Share

7.

”Kamu udah bangun? Aku udah bikinin kamu nasi goreng. Dimakan, ya, Sayang. Ibu sebentar lagi pulang dari pasar. Aku harus ke kantor karena ada beberapa masalah.”

Tangannya mengusap rambut, tapi yang berantakan justru hatiku. Jantungku kembali berulah. Ah! Rasanya aku ingin berteriak.

”Pipi kamu merah,” imbuh Tuan Hamiz sebelum menghilang dari pintu. Bahkan Tuan Hamiz tersenyum sampai matanya menyipit. Aku masih terpaku meski Tuan Hamiz sudah menghilang.

Dari saya ke aku. Ada apa ini? Kenapa sikapnya sangat berbeda, tidak kaku seperti biasanya. Kuraba dada yang berdetak kencang untuk memastikan di dalam sana jantungku tidak mengalami serangan.

Perutku yang kini berulah. Di dalam sana, perutku minta diisi makanan. Teringat nasi goreng hasil masakan Tuan Hamiz membuatku penasaran. Segera saja aku ke luar kamar untuk mencicipi seenak apa buatan Tuan Hamiz.

Kubuka tudung saji dan terlihat nasi goreng dengan dua telur ceplok di atasnya. Di samping piring terdapat catatan kecil bertinta merah.

”Dimakan, ya, istriku.” Kubaca dalam hati, tapi justru suara Tuan Hamiz seakan menggema di telinga. Lagi-lagi jantungku melonjak, sedang pikiranku tengah berteriak agar aku kembali pada logika.

Aku menggeser kursi untuk duduk, mulai menyuapi nasi goreng di depanku. Sejenak kupejamkan mata. Memang bukan nasi goreng terenak yang pernah kumakan, namun menikmati nasi goreng hasil tangan Tuan Hamiz membuatku seperti dikerubungi ribuan kupu-kupu.

Kudengar pintu dibuka lalu ditutup, disusul suara ibu memanggil. Aku menjawabnya kepayahan karena mulut penuh nasi. Ibu tersenyum menghampiriku, matanya berbinar.

”Ibu mau masak banyak apa?” tanyaku. Belanjaan yang ibu bawa sangat banyak.

Ibu masih dengan wajah cerianya mengangguk sambil menggenggam tanganku. ”Tuan Hamiz kan ulang tahun, Alana. Tuan Hamiz udah baik ke kita, apa salahnya kita harus membalasnya?”

Mood yang membaik tiba-tiba berkabut. Membalas apanya? Apa ibu seperti orang yang ada di pikiranku?

”Bu,” panggilku.

Aku ingin memastikan jika ibu tidak seburuk yang ada di pikiranku.

”Apa ibu bahagia liat aku hamil anak majikan ibu sendiri?”

Ibu membuang muka tak lagi menatapku. Ia justru kembali mendekat ke sayur mayur yang ia beli.

”Bu--”

”Ngomong apa kamu ini,” kilah ibu, menyela ucapanku. ”Mana ada seorang ibu bahagia liat putrinya hamil di luar nikah. Ibu hanya berusaha menerima Hamiz.” Nada bicara ibu meninggi, bahkan tatapannya seperti tak suka.

Ibu meninggalkan aku di meja makan sendirian. Ia segera berkutat dengan bahan-bahan yang dibelinya dan dipilah apa saja yang akan dimasukkan ke dalam kulkas. Rasa laparku menguap begitu saja. Lebih baik aku mandi saja untuk menyegarkan badan.

Kubuka bajuku satu persatu hingga menyisakan pakaian dalam. Melintasi cermin, aku berlenggok sambil memegangi perut. Perutku belum ada perubahan, hanya pipiku saja yang semakin membesar.

”Aku ini hamil bayi atau lemak?” ujarku bermonolog. Aku tersenyum membayangkan betapa lucunya perutku saat membesar nanti. Kupotret pantulanku di cermin dan akan kuulangi memotretnya setiap bulan nanti.

Selesai mandi, kubuka lemari baju. Cukup tercengang saat kubuka lemari ini, karena baju lamaku telah hilang entah ke mana. Baju-baju gemerlap nan trendi kini memenuhi isi lemari. Kupilih saja kaos over size dan celana pendek. Mematut diri di cermin, memoles wajah agar lebih segar dipandang.

**

Seharian ini, selepas mandi, aku justru merasakan pusing luar biasa hingga atap rumah seperti berputar. Kudengar pintu kamar dibuka dan ditutup. Kasur yang kutiduri pun bergerak sedikit. Tuan Hamiz sudah pulang dan tangannya menempel di kening.

”Kata ibu, kamu mual-mual terus hari ini. Obat mualnya udah diminum?”

Aku hanya menggeleng, tapi rasa mualku kembali menyerang lebih sering dari sebelumnya.

”Maaf.”

Aku tidak menoleh dan bertanya kenapa Tuan Hamiz meminta maaf, tapi berikutnya, Tuan Hamiz mendekat padaku sampai aku bisa menyentuh kulit tak terbungkus kain.

”Tuan!” Aku spontan berteriak. ”Mau apa Tuan sama saya?!”

”Aku buka baju karena dibajuku bau parfum. Aku nggak ngapa-ngapain, La. Kata kamu, kamu mual bau parfumku.”

Tuan Hamiz terkejut saat aku tiba-tiba bangun. Meski aku tidak menyesali apa yang pernah terjadi, tapi tidak jika diulangi. Aku tidak ingin bersama lelaki yang cintanya saja bukan untukku. Kesalahan adalah kesalahan.

”Tuan, jangan bersikap semanis ini. Kita hanya menjadi suami istri kurang dari setahun. Kembali pada sikap Tuan sebelumnya, agar ketika saya akan pergi dari Tuan, saya tidak menyesali apa pun,” ucapku lalu pergi sambil meraba tembok untuk menopang tubuh.

”Nggak bisa kamu hargai apa yang aku lakuin ke kamu, La? Walau kita hanya jadi suami istri kurang dari setahun, tapi aku tetep suamimu yang sah! Membantahku, berarti dosa bagimu!” bentak Tuan Hamiz.

Aku tertawa seraya berbalik badan. ”Jangan berkata perihal dosa, Tuan. Adanya kita sekarang ini pun karena dosa itu.”

Tulangku seperti hilang. Aku duduk di lantai yang terasa dingin. Rasa pusingku lebih besar. Suara sepatu pantofel beradu mendekat ke arahku. Badanku terasa melayang. Kubuka mataku, ternyata bertemu dengan mata sendu Tuan Hamiz. Aku dibopong olehnya dan kembali ke kasur.

”Tolong, Alana. Jangan keras kepala. Kurang dari setahun kamu bebas dari aku. Tapi aku mohon, perlakukan aku selayaknya suami dan kamu akan aku perlakukan selayaknya seorang istri.” Kubisa merasakan Tuan Hamiz mengambil napas dalam, ”Aku nggak akan menyentuh kamu melebihi batas. Aku janji, Alana.”

Tuan Hamiz, apa yang sebenarnya kamu rencanakan untukku? Aku sudah memusnahkan segala inginku untuk berandai-andai. Cinderella tidak ada di dunia nyata. Jangan membuatku terus berharap. Karena setelah wanita memiliki harapan, ia akan kehilangan dirinya.

Kupejamkan mata lagi. Otakku berpikir keras, mencoba menentang berbagai logika yang tengah berteriak memaki hati. Akan kuputuskan untuk menjadi apa yang Tuan Hamiz minta.

”Oke,” jawabku singkat, menyanggupi. ”Selama kita menikah, saya nggak mau Dania datang ke rumah ini jika Tuan memang menginginkan itu. Lakukan apa yang Tuan mau di luar, asal masuk ke dalam rumah ini kembali menjadi suami saya.”

Tuan Hamiz tersenyum. Kedua kali kulihat senyuman tulus sampai matanya sipit hari ini darinya. Detik berikutnya, sebuah tangan melingkari pinggang. Aku menegang, agaknya Tuan Hamiz pun menyadari itu.

”Biasain, La.” Tuan Hamiz mengambil napas dan menghembuskan. Seakan dari helaan napasnya terdapat beban besar. ”Aku nggak tau sejak kapan aku ngrasa nyaman deket kamu. Tapi saat aku meluk kamu, apa yang aku lakuin semua terasa benar. Seakan semuanya bakal baik-baik aja. Sebentar aja, La. Biarin aku peluk kamu.”

Tiga menit, lima menit berlalu. Tuan Hamiz masih memelukku yang tidak membalas pelukannya. Aku tidak ingin hanyut dalam pelukan ini. Karena jika aku hanyut, lukaku akan kembali berdarah.

Tuan Hamiz melepas pelukannya, menatapku dengan mata sayu. Tatapan matanya mengingatkan aku saat malam ia pulang dalam keadaan mabuk. Wajahnya semakin mendekat, aku memalingkan wajah.

”Ingat batasanmu, Tuan.”

”Panggil aku Sayang, bukan Tuan.”

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Iriani
lanjut ceritax seru dan menantang
goodnovel comment avatar
Rohana
bagus crtnya
goodnovel comment avatar
Sri Yanti
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status