. Kekasih yang pernah dia beri perih luka, namun tetap setia menjaga rasa. Beruntung sekali bukan? "Ish, sejak kapan Aa jadi kepedean gitu?""Dari dulu. Kamu aja yang nggak tahu, soalnya dari kenal yang kamu perhatikan cuma Kim doang, aku dianggurin terus!" Raja terkekeh mengingat masa lalu, tak sadar kalau perkataannya mengungkit luka lama yang ingin Cahaya balut bahagia. "Kenapa sih, harus bawa nama Kim?" Raja tersentak kaget, baru menyadari kalau perkataan membuat kekasih hati tersinggung.
"Masih jauh tempat kostnya?" tanya Raja saat mereka sudah melewati perbatasan. "Nanti aku kasih tahu kalau sudah dekat, A," jawab Cahaya melihat ke arah Raja yang menoleh sekilas, Raja mengangguk."A!""Ya?" Raja melihat sebentar, lalu fokus lagi ke depan."Boleh nanya?""Apa?""Kenapa Aa belum nikah?""Nunggu kamu!" Jawab Raja enteng tanpa menoleh, sedang Cahaya jadi sedikit kesal mendengar jawaban yang menurutnya hanya bercanda."Yang serius jawabnya, A!""Aku serius banget, Sayang!""Tahu, ah!" "Emangnya, aku kelihatan lagi bercanda?" "Nggak tahu!" Raja terkekeh mendengar Cahaya yang terus menjawab dengan ketus."Jangan marah, jelek! Aku belum nemuin yang bisa membuka hati aku sejak perpisahan kita dulu, Ya." Cahaya menatap Raja yang tetap fokus mengendarai mobil. Lelaki itu siap melanjutkan kata-katanya. "Berkali-kali aku mencoba memberi kesempatan, pada wanita yang ingin menjadi pacar, bahkan Ibuku pernah mengenalkan pada beberapa gadis anak temannya, tapi aku selalu menolak k
Cahaya mengelak untuk menghindar, sambil tersenyum puas bisa membuat sahabatnya itu penasaran dengan ceritanya."Kami ... sudah balikan lagi, Al," jawab Cahaya malu-malu, saat harus mengakui hubungannya kembali dengan Raja. "Apa? Beneran? Selamat ya, Ya?! Aku seneng banget dengarnya. Terus gimana lagi?" pekik Alya girang dengan wajah terlihat antusias mendengarkan cerita Cahaya. "Apanya yang gimana? Ya udah, gitu aja.""Maksud aku, kapan kalian nikah? Kan udah balikan," kata Alya semakin gemas, karena Cahaya seakan tidak mengerti pertanyaannya. Cahaya tersenyum, "Tidak semudah itu, Alya. Aku harus memikirkan langkah kami selanjutnya. Pernikahankan bukan hanya sekedar saling cinta aja.""Tumben kamu mau ngakuin, kalau kamu juga cinta sama dia? Biasanya nyangkal terus?!" Alya mengejek Cahaya yang mengendikkan bahu acuh. "Serah deh.""Lagian perlu waktu buat apalagi sih, Ya? Tiga tahun emang belum cukup buat ngebuktiin kalau Raja beneran cinta sama kamu? Sampai-sampai dia belum nikah
"Kamu lama amat sih, Yang?" Andri yang menunggu Alya di depan pintu masuk swalayan, langsung menyambut kedatangan Alya dan Cahaya. Tangannya memeluk pundak istrinya dengan lembut memberi perlindungan."Maaf, Yang. Ini nih, bujukin Neng Geulis, susah banget!" jawab Alya sambil menunjuk Cahaya yang melangkah di sisinya, tangannya memeluk pinggang Andri dengan manja."Mulai deh ... nyesel aku ikut kalau cuma buat lihatin kemesraan kalian. Hargain dikit napa yang jomblo? Hayati juga pengen kan dipeluk!" Cahaya merajuk sambil berjalan mendahului mereka."Dih, ngaku jomblo! Udah taken juga sekarang!" seru Alya, yang dibalas kibasan tangan Cahaya di udara. "Taken? Sama siapa? Kok, nggak bilang-bilang?" tanya Andri penasaran dengan perkataan Alya. "Iya, udah taken. Sama Aa Raja, mereka balikan tadi." "Wah, syukur deh. Emang kayaknya mereka berjodoh sih, Yang." Andri ikut senang dengan kabar yang disampaikan oleh Alya. "Aamiin, mudah-mudahan. Ayo, masuk! Tuh, Cahaya udah nyelonong aja, tad
Alya berkali-kali menelepon Cahaya, tapi gadis itu tidak menjawab panggilannya sama sekali, Alya mulai bingung dengan tidak adanya respon dari Cahaya. Saat ini Alya dan Andri tengah berjalan ke arah kasir, dengan Andri mendorong troli yang penuh dengan belanjaan mereka. "Alya?!" suara panggilan menghentikan langkah mereka, keduanya menoleh ke arah sumber suara. Alya dan Andri langsung tertegun melihat seorang lelaki yang sangat mereka kenal, tengah menggendong seorang anak perempuan dengan wanita berhijab tengah hamil besar di sampingnya. Pertanyaan muncul di benak keduanya. Terlebih Alya, bukankah dia belum menikah? Bahkan Cahaya dengan yakin mengatakan itu padanya tadi. Lalu, siapa mereka yang saat ini bersamanya? Atau ... Raja telah berbohong dengan statusnya? "Pak Raja?" Guman keduanya, lalu saling pandang penuh tanda tanya. Raja dan wanita itu semakin mendekat, senyum mengembang di wajah keduanya, tapi tidak dengan Alya. Entah kenapa dia merasa Raja sudah berbohong. Unt
"Pak! Jadi bapak sudah menikah?" Andri langsung bertanya sama Raja setelah Alya menjauh. "Aku belum nikah, Ndri," ujar Raja mantap. "Tapi anak tadi manggil Bapak, papa. Bapak nggak lagi bohong kan?" Raja menarik napasnya berusaha tenang, setelah tadi mendengar kata-kata Alya yang membuat hatinya sedikit tersinggung. "Dia keponakan aku. Ibunya adalah adikku, namanya Khadijah. Syena memanggilku papa,karena sudah terbiasa. Bahkan kami datang kesini pun dengan suaminya," terang Raja. Lalu tak lama, seorang lelaki dengan perawakan tidak jauh beda dengan Raja datang menghampiri. "Ja, kemana mereka?" tanya lelaki itu."Nah, ini suaminya. Kenalkan Ndri, ini Farhat adik iparku, papanya Syena. Hat, kenalkan teman aku." Raja mengenalkan keduanya. Farhat langsung mengulurkan tangan yang disambut oleh Andri. "Farhat." "Andri." "Syena mana, Ja?" ulangnya bertanya keberadaan anaknya. "Beli es krim. Kamu susul mereka saja. Ada yang harus aku luruskan dengan temanku," ujar Raja yang diikuti
Cahaya terus melangkah ke luar dari tempat perbelanjaan tersebut, rasa sakit di hatinya membuat Cahaya melupakan dengan siapa tadi dia datang. Kakinya berderap tergesa, takut kehadirannya tadi disadari oleh Raja dan laki-laki itu menyusulnya. Begitu sampai di tepi jalan raya, Cahaya menyebrangi jalan. Dia butuh tempat nyaman untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh karena rasa kecewa dan juga ... cemburu. Angkot yang ditunggu tiba, Cahaya segera naik. Dia melihat kembali ke arah supermarket, entah mengapa dia berharap Raja datang berlari menyusulnya. 'Jangan gila, Cahaya!' Cahaya menggeleng, menatap kosong kedepan begitu bokongnya sudah dengan nyaman di kursi penumpang. Beberapa penumpang melihatnya sekilas, saat Cahaya menundukkan kepala menyembunyikan kesedihan yang mendera jiwa. 'A Raja!' Mata Cahaya memanas, saat bayangan kebersamaan keluarga kecil Raja berkelebat. Sikap manis dan perhatian yang ditunjukkan oleh Raja pada gadis kecil itu, sangat mengganggunya. Apalagi saat