Menikah? Kupandangi Dania yang masih tersenyum seraya menampilkan deretan giginya yang putih. Ia mengatakan perihal pernikahan selugas itu, seolah itu bukan hal besar. ”Pergi, Dania. Sebentar lagi aku mau meeting.” Alih-alih pergi, Dania justru berdiri dan memegangi dasiku. Ia tersenyum menggodaku. Di kantor memang tahu, jika Dania adalah pacarku. Aku tidak masalah meskipun mereka akan mengetahui jika aku menikahi Alana. Selagi tidak terdengar sampai telingaku.”Kamu ke sini pas makan siang aja, kita makan siang di restoran depan,” ujarku memberi solusi agar Dania mau pergi.Ia justru menggeleng. ”Nggak mau. Aku mau dimakan sama kamu.”Kutinggalkan Dania setelah membawa beberapa berkas. Kutekan telepon kantor yang terhubung langsung ke sekertarisku untuk menyiapkan apa saja untuk meeting.”Baik, Pak Hamiz. Semuanya sudah siap, ya, Pak. 13 menit lagi kita meeting.”Dania bergelayut manja di lenganku, mengedipkan matanya. ”Ayolah, masih ada waktu 13 menit lagi.”Tidak. Aku meninggalka
Di kantor aku tidak tenang, ingin pulang cepat namun pekerjaan menumpuk. Pikiran yang tidak jernih membuatku banyak menunda pekerjaan. Sudah dua jam aku hanya memelototi laptop. Kuusap wajahku, sepertinya aku membutuhkan kafein agar pikiranku yang berkabut ini sedikit jernih.”Sayang.”Dania tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu. Ia langsung menghujaniku dengan ciuman. Aku hanya diam saja menatap kosong ke depan.”Kamu kenapa, sih? Aku tau.” Dania segera melumat bibirku, kubalas dengan malas. ”Kamu kenapa sih! Aku juga istri kamu! Aku mau kamu sekarang juga!”Kutinggalkan Dania, biar saja dia merengek. Aku sudah pusing menghadapi satu istri, salahku juga yang menambah kepusingan itu sendiri. Aku ke cafe di depan gedung kantor, ternyata Dania pun mengekor. ”Kamu kenapa!”Ini pertanyaan entah ke berapa kali dalam sejam. Aku enggan menjawab. Menjawab pun akan salah kembali. Kopiku datang, kuhirup aromanya yang membuatku tenang. Kemudian menyeruputnya seolah kabut yang memenuhi kepala mu
POV AlanaBebanku seolah berkurang pergi dari rumah megah itu. Meski air mataku tak hentinya mengalir. Meski hatiku terus saja berdarah. Meski perutku terasa kram, aku masih bilang, bebanku perlahan berkurang. Aku kesakitan, tapi tidak ada luka menganga yang terlihat. Hatiku berulangkali menjerit, sakitnya sampai membuatku sesak saat bernapas.Kupandangi rumah bercat ungu ini dengan pandangan buram, karena air mata tak hentinya mengalir. Seseorang mengusap bahuku. ”Tante Arumi nggak ikut?” tanya Niko.Ya, aku memang bersama Niko. Aku berniat ikut kembali ke desa, di mana dulu aku di sana. Tabunganku sudah lebih dari cukup jika hanya tinggal di kampung. ”Ibu nggak mau hidup miskin lagi, Nik,” jawabku.”Aku janji bakal cukupin kehidupan kalian berdua. Biar aku ke rumah kamu lagi buat ngomong sama tante, aku liat mobil suamimu pergi nggak lama kamu ke sini,” ujarnya.Sebelum aku memintanya untuk mengabaikan ibu, Niko sudah pergi menyebrangi jalan menuju rumah. Satu menit, 10 menit, hin
Sudah hampir terbit fajar, namun tidurku tak kunjung lelap, sekalinya terlelap aku bermimpi Tuan Hamiz sedang dalam keadaan berlumur darah. Sakitkah dirimu, Tuan? Kuambil air wudhu untuk menjalankan dua raka'at. Mendoakan dirimu setulus hatiku, agar kamu di sana selalu baik-baik saja.Setelah menyelesaikan dua raka'at, aku ke bawah menemui Bi Sumi untuk memberikan uang belanja. Namun kucari Bi Sumi tidak ada, jadi aku ke depan, ternyata Niko datang sedang membawa plastik berisi sayur-sayuran. ”Kamu yang belanja, Nik?” Niko bahkan belum mengganti bajunya. Ia tersenyum manis. ”Mana mungkin aku biarin kamu di sini kelaperan, Ra. Aku beli sayur, ayam, dan daging buat stok seminggu. Kalo persediaan udah habis, kamu yang harus belanja nemenin aku. Aku maksa, loh.”Aku tertawa. Aku mulai membantu menyusun buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dibawa ke dapur. ”Maaf, ya, udah ngerepotin kamu. Kamu pasti juga belom tidur. Tidurlah abis ini, ya, Nik.””Karena Dinda udah nyuruh Kanda tidur,
PoV Penulis Sudah 5 bulan Hamiz mencari keberadaan Alana. Namun, tetap tidak ada di mana pun. Sudah dicari di sosial media, tapi tidak ada foto profil yang menandakan itu Alana. Selama sebulan pula hidup Hamiz tak terarah. Terasa ada rongga besar yang menganga di dalam tubuh. ”Kenapa, sih, aku ngrasa kamu udah beda? Kamu udah suka sama Alana?” tanya Dania. Hamiz berdecak. ”Pikiran kamu aja. Aku lagi pusing sama kerjaan.” Kemudian Hamiz meninggalkan Dania ke ruang kerja, malas menanggapi Dania yang selama sebulan ini marah-marah. Tidak ada hari tanpa amarah yang keluar dari wanita itu. Cinta yang meluap-luap saat pacaran tiba-tiba hilang. Kini Hamiz tak merasakan apa pun lagi yang menggebu-gebu pada Dania. Bahkan saat ia menyodorkan tubuhnya pada Hamiz, ia tidak merasakan sesuatu seperti yang sudah-sudah.Perut Dania sudah membesar. Sudah 6 bulan usia kandungannya. Hamiz justru semakin bertanya-tanya, kesulitankah Alana di sana. Pasti perutnya sudah besar dan sebentar lagi melahirk
”Arsenio Zayn Faida,” ucap Alana saat menyusui putranya yang baru ia lahirkan beberapa jam lalu. ”Arsenio Zayn Al-Hamiz,” ujar Hamiz, begitu masuk ke ruangan. Alana sontak menutup kancing bajunya melihat Hamiz masuk. Ia menatap tak suka melihat lelaki itu memberikan namanya untuk pelengkap. ”Ini anakku, Alana.” Hamiz menegaskan. Alana menaruh bayinya ke dalam tempat bayi yang disediakan. Ia tersenyum sinis menatap Hamiz yang tengah membelai pipi putranya. ”Anak yang dulu kamu nggak harapin, kan, Tuan? Selalu yang tuan sebut, bayi ini, bayimu, bayi itu. Ini bayi saya.””Darah dagingku,” sahut Hamiz.”Untuk apa juga Tuan jauh-jauh ke mari? Saya sudah tenang menata masa depan untuk saya dan anak saya. Jangan campuri hidup kami lagi. Urusi saja Daniamu,” ujar Alana, ketus. Hamiz menatap Alana, Niko masuk ke ruangan melihat Hamiz dan Alana tengah bersitatap tegang. ”Alana baru aja lahiran, jangan buat Alana stress,” ujar Niko menjadi penengah. Niko sebenarnya tidak rela. Selama 5 b
Luka setelah lahiran Alana masih berdarah. Bahkan Oma datang tidak menanyakan keadaan Alana, ia datang seolah hanya karena anak Hamiz. Begitu pun Sarah, yang ternyata ikut berkunjung. Hati Alana semakin terluka, saat orang-orang yang dulu memandangnya sebelah mata kini tersenyum bangga menatap bayi kecilnya yang berjenis kelamin laki-laki. Mereka yang datang hanya membicarakan perihal uang kala melihat bayinya. Niko datang, membuat orang-orang yang berkumpul di sana memandang penuh tanya. Niko tidak perduli, ia terus saja berjalan seraya menenteng plastik berisi pembalut dan makanan untuk Alana. ”Ibu menyusui harus banyak makan. Aku udah beli bebek madura di tempat favorit kamu,” celoteh Niko. Ia melihat mata penuh kaca yang siap pecah di mata Alana, namun ia seolah berlaku biasa saja agar Alana tidak memikirkan orang-orang di sekitar. Alana menatap Niko dan lelaki itu paham. Alana seolah berkata dari sorot matanya tidak nyaman melihat anaknya menjadi bahan tontonan begitu. Bahka
Seharian, Dania uring-uringan karena Hamiz tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif sejak suaminya pamit dari rumah. Kecurigaannya semakin menjadi. Dania memilih ke suatu tempat saja, menyetir sendiri. Setelah sampai, Dania disambut pelukan oleh seorang lelaki bertubuh kekar dipenuhi tato. ”I miss you, Babe,” ucap lelaki itu sambil mengecup kening Dania. ”Gimana kabarnya ini little girl?” Lelaki itu mengusap serta mencium perut besar Dania. ”Aku udah nggak mual-mual lagi, Babe, dan anak kita baik-baik aja,” jawab Dania sambil memeluk kepala si lelaki. ”Kamu yakin ini semua bakal berhasil? Hamiz nggak curiga sama sekali?””Nggak, Babe. Dia malah jadi nggak peduli ke aku. Sebel banget aku, harus pura-pura butuhin dia terus,” keluh Dania. Dania digendong oleh lelaki bertubuh kekar itu ke kamar dan hal-hal yang biasa mereka lakukan terjadi. Selama tiga hari Dania menginap di rumah itu, rumah di mana Hamiz tidak mengetahuinya. **Alana tengah mengedit video untuk kontennya yang akan