Share

6.

Ternyata untuk berdamai dengan diri sendiri itu sangat sulit. Pertemuan dengan Tuan Hamiz dan berakhirnya aku sekarang hamil anaknya sukar kuterima. Aku tengah duduk menatap jalanan yang basah akibat gerimis. Melihat orang-orang berjingkat menyebrang jalan agar celana dan bajunya tidak terciprat membuatku nyaman.

Orang-orang yang di jalanan setidaknya memiliki tujuan, sedangkan aku? Entah apa tujuanku sejak menjadi ibu hamil di usiaku yang baru 20 tahun. Aku memiliki cita-cita, tapi apa harus kukubur? Aku terlalu malu kembali kuliah karena sebentar lagi perutku tidak bisa disembunyikan.

Apa kata teman-temanku? Ya, agaknya aku terlalu risau dengan pandangan orang terhadapku. Apa yang harus kuceritakan? berawal dari seandainya dan menjadi begini, begitu? Itu memalukan.

Aku memang sedang menenangkan diri di sini, menikmati udara pagi yang dingin sambil meneguk kopi. Keributan yang terjadi di rumah membuatku muak, karena keributan seperti itu akan kembali terulang sampai aku melahirkan nanti.

Tuan Hamiz mengangkat tangan tinggi bukan untuk menamparku, tapi untuk mengusap rambutku yang berantakan. Sedangkan tangannya yang bebas itu menarik Dania sampai Dania ke luar dari kamar, hampir menabrak sofa panjang. Nyonya Sarah menatap Tuan Hamiz bak tidak percaya dengan anaknya mengusir Dania.

”Hamiz, apa yang kamu ....” Ucapan Nyonya Sarah menggantung, matanya menatap anaknya tak berkedip.

Tuan Hamiz melangkah di depan kami semua menuju Dania dan menarik tangannya lagi menuju pintu utama.

”Di rumah ini, saya adalah seorang suami, Dania. Tolong, pergi dari rumah istriku. Masalah ini kita selesaikan nanti.”

Nyonya dan Oma mengerjap tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tuan Hamiz.

”Hamiz! Dia calon mantu Mami!” bentak Nyonya.

Alih-alih mendekati Nyonya, Tuan Hamiz justru membentangkan pintu, melebarkan satu tangannya sambil tersenyum pada Nyonya dan Oma.

”Ma, istriku lagi hamil, jangan ganggu istriku,” ujar Tuan.

”Apa yang udah kamu kasih ke Hamiz, Arumi, sampai anakku berani begini?!”

Ibu hanya diam, tapi Nyonya Sarah melayangkan tatapan benci. Nyonya dan Oma pergi dari rumah ini.

Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu hingga Nyonya Sarah mengatakan seperti itu. Apa yang terjadi dengan Ibuku dan Papa Tuan Hamiz? Saat aku meminta sebuah jawaban, Ibu justru enggan menjawab. Aku memilih pergi saja ke minimarket ini.

”Ibu hamil nggak bagus minum kopi.”

Aku mendongak saat mendengar suara yang sangat kukenal. Tuan Hamiz menggeser kopiku ke depannya dan mengganti susu rasa strawberry.

”Tuan.” Aku memanggilnya tanpa memandang.

”Hm?”

”Kenapa harus nunggu saya melahirkan baru menceraikan saya?” tanyaku. Air mata kembali merebak membayangkan hidupku ke depannya. Kurang setahun, aku akan menyandang status janda.

Tuan Hamiz tidak menjawab. Aku berdiri meraih kopiku tanpa kuambil susu pemberiannya. Aku berlari kecil menembus gerimis untuk kembali ke rumah. Tidak kulihat ke belakang, Tuan Hamiz ikut atau tidak.

”Jangan bayangin sesuatu yang belum terjadi.”

Tuan Hamiz mensejajarkan langkahku. Gerimis yang sebelumnya membasahi, kini tidak lagi. Tuan Hamiz membentangkan payung hitam. Aku berhenti, mencoba melihat wajah Tuan Hamiz tanpa ekspresi berdosa mengatakan itu.

”Apa saya adalah opsi keduamu, Tuan? Jika tidak bersama Dania, Tuan akan ke saya. Begitu?” tanyaku menggebu.

Tuan Hamiz merapikan rambutku, mengusap wajahku yang sedikit basah. ”Jalani saja dulu seperti yang seharusnya.”

Aku memilih mundur sampai gerimisnya kembali membasahi rambut. ”Saya nggak mau kembali berharap atau sekedar berandai. Akan lebih baik kalau Tuan bersikap seperti dulu.”

***

Sesampainya di rumah, aku membantu ibu merapikan seisi rumah. Tidak kuhiraukan Tuan Hamiz yang menenteng handuk kecil sambil memanggil lirih namaku. Aku terus menerus membersihkan kamar tanpa memandangnya Agaknya, Tuan Hamiz justru ikut aku merapikan sprei dan menata bantal. Namun aku tetap diam dan akan aku anggap Tuan Hamiz tidak ada.

Begitu kamar sudah bersih, aku ke luar kamar dan berkutat di dapur. Namun lagi-lagi Tuan Hamiz ikut membantu memotong wortel.

”Biar aku aja,” ucapnya.

Aku tidak membantah, lagi-lagi memilih diam. Ibu datang melihat ke arah kami.

”Biar ibu aja. Alana, Hamiz, kalian duduk aja.”

”Hamiz lagi dicuekin Alana, Bu.” Tuan Hamiz mengadu.

Ibu hanya tersenyum melirikku. ”Alana, Hamiz kan banyak ngebantuin kerjaan rumah. Jangan dicueki.”

Mood setelah hamil membuatku mudah sekali berubah. Bahkan mendengar cara ibu membela Tuan Hamiz mampu membuatku berkaca-kaca. Aku membuka kamar dan mengambil beberapa baju. Malam ini dan seterusnya, akan lebih baik aku benar-benar menjaga jarak dengan Tuan Hamiz. Lebih baik aku tidur di kamar tamu.

Tuan Hamiz berlari dari dapur saat melihatku membawa selimut dan bantal. Ia merebut bawaanku dan menaruh ke sofa panjang. Tidak ada yang ia katakan, hanya diam berdiri di hadapanku.

Daguku diangkat hingga mataku bisa menatap kedua matanya yang bening. Wajahnya tulus, bahkan tatapannya tidak tersirat dusta jika apa yang dilakukannya terpaksa.

”Ibu ke belakang dulu.”

Aku tahu, ibu tengah memberi ruang pada kami berdua. Suara pisau dan talenan sudah tidak terdengar karena ibu benar-benar pergi. Tuan Hamiz menarik tanganku, tapi segera kutepis. Cukup aku berandai-andai. Meski janjinya akan menjadi suami selama aku hamil, menurutku itu bukan keputusan yang baik. Aku takut akan lebih tidak tahu diri karena melambungkan harap.

”Kamu kenapa, Alana?”

Matanya menelisik wajahku. Tangannya bahkan kembali merapikan rambutku yang berantakan.

”Kembali ke sikapmu 2 bulan lalu, Tuan, itu lebih baik,” jawabku sambil balas memandangnya. ”Kasihani saya. Setidaknya rasa pahit yang saya rasa di pernikahan ini membuat saya nggak berharap nantinya. Jangan campuri pahit yang saya alami dengan rasa manis harapan itu. Jangan.”

Aku lagi-lagi terisak di hadapannya yang membeku. Tidak ada pelukan seperti yang kutonton di drama korea saat wanitanya menangis. Tuan Hamiz hanya menghela napas sambil terus memandangi aku yang masih terisak.

”Maaf ....” Tuan Hamiz meraih tanganku dan kembali kutepis. ”Tapi keinginan saya berusaha membuat kamu nyaman bukan semata-mata karena surat perjanjian. Saya hanya merasa, kalau saya mungkin bisa melupakan Dania dengan adanya kamu. Sebelumnya saya nggak berharap banyak, tapi saat saya mendengar detak jantung bayi kita, ada perasaan aneh di sini,” sahutnya sambil mengusap dadanya.

Aku berdiri, kembali mengambil bantal dan selimut yang ia taruh di sofa. Melupakan Dania? Bahkan memutuskan hubungan saja tidak. Untuk mempercayainya? Itu tidak mudah.

”Tuan, kita seperti langit dan bumi. Benar kata nyonya, untuk berandai pun saya tidak pantas. Selamat malam, Tuan Hamiz.”

Kutarik napas dalam, lalu meninggalkan Tuan Hamiz seorang diri di sofa. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Tidak ada lagi harapan atau sekedar berandai. Hidupku sudah rumit dengan adanya bayi ini.

Kutaruh bantal dan selimut di kamar tamu. Mencoba menyalakan AC, namun ternyata tidak menyala. Bahkan lampu pun tidak menyala. Kesal karena sudah terlanjur membuat keputusan. Aku tetap berada di kamar meski dalam keadaan gelap.

Dua jam kuhabiskan waktu untuk melihat layar ponsel. Melihat galeri foto, di mana wajah Tuan Hamiz sangat banyak karena kufoto diam-diam. Saat itu, rasanya seperti remaja yang baru merasakan indahnya jatuh cinta. Mengagumi lawan jenis karena ketampanannya. Namun kini aku terperosok karena si tampan dan kaya raya memang seharusnya milik si cantik nan kaya raya pula.

Dongeng Cinderella membuatku percaya. Dongeng tetaplah dongeng.

Jam menunjukkan pukul tengah malam. Di luar tengah hujan deras. Sesekali kilatan petir menembus jendela. Aku benci gelap dan petir. Kubuka pintu, hampir berteriak karena kukira hantu. Ternyata Tuan Hamiz tidur di depan pintu beralas kasur lantai.

Benarkah ini? Apa ucapannya beberapa hari ini serius? Kupandangi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Tuan Hamiz agaknya lupa mencukur. Namun dari cahaya remang ini, kurasa Tuan Hamiz semakin terlihat lebih tampan.

Apa-apaan? Aku justru memfotonya, padahal puluhan foto Tuan Hamiz di galeri sudah kuhapus beberapa menit lalu. Kini aku benar-benar memekik, karena tangan Tuan Hamiz menarik badanku sampai kepalaku meniduri lengannya yang berotot. Jantungku berulah. Hatiku berhianat. Kedua organku melonjak senang sedangkan mulutku tak hentinya memaki.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status