Bel masuk sudah berbunyi. Cahaya kembali berkeliling memeriksa semua hasil kerja di departemen yang dipimpinnya. Rutinitas harian dalam mencari lembaran Rupiah.
"Aya!" Sebuah suara mengalihkan perhatiannya dari barang yang sedang di-check.
Doni--Kepala Personalia-- datang menghampiri. Cahaya langsung memantung saat melihat siapa yang berdiri tak jauh dari Doni.
"Ya, kenalin. Ini manajer pemasaran yang baru. Namanya Pak Raja."
"Kami sudah kenal, Pak Doni," kata Raja tersenyum pada Cahaya yang menatapnya malu-malu.
'Andai saja kamu bukan milik dia, Ya!' lirih hati kecil Raja terus menghiba, meratapi cinta yang tak berpihak padanya.
"Emm, iya, Pak. Kami sudah saling kenal," ujar Cahaya menimpali kata-kata Raja.
"Begitu? Kenal di mana?" Doni melihat ke arah Cahaya dan Raja bergantian. Cahaya berusaha bersikap biasa, padahal hatinya berdebar tak tenang. Jantungnya berdegup kencang.
'Kenapa aku jadi grogi begini berhadapan dengan A Raja?'
"Kami kenal di Korea, Pak. Tiga tahun yang lalu," jelas Raja, yang diangguki oleh Cahaya.
"Wah, sudah lama dong, ya? Baguslah! Kalian jadi bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Tapi, Pak Raja waktu ke Korea sebagai apa?" tanya Doni yang malah tertarik, dengan cerita masa lalu Cahaya dan Raja.
"Saya sebagai orang suruhan perusahaan untuk mengevaluasi hasil kerja. Waktu itu, banyak hasil produksi yang jelek, Pak," jawab Raja sambil terkekeh tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Oh, tapi kan perusahaan ini baru berdiri dua tahun lebih, Pak?"
"Perusahaan cabang yang lain, Pak," jawab Raja lagi. Cahaya hanya menanggapi dengan senyuman.
"Oh, ok. Baiklah saya harus mengenalkan Raja ke bagian lain. Silakan dilanjut, ya?" kata Doni berpamitan, berjalan lebih dulu meninggalkan Raja.
"Iya, Pak. Silahkan."
Raja pun berlalu dari hadapan Cahaya setelah sebelumnya melemparkan senyuman terbaik.
Cahaya mendesah lelah setelah meraba dadanya yang masih berdebar kencang. Rasa menyesal sudah berbohong tentang statusnya mulai membayangi. Karena tingkah konyolnya itu, kesempatan untuk mendekati terhambat.
'Ayolah, Cahaya ... apa kamu tidak malu dulu menolak dia? Kamu harus tahu diri, jangan mengharap dia lagi.'
Cahaya menggeleng untuk mengusir rasa tak nyaman imbas bertemunya kembali dengan Raja. Dia menyibukan diri dengan pekerjaan, sampai waktu bel tanda pulang tiba.
***
Ketampanan Raja langsung menjadi buah bibir, hampir semua karyawan membicarakannya. Cahaya hanya tersenyum menanggapi celotehan mereka di ruang loker tadi.
"Ganteng banget tau!"
"Udah ada yang punya belum ya?"
"Biarin jadi istri kedua juga nggak pa-pa aku."
"Pelakor, dong!"
"Kalau yang dilakorin macam pak Raja, aku siap, hahaha!"
Cahaya tentu memaklumi. Mungkin, dia pun akan bertindak seperti itu kalau belum mengenalnya. Dia juga pasti akan membicarakannya dengan antusias, ciri seseorang yang mengagumi ketampanan sang Adam.
"Kamu kenapa jadi banyak diam, Ya? Kepikiran Aa Raja?" Alya yang berjalan di sebelahnya bertanya.
"Bukan."
"Bohong kamu. Aku kenal kamu udah lama, Ya. Aku udah paham kalau kamu lagi galau. Sekarang, kamu ini lagi resah. Resah dan gelisah. Salah sendiri sih! Kenapa nggak jujur aja coba?" kata Alya.
" Tinggal ngomong, 'Aa, aku belum nikah'. Beres 'kan? Atau aku yang bilang ya sama Raja?" cecar Alya dengan langkah pelan menuju tempat parkir bis jemputan."Eh, tuh a Raja, Ya!" Alya menggoyangkan tangan Cahaya, dan menunjuk ke arah parkiran tempat para staff memarkirkan mobilnya. Tampak, Raja ada di sana.
"Aa Raja!" Alya langsung berteriak memanggil Raja.
"Eh, Al. Kenapa dipanggil?" Cahaya langsung menghentikan langkah Alya, tapi dia tak peduli.
Sementara itu, Raja langsung tersenyum dan setengah berlari mendekat pada mereka.
"Hei, pulang bareng yuk!" Kata Raja setelah berdiri di dekat Cahaya dan Alya, menatap bergantian keduanya.
"Cahaya aja, Aa. Aku sama Andri naik jemputan aja. Titip ya, Aa. Kasihan jomblo nih, biar lepas status tuh!" kata Alya membuat Cahaya mendengus jengkel sekaligus panik kalau Raja menyadari arti ucapan Alya. Ini berbahaya! Kebohongannya akan terbongkar cepat.
Raja mengernyitkan dahinya tanda tak paham. "Maksud kamu apa, Al?"
"Tanyain aja sama Cahaya, Aa. Aku duluan, ya!" Alya langsung pergi menuju bis jemputan tanpa menoleh pada Cahaya yang menundukkan kepala dalam. Dia yakin, setelah ini Raja pasti mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
'"Ya? Ada yang mau kamu jelaskan?" Raja mulai bertanya.
Mengangkat kepalanya pelan, Cahaya memalingkan wajah tak ingin bersitatap dengan mata Raja yang menyorot tajam menunggu jawaban.
"Cahaya?" suara Raja terdengar dalam, Cahaya bergidik.
"Aku nggak harus menjelaskan apapun, Aa!" Cahaya mencoba menjawab. Sayangnya, Raja malah menariknya menuju tempat parkir.
"Aa!" Cahaya memekik, mencoba melepaskan cekalan tangan Raja di pergelangan tangannya.
"Diam!" Raja menggeram tak peduli pada permintaan Cahaya.
"Lepas, Aa! Malu!" protes Cahaya yang merasa risih dengan tatapan para karyawan yang memandangnya heran. Bahkan, beberapa menatap iri karena dia sedang bersama idola baru di perusahaan.Sesampainya di mobil berwarna silver, Raja langsung menekan kunci mobil dan membukakan pintu mobil untuk Cahaya."Masuk!" katanya tegas. Cahaya menatap Raja yang tampak marah?"Aa!""Masuk, Aya!" ulang Raja. Pria itu mendorong pelan agar Cahaya masuk ke dalam mobil.Sebelum masuk, Cahaya menoleh ke arah bis jemputan. Alya tampak sedang tersenyum penuh kemenangan. Cahaya pun membulatkan mata dan mengancam Alya yang malah tertawa. Raja yang mengikuti arah pandang Cahaya, melihat Alya yang melambai ke arah mereka."Aku mau pulang, Aa!" Cahaya mencoba menghiba."Aku antar!""Aku pake jemputan saja, sebentar lagi bisnya berangkat. Ya?!" Cahaya mulai panik, saat terdengar supir bus mulai menghidupkan mesinnya."Kamu pulang bareng aku. Sekarang masuk. Kamu nggak malu jadi tontonan gratis?" kata Raja yang memb
Raja mendekat, menarik lembut tangan Cahaya yang menutupi wajahnya. "Aku sayang kamu, Ya. Rasa itu masih sama dengan yang dulu. Tak berubah sedikitpun. Bahkan kini setelah tahu kamu masih sendiri, rasa itu semakin besar. Semakin dalam. Bukankah ini satu pertanda, kalau kita memang tercipta untuk satu sama lain? Bukankah aku pernah berjanji, kalau aku akan membawamu pulang, Ya? Kamu tidak melupakan itu kan?"Raja menatap wajah Cahaya yang basah oleh air mata, mengusap pelan pipinya yang masih diluncuri air mata."Aku hanya merasa tidak pantas untukmu, A. Kamu layak bahagia, dengan orang yang tulus mencintaimu. Bukan aku yang selalu menyakiti dan memberi harapan yang tak pasti," elak Cahaya masih dengan pemikirannya, kalau dia bukan yang terbaik untuk Raja.Raja menatap Cahaya dengan tatapan kecewa, entah bagaimana menyakinkan gadis di depannya kalau bahagianya adalah dia."Aku ingin bahagia denganmu, Ya. Bersamamu. Bisakah kita mewujudkannya sekarang? Bisakah aku menjadi satu-satunya d
Senyum terus menghiasi bibir Raja, bahkan dia seolah tak peduli pada Cahaya yang diam-diam memperhatikannya. Hatinya kini tengah berbahagia, cintanya telah kembali. Dia semakin tampan! Cahaya menggelengkan kepala, dengan wajah merona malu sendiri. "Kenapa? Aku cakep kan?" kata Raja yang membuat Cahaya langsung mencebik, mengingkari kebenaran yang dikatakan oleh kekasihnya itu. Kekasih? Debaran jantungnya mengencang, tak menyangka status itu kembali disandangnya, kekasih dari Rajendra Subrata. Kekasih yang pernah dia beri perih luka, namun tetap setia menjaga rasa. Beruntung sekali bukan? "Ish, sejak kapan Aa jadi kepedean gitu?""Dari dulu. Kamu aja yang nggak tahu, soalnya dari kenal yang kamu perhatikan cuma Kim doang, aku dianggurin terus!" Raja terkekeh mengingat masa lalu, tak sadar kalau perkataannya mengungkit luka lama yang ingin Cahaya balut bahagia. "Kenapa sih, harus bawa nama Kim?" Raja tersentak kaget, baru menyadari kalau perkataan membuat kekasih hati tersinggung.
"Masih jauh tempat kostnya?" tanya Raja saat mereka sudah melewati perbatasan. "Nanti aku kasih tahu kalau sudah dekat, A," jawab Cahaya melihat ke arah Raja yang menoleh sekilas, Raja mengangguk."A!""Ya?" Raja melihat sebentar, lalu fokus lagi ke depan."Boleh nanya?""Apa?""Kenapa Aa belum nikah?""Nunggu kamu!" Jawab Raja enteng tanpa menoleh, sedang Cahaya jadi sedikit kesal mendengar jawaban yang menurutnya hanya bercanda."Yang serius jawabnya, A!""Aku serius banget, Sayang!""Tahu, ah!" "Emangnya, aku kelihatan lagi bercanda?" "Nggak tahu!" Raja terkekeh mendengar Cahaya yang terus menjawab dengan ketus."Jangan marah, jelek! Aku belum nemuin yang bisa membuka hati aku sejak perpisahan kita dulu, Ya." Cahaya menatap Raja yang tetap fokus mengendarai mobil. Lelaki itu siap melanjutkan kata-katanya. "Berkali-kali aku mencoba memberi kesempatan, pada wanita yang ingin menjadi pacar, bahkan Ibuku pernah mengenalkan pada beberapa gadis anak temannya, tapi aku selalu menolak k
Cahaya mengelak untuk menghindar, sambil tersenyum puas bisa membuat sahabatnya itu penasaran dengan ceritanya."Kami ... sudah balikan lagi, Al," jawab Cahaya malu-malu, saat harus mengakui hubungannya kembali dengan Raja. "Apa? Beneran? Selamat ya, Ya?! Aku seneng banget dengarnya. Terus gimana lagi?" pekik Alya girang dengan wajah terlihat antusias mendengarkan cerita Cahaya. "Apanya yang gimana? Ya udah, gitu aja.""Maksud aku, kapan kalian nikah? Kan udah balikan," kata Alya semakin gemas, karena Cahaya seakan tidak mengerti pertanyaannya. Cahaya tersenyum, "Tidak semudah itu, Alya. Aku harus memikirkan langkah kami selanjutnya. Pernikahankan bukan hanya sekedar saling cinta aja.""Tumben kamu mau ngakuin, kalau kamu juga cinta sama dia? Biasanya nyangkal terus?!" Alya mengejek Cahaya yang mengendikkan bahu acuh. "Serah deh.""Lagian perlu waktu buat apalagi sih, Ya? Tiga tahun emang belum cukup buat ngebuktiin kalau Raja beneran cinta sama kamu? Sampai-sampai dia belum nikah
"Kamu lama amat sih, Yang?" Andri yang menunggu Alya di depan pintu masuk swalayan, langsung menyambut kedatangan Alya dan Cahaya. Tangannya memeluk pundak istrinya dengan lembut memberi perlindungan."Maaf, Yang. Ini nih, bujukin Neng Geulis, susah banget!" jawab Alya sambil menunjuk Cahaya yang melangkah di sisinya, tangannya memeluk pinggang Andri dengan manja."Mulai deh ... nyesel aku ikut kalau cuma buat lihatin kemesraan kalian. Hargain dikit napa yang jomblo? Hayati juga pengen kan dipeluk!" Cahaya merajuk sambil berjalan mendahului mereka."Dih, ngaku jomblo! Udah taken juga sekarang!" seru Alya, yang dibalas kibasan tangan Cahaya di udara. "Taken? Sama siapa? Kok, nggak bilang-bilang?" tanya Andri penasaran dengan perkataan Alya. "Iya, udah taken. Sama Aa Raja, mereka balikan tadi." "Wah, syukur deh. Emang kayaknya mereka berjodoh sih, Yang." Andri ikut senang dengan kabar yang disampaikan oleh Alya. "Aamiin, mudah-mudahan. Ayo, masuk! Tuh, Cahaya udah nyelonong aja, tad
Alya berkali-kali menelepon Cahaya, tapi gadis itu tidak menjawab panggilannya sama sekali, Alya mulai bingung dengan tidak adanya respon dari Cahaya. Saat ini Alya dan Andri tengah berjalan ke arah kasir, dengan Andri mendorong troli yang penuh dengan belanjaan mereka. "Alya?!" suara panggilan menghentikan langkah mereka, keduanya menoleh ke arah sumber suara. Alya dan Andri langsung tertegun melihat seorang lelaki yang sangat mereka kenal, tengah menggendong seorang anak perempuan dengan wanita berhijab tengah hamil besar di sampingnya. Pertanyaan muncul di benak keduanya. Terlebih Alya, bukankah dia belum menikah? Bahkan Cahaya dengan yakin mengatakan itu padanya tadi. Lalu, siapa mereka yang saat ini bersamanya? Atau ... Raja telah berbohong dengan statusnya? "Pak Raja?" Guman keduanya, lalu saling pandang penuh tanda tanya. Raja dan wanita itu semakin mendekat, senyum mengembang di wajah keduanya, tapi tidak dengan Alya. Entah kenapa dia merasa Raja sudah berbohong. Unt
"Pak! Jadi bapak sudah menikah?" Andri langsung bertanya sama Raja setelah Alya menjauh. "Aku belum nikah, Ndri," ujar Raja mantap. "Tapi anak tadi manggil Bapak, papa. Bapak nggak lagi bohong kan?" Raja menarik napasnya berusaha tenang, setelah tadi mendengar kata-kata Alya yang membuat hatinya sedikit tersinggung. "Dia keponakan aku. Ibunya adalah adikku, namanya Khadijah. Syena memanggilku papa,karena sudah terbiasa. Bahkan kami datang kesini pun dengan suaminya," terang Raja. Lalu tak lama, seorang lelaki dengan perawakan tidak jauh beda dengan Raja datang menghampiri. "Ja, kemana mereka?" tanya lelaki itu."Nah, ini suaminya. Kenalkan Ndri, ini Farhat adik iparku, papanya Syena. Hat, kenalkan teman aku." Raja mengenalkan keduanya. Farhat langsung mengulurkan tangan yang disambut oleh Andri. "Farhat." "Andri." "Syena mana, Ja?" ulangnya bertanya keberadaan anaknya. "Beli es krim. Kamu susul mereka saja. Ada yang harus aku luruskan dengan temanku," ujar Raja yang diikuti