”Kamu udah bangun? Aku udah bikinin kamu nasi goreng. Dimakan, ya, Sayang. Ibu sebentar lagi pulang dari pasar. Aku harus ke kantor karena ada beberapa masalah.”
Tangannya mengusap rambut, tapi yang berantakan justru hatiku. Jantungku kembali berulah. Ah! Rasanya aku ingin berteriak.”Pipi kamu merah,” imbuh Tuan Hamiz sebelum menghilang dari pintu. Bahkan Tuan Hamiz tersenyum sampai matanya menyipit. Aku masih terpaku meski Tuan Hamiz sudah menghilang.Dari saya ke aku. Ada apa ini? Kenapa sikapnya sangat berbeda, tidak kaku seperti biasanya. Kuraba dada yang berdetak kencang untuk memastikan di dalam sana jantungku tidak mengalami serangan.Perutku yang kini berulah. Di dalam sana, perutku minta diisi makanan. Teringat nasi goreng hasil masakan Tuan Hamiz membuatku penasaran. Segera saja aku ke luar kamar untuk mencicipi seenak apa buatan Tuan Hamiz.Kubuka tudung saji dan terlihat nasi goreng dengan dua telur ceplok di atasnya. Di samping piring terdapat catatan kecil bertinta merah.”Dimakan, ya, istriku.” Kubaca dalam hati, tapi justru suara Tuan Hamiz seakan menggema di telinga. Lagi-lagi jantungku melonjak, sedang pikiranku tengah berteriak agar aku kembali pada logika.Aku menggeser kursi untuk duduk, mulai menyuapi nasi goreng di depanku. Sejenak kupejamkan mata. Memang bukan nasi goreng terenak yang pernah kumakan, namun menikmati nasi goreng hasil tangan Tuan Hamiz membuatku seperti dikerubungi ribuan kupu-kupu.Kudengar pintu dibuka lalu ditutup, disusul suara ibu memanggil. Aku menjawabnya kepayahan karena mulut penuh nasi. Ibu tersenyum menghampiriku, matanya berbinar.”Ibu mau masak banyak apa?” tanyaku. Belanjaan yang ibu bawa sangat banyak.Ibu masih dengan wajah cerianya mengangguk sambil menggenggam tanganku. ”Tuan Hamiz kan ulang tahun, Alana. Tuan Hamiz udah baik ke kita, apa salahnya kita harus membalasnya?”Mood yang membaik tiba-tiba berkabut. Membalas apanya? Apa ibu seperti orang yang ada di pikiranku?”Bu,” panggilku.Aku ingin memastikan jika ibu tidak seburuk yang ada di pikiranku.”Apa ibu bahagia liat aku hamil anak majikan ibu sendiri?”Ibu membuang muka tak lagi menatapku. Ia justru kembali mendekat ke sayur mayur yang ia beli.”Bu--””Ngomong apa kamu ini,” kilah ibu, menyela ucapanku. ”Mana ada seorang ibu bahagia liat putrinya hamil di luar nikah. Ibu hanya berusaha menerima Hamiz.” Nada bicara ibu meninggi, bahkan tatapannya seperti tak suka.Ibu meninggalkan aku di meja makan sendirian. Ia segera berkutat dengan bahan-bahan yang dibelinya dan dipilah apa saja yang akan dimasukkan ke dalam kulkas. Rasa laparku menguap begitu saja. Lebih baik aku mandi saja untuk menyegarkan badan.Kubuka bajuku satu persatu hingga menyisakan pakaian dalam. Melintasi cermin, aku berlenggok sambil memegangi perut. Perutku belum ada perubahan, hanya pipiku saja yang semakin membesar.”Aku ini hamil bayi atau lemak?” ujarku bermonolog. Aku tersenyum membayangkan betapa lucunya perutku saat membesar nanti. Kupotret pantulanku di cermin dan akan kuulangi memotretnya setiap bulan nanti.Selesai mandi, kubuka lemari baju. Cukup tercengang saat kubuka lemari ini, karena baju lamaku telah hilang entah ke mana. Baju-baju gemerlap nan trendi kini memenuhi isi lemari. Kupilih saja kaos over size dan celana pendek. Mematut diri di cermin, memoles wajah agar lebih segar dipandang.**Seharian ini, selepas mandi, aku justru merasakan pusing luar biasa hingga atap rumah seperti berputar. Kudengar pintu kamar dibuka dan ditutup. Kasur yang kutiduri pun bergerak sedikit. Tuan Hamiz sudah pulang dan tangannya menempel di kening.”Kata ibu, kamu mual-mual terus hari ini. Obat mualnya udah diminum?”Aku hanya menggeleng, tapi rasa mualku kembali menyerang lebih sering dari sebelumnya.”Maaf.”Aku tidak menoleh dan bertanya kenapa Tuan Hamiz meminta maaf, tapi berikutnya, Tuan Hamiz mendekat padaku sampai aku bisa menyentuh kulit tak terbungkus kain.”Tuan!” Aku spontan berteriak. ”Mau apa Tuan sama saya?!””Aku buka baju karena dibajuku bau parfum. Aku nggak ngapa-ngapain, La. Kata kamu, kamu mual bau parfumku.”Tuan Hamiz terkejut saat aku tiba-tiba bangun. Meski aku tidak menyesali apa yang pernah terjadi, tapi tidak jika diulangi. Aku tidak ingin bersama lelaki yang cintanya saja bukan untukku. Kesalahan adalah kesalahan.”Tuan, jangan bersikap semanis ini. Kita hanya menjadi suami istri kurang dari setahun. Kembali pada sikap Tuan sebelumnya, agar ketika saya akan pergi dari Tuan, saya tidak menyesali apa pun,” ucapku lalu pergi sambil meraba tembok untuk menopang tubuh.”Nggak bisa kamu hargai apa yang aku lakuin ke kamu, La? Walau kita hanya jadi suami istri kurang dari setahun, tapi aku tetep suamimu yang sah! Membantahku, berarti dosa bagimu!” bentak Tuan Hamiz.Aku tertawa seraya berbalik badan. ”Jangan berkata perihal dosa, Tuan. Adanya kita sekarang ini pun karena dosa itu.”Tulangku seperti hilang. Aku duduk di lantai yang terasa dingin. Rasa pusingku lebih besar. Suara sepatu pantofel beradu mendekat ke arahku. Badanku terasa melayang. Kubuka mataku, ternyata bertemu dengan mata sendu Tuan Hamiz. Aku dibopong olehnya dan kembali ke kasur.”Tolong, Alana. Jangan keras kepala. Kurang dari setahun kamu bebas dari aku. Tapi aku mohon, perlakukan aku selayaknya suami dan kamu akan aku perlakukan selayaknya seorang istri.” Kubisa merasakan Tuan Hamiz mengambil napas dalam, ”Aku nggak akan menyentuh kamu melebihi batas. Aku janji, Alana.”Tuan Hamiz, apa yang sebenarnya kamu rencanakan untukku? Aku sudah memusnahkan segala inginku untuk berandai-andai. Cinderella tidak ada di dunia nyata. Jangan membuatku terus berharap. Karena setelah wanita memiliki harapan, ia akan kehilangan dirinya.Kupejamkan mata lagi. Otakku berpikir keras, mencoba menentang berbagai logika yang tengah berteriak memaki hati. Akan kuputuskan untuk menjadi apa yang Tuan Hamiz minta.”Oke,” jawabku singkat, menyanggupi. ”Selama kita menikah, saya nggak mau Dania datang ke rumah ini jika Tuan memang menginginkan itu. Lakukan apa yang Tuan mau di luar, asal masuk ke dalam rumah ini kembali menjadi suami saya.”Tuan Hamiz tersenyum. Kedua kali kulihat senyuman tulus sampai matanya sipit hari ini darinya. Detik berikutnya, sebuah tangan melingkari pinggang. Aku menegang, agaknya Tuan Hamiz pun menyadari itu.”Biasain, La.” Tuan Hamiz mengambil napas dan menghembuskan. Seakan dari helaan napasnya terdapat beban besar. ”Aku nggak tau sejak kapan aku ngrasa nyaman deket kamu. Tapi saat aku meluk kamu, apa yang aku lakuin semua terasa benar. Seakan semuanya bakal baik-baik aja. Sebentar aja, La. Biarin aku peluk kamu.”Tiga menit, lima menit berlalu. Tuan Hamiz masih memelukku yang tidak membalas pelukannya. Aku tidak ingin hanyut dalam pelukan ini. Karena jika aku hanyut, lukaku akan kembali berdarah.Tuan Hamiz melepas pelukannya, menatapku dengan mata sayu. Tatapan matanya mengingatkan aku saat malam ia pulang dalam keadaan mabuk. Wajahnya semakin mendekat, aku memalingkan wajah.”Ingat batasanmu, Tuan.””Panggil aku Sayang, bukan Tuan.””Kamu udah wudhu, Sayang? Jangan sentuh aku, ya,” canda Tuan Hamiz.Suamiku ini tampak tampan, menawan. Memakai sarung hitam dan baju muslim berwarna merah marun. Kulitnya yang putih terlihat semakin bersih. Wajahnya masih sedikit basah karena baru mengambil wudhu.Tuan Hamiz sendiri yang bilang akan mengimami aku dan ibu. Hal yang tidak kusangka, Tuan Hamiz bisa melakukannya. Aku tersenyum kaku melihatnya tengah memakai kopiah.”Aku ambil air wudhu dulu,” jawabku sambil berdiri dari ranjang.”Sayang. Aku ambil air wudhu dulu, Sayang,” ralat Tuan Hamiz menatapku dengan alis berkerut.”Aku ambil air wudhu dulu, Mas Hamiz.” Tuan Hamiz tersenyum dan mengiyakan. Tangannya hampir mengusap rambutku, tapi segera kuingatkan jika ia sudah berwudhu.”Gemes denger kamu bilang Mas. Ya udah, Mas tunggu di luar ya.”Tanpa menjawab, aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, ponselku berdering berkedip-kedip menampilkan nomor tak dikenal di layar. Kuabaikan karena ibu dan Tuan Hami
Niko. Dulu Niko pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa padanya. Aku tidak tahu juga, Niko akan menunggu jawaban dariku sampai 9 tahun lamanya.”Selama itu, harusnya kamu tau jawabannya, Nik,” candaku sambil tersenyum. Niko duduk di hadapanku, sedikit berjongkok. ”Aku pengen denger jawaban dari kamu, tapi jangan sekarang. Aku bakal pastiin, kamu bakal ubah jawaban kamu. Kita bakal sering ketemu.””Tapi aku ....””Aku pergi dulu. Dah!”Belum kujawab tuntas jika sudah bersuami, tapi Niko lebih dulu berlalu. Kuberdiri, merasa sudah siang dan pasti Tuan Hamiz sudah pergi ke kantor. Saat hendak menengok ke belakang, Tuan Hamiz tengah berdiri dengan pakaian rapi sambil berkacak pinggang. ”Dari mana aja kamu? Siapa cowok tadi?”Aku menatapnya sekilas, tanpa ada gairah untuk menjawab. Aku melangkah lebar tidak peduli Tuan Hamiz mengekor di belakang. Berkali-kali Tuan Hamiz memanggil sampai lalu lalang orang memandang ke arahnya dan arahku. Aku tetap melanju
Badanku menggigil duduk di depan meja makan, berhadapan dengan wajah garang ibu. Sejak pelarianku dan ibu dari kampung, baru kali ini aku melihat wajah ibu yang semarah ini hingga menamparku. ”Diam dan jangan ungkit-ungkit tentang bapak!” Ibu memandangku tanpa berkedip, nada bicaranya terselip kemarahan. ”Nggak bisakah kamu bahagiain ibu sedikit aja, Alana? Cukup diam di sini, layani Tuan Hamiz jadi istri yang baik. Kamu malah apa? Pengen balik ke kampung? Nanggung malu?”Ibu berdiri, mengitari meja makan. Aku sudah menunduk sambil meringis memegangi pipi. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini oleh ibu.”Urusan Tuan Hamiz di luaran, itu urusannya. Mau dia pacaran sama Dania, atau siapa, ya terserah dia. Yang terpenting kamu dikasih uang bulanan gede, rumah mentereng, nggak miskin.” ”Ibu!” Ucapan ibu sudah kelewatan. Ibu seolah menjelma menjadi orang lain sejak tinggal di rumah ini. Aku tidak bisa membendung tangis. Kasihan anak yang ada di kandunganku, calon ibunya tidak bahagia.”
Tiga hari setelah perawatan, wajahku mulai terlihat berbeda. Aku tersenyum di depan cermin dan berjanji akan memperlakukan diriku dengan lebih baik lagi. Intinya, aku akan galau dalam keadaan cantik. Coba, sudah muka kusut terus galau? Tidak. Aku harus ikut mengimbangi permainan Tuan Hamiz.Ngomong-ngomong soal Tuan Hamiz. Tiga hari lalu saat aku menyatakan perasaan tak resmiku, Tuan Hamiz menjadi aneh. Tidak seperti biasanya yang langsung marah-marah atau menggodaku. Mungkin Tuan Hamiz memang marah karena saldonya berkurang banyak dalam waktu sehari.Kemarin-kemarin, kusengaja melingkarkan tangan di leher Tuan Hamiz. Membisikkan sesuatu di telinganya agar lebih jelas didengar.”Tuan, cintaku bisa slow kalau Tuan mau. Tapi kalo Tuan maksa dicintai secara ugal-ugalan, aku mau saja,” kataku.Ya, sebenarnya aku tidak ingin centil begitu karena jantungku saja seolah berhenti saat bersitatap dengan wajah Tuan Hamiz. ”Baiklah. Cintai aku secara ugal-ugalan, ya, Alana,” sahut Tuan Hamiz.Se
Perutku terasa sangat penuh, tapi Tuan Hamiz terus saja menyuapi mulutku dengan daging sapi slice yang sudah direbus ke dalam kuah kaldu. Aku sudah menghabiskan beberapa jajanan yang Tuan Hamiz bawa ke mari. Kini bagian terakhir aku sedang menikmati shabu-shabu. ”Ini daging terakhir.” Tuan Hamiz menodongkan sumpit beserta daging. Aku menggeleng, melihat daging-daging ini mendadak mual. ”Kenyang, Mas. Kenyang sampe mual.” Bahkan menjawab saja sudah tidak berdaya.Tuan Hamiz tertawa dan mencubit pipiku yang kanan kirinya masih penuh makanan. Lambungku seolah menjerit karena kekenyangan. Ibu melihat kami sambil tersenyum senang. ”Ya udah, ini diminum.” Tuan Hamiz memberikanku ocha dingin. Makanan di mulutku akhirnya mendarat di lambung. Mungkin untuk beberapa hari ke depan aku harus hibernasi karena lambungku sudah penuh. ”Kamu mau nggak aku ajak ke suatu tempat?” tawar Tuan Hamiz.”Aku kayaknya udah susah jalan deh, Mas. Kenyang banget aku.” Wajahku mengiba.Tuan Hamiz mengacak ramb
Sedari tadi malam, aku belum ke luar kamar. Tuan Hamiz pun belum kembali sejak semalam. Aku tidak tahu juga Tuan Hamiz pergi untuk apa dan tidak mau tahu juga. Hanya saja, saat Dania semalam ke mari dan menjambak rambutku. Kulihat Tuan Hamiz langsung menarik Dania dan pergi dengan mobil Dania. Tuan Hamiz tidak mengirimkan pesan. Mungkin sekarang ia tengah menikmati dunianya bersama Dania. Lagi pula, yang Tuan cintai pun adalah Dania, bukan aku. Memikirkan semuanya membuatku lapar, padahal aku kira aku sudah punya cadangan makanan. Kubuka pintu setelah semalaman suntuk di dalam. Ibu yang lagi duduk di sofa langsung menghampiriku. ”Hamiz nggak ngomong apa-apa?” tanya ibu. Aku terus melewati ibu menuju dapur hendak membuat susu dan sereal. Ibu ikut mengekor. Sejak di sini aku pun melihat sisi yang lain dari ibu. Ia menikmati semua ini. Mataku menatapnya melalui ekor mata. Wajah ibu cemas.”Nggak, Bu.””Makanya, kamu harus bisa bikin Hamiz betah di rumah. Kalo diapa-apain itu mau! Jan
Malam ini Tuan Hamiz tidak tidur dengan nyenyak. Beberapa kali Tuan Hamiz terbangun lalu menyelimutiku dan memeluk lagi. Saat pelukannya mulai renggang, ia akan terbangun dan mendekat padaku. Sepanjang malam, peluh dari dahi Tuan Hamiz keluar. Ia pun mengigau-- hampir sesekali merintih. Tuan, sebesar itukah pengaruhku pada dirimu?Aku tidak ingin kita saling membenci jika saatnya perpisahan nanti. Bencilah saat takdir tidak mempertemukan kita saat kita berdua tidak memiliki beban di pundak seperti sekarang. Agaknya semesta pun menguji hubunganmu dengan menghadirkan aku, lalu janin yang kian berkembang ini.Jam terus berdetak angkuh tanpa mengindahkan inginku agar lebih lama denganmu. Waktu itu teramat angkuh, Hamizku Sayang. Waktu terus bergulir dan tidak mau menunggu. Posisiku yang sedang berada di ujung tanduk. Bahkan aku masih membuka mata meski hampir subuh, otakku belum menemukan solusi terbaik untuk kita berdua.Egoiskah aku?Bertanya-tanya, aku mempertanyakan kebenaran tentang
PoV Tuan HamizSaat waktu sialan itu, aku pulang dari club dengan keadaan pusing yang luar biasa. Aku diantar oleh Raka dan Kino. Mereka masih kudengar jelas tertawa kala mengantar sampai teras rumah. Aku masih ingat saat itu, Alana yang membuka pintu dan memapahku ke kamar. Namun belum pula sampai, Raka memanggilnya sedangkan Kino yang beralih membawaku ke dalam.”Mbak, bawain air putih buat Hamiz, ya,” titah Raka saat itu.Air putih itu dibawa ke dalam oleh Alana dan Raka menyuruhku minum setelah Alana pergi. Mulanya hanya rasa pening akibat minum terlalu banyak. Namun ketika air bening itu kuminum, ada rasa yang menjalar di seluruh tubuh. Tubuhku seolah kebas dan panas. ”Mbak! Mbak!” Aku tidak ingat suara siapa yang memanggil Alana, yang jelas teman-temanku yang memanggilnya. Alana tergopoh ke kamar dan mulai membuka sepatuku. ”Mbak, Hamiz muntahin celana, tolong bantu saya bersihin, dia pake celana pendek kok,” ujar temanku. Telingaku masih waras mendengarnya.Cengengesan kedu