Ternyata untuk berdamai dengan diri sendiri itu sangat sulit. Pertemuan dengan Tuan Hamiz dan berakhirnya aku sekarang hamil anaknya sukar kuterima. Aku tengah duduk menatap jalanan yang basah akibat gerimis. Melihat orang-orang berjingkat menyebrang jalan agar celana dan bajunya tidak terciprat membuatku nyaman.
Orang-orang yang di jalanan setidaknya memiliki tujuan, sedangkan aku? Entah apa tujuanku sejak menjadi ibu hamil di usiaku yang baru 20 tahun. Aku memiliki cita-cita, tapi apa harus kukubur? Aku terlalu malu kembali kuliah karena sebentar lagi perutku tidak bisa disembunyikan.Apa kata teman-temanku? Ya, agaknya aku terlalu risau dengan pandangan orang terhadapku. Apa yang harus kuceritakan? berawal dari seandainya dan menjadi begini, begitu? Itu memalukan.Aku memang sedang menenangkan diri di sini, menikmati udara pagi yang dingin sambil meneguk kopi. Keributan yang terjadi di rumah membuatku muak, karena keributan seperti itu akan kembali terulang sampai aku melahirkan nanti.Tuan Hamiz mengangkat tangan tinggi bukan untuk menamparku, tapi untuk mengusap rambutku yang berantakan. Sedangkan tangannya yang bebas itu menarik Dania sampai Dania ke luar dari kamar, hampir menabrak sofa panjang. Nyonya Sarah menatap Tuan Hamiz bak tidak percaya dengan anaknya mengusir Dania.”Hamiz, apa yang kamu ....” Ucapan Nyonya Sarah menggantung, matanya menatap anaknya tak berkedip.Tuan Hamiz melangkah di depan kami semua menuju Dania dan menarik tangannya lagi menuju pintu utama.”Di rumah ini, saya adalah seorang suami, Dania. Tolong, pergi dari rumah istriku. Masalah ini kita selesaikan nanti.”Nyonya dan Oma mengerjap tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tuan Hamiz.”Hamiz! Dia calon mantu Mami!” bentak Nyonya.Alih-alih mendekati Nyonya, Tuan Hamiz justru membentangkan pintu, melebarkan satu tangannya sambil tersenyum pada Nyonya dan Oma.”Ma, istriku lagi hamil, jangan ganggu istriku,” ujar Tuan.”Apa yang udah kamu kasih ke Hamiz, Arumi, sampai anakku berani begini?!”Ibu hanya diam, tapi Nyonya Sarah melayangkan tatapan benci. Nyonya dan Oma pergi dari rumah ini.Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu hingga Nyonya Sarah mengatakan seperti itu. Apa yang terjadi dengan Ibuku dan Papa Tuan Hamiz? Saat aku meminta sebuah jawaban, Ibu justru enggan menjawab. Aku memilih pergi saja ke minimarket ini.”Ibu hamil nggak bagus minum kopi.”Aku mendongak saat mendengar suara yang sangat kukenal. Tuan Hamiz menggeser kopiku ke depannya dan mengganti susu rasa strawberry.”Tuan.” Aku memanggilnya tanpa memandang.”Hm?””Kenapa harus nunggu saya melahirkan baru menceraikan saya?” tanyaku. Air mata kembali merebak membayangkan hidupku ke depannya. Kurang setahun, aku akan menyandang status janda.Tuan Hamiz tidak menjawab. Aku berdiri meraih kopiku tanpa kuambil susu pemberiannya. Aku berlari kecil menembus gerimis untuk kembali ke rumah. Tidak kulihat ke belakang, Tuan Hamiz ikut atau tidak.”Jangan bayangin sesuatu yang belum terjadi.”Tuan Hamiz mensejajarkan langkahku. Gerimis yang sebelumnya membasahi, kini tidak lagi. Tuan Hamiz membentangkan payung hitam. Aku berhenti, mencoba melihat wajah Tuan Hamiz tanpa ekspresi berdosa mengatakan itu.”Apa saya adalah opsi keduamu, Tuan? Jika tidak bersama Dania, Tuan akan ke saya. Begitu?” tanyaku menggebu.Tuan Hamiz merapikan rambutku, mengusap wajahku yang sedikit basah. ”Jalani saja dulu seperti yang seharusnya.”Aku memilih mundur sampai gerimisnya kembali membasahi rambut. ”Saya nggak mau kembali berharap atau sekedar berandai. Akan lebih baik kalau Tuan bersikap seperti dulu.”***Sesampainya di rumah, aku membantu ibu merapikan seisi rumah. Tidak kuhiraukan Tuan Hamiz yang menenteng handuk kecil sambil memanggil lirih namaku. Aku terus menerus membersihkan kamar tanpa memandangnya Agaknya, Tuan Hamiz justru ikut aku merapikan sprei dan menata bantal. Namun aku tetap diam dan akan aku anggap Tuan Hamiz tidak ada.Begitu kamar sudah bersih, aku ke luar kamar dan berkutat di dapur. Namun lagi-lagi Tuan Hamiz ikut membantu memotong wortel.”Biar aku aja,” ucapnya.Aku tidak membantah, lagi-lagi memilih diam. Ibu datang melihat ke arah kami.”Biar ibu aja. Alana, Hamiz, kalian duduk aja.””Hamiz lagi dicuekin Alana, Bu.” Tuan Hamiz mengadu.Ibu hanya tersenyum melirikku. ”Alana, Hamiz kan banyak ngebantuin kerjaan rumah. Jangan dicueki.”Mood setelah hamil membuatku mudah sekali berubah. Bahkan mendengar cara ibu membela Tuan Hamiz mampu membuatku berkaca-kaca. Aku membuka kamar dan mengambil beberapa baju. Malam ini dan seterusnya, akan lebih baik aku benar-benar menjaga jarak dengan Tuan Hamiz. Lebih baik aku tidur di kamar tamu.Tuan Hamiz berlari dari dapur saat melihatku membawa selimut dan bantal. Ia merebut bawaanku dan menaruh ke sofa panjang. Tidak ada yang ia katakan, hanya diam berdiri di hadapanku.Daguku diangkat hingga mataku bisa menatap kedua matanya yang bening. Wajahnya tulus, bahkan tatapannya tidak tersirat dusta jika apa yang dilakukannya terpaksa.”Ibu ke belakang dulu.”Aku tahu, ibu tengah memberi ruang pada kami berdua. Suara pisau dan talenan sudah tidak terdengar karena ibu benar-benar pergi. Tuan Hamiz menarik tanganku, tapi segera kutepis. Cukup aku berandai-andai. Meski janjinya akan menjadi suami selama aku hamil, menurutku itu bukan keputusan yang baik. Aku takut akan lebih tidak tahu diri karena melambungkan harap.”Kamu kenapa, Alana?”Matanya menelisik wajahku. Tangannya bahkan kembali merapikan rambutku yang berantakan.”Kembali ke sikapmu 2 bulan lalu, Tuan, itu lebih baik,” jawabku sambil balas memandangnya. ”Kasihani saya. Setidaknya rasa pahit yang saya rasa di pernikahan ini membuat saya nggak berharap nantinya. Jangan campuri pahit yang saya alami dengan rasa manis harapan itu. Jangan.”Aku lagi-lagi terisak di hadapannya yang membeku. Tidak ada pelukan seperti yang kutonton di drama korea saat wanitanya menangis. Tuan Hamiz hanya menghela napas sambil terus memandangi aku yang masih terisak.”Maaf ....” Tuan Hamiz meraih tanganku dan kembali kutepis. ”Tapi keinginan saya berusaha membuat kamu nyaman bukan semata-mata karena surat perjanjian. Saya hanya merasa, kalau saya mungkin bisa melupakan Dania dengan adanya kamu. Sebelumnya saya nggak berharap banyak, tapi saat saya mendengar detak jantung bayi kita, ada perasaan aneh di sini,” sahutnya sambil mengusap dadanya.Aku berdiri, kembali mengambil bantal dan selimut yang ia taruh di sofa. Melupakan Dania? Bahkan memutuskan hubungan saja tidak. Untuk mempercayainya? Itu tidak mudah.”Tuan, kita seperti langit dan bumi. Benar kata nyonya, untuk berandai pun saya tidak pantas. Selamat malam, Tuan Hamiz.”Kutarik napas dalam, lalu meninggalkan Tuan Hamiz seorang diri di sofa. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Tidak ada lagi harapan atau sekedar berandai. Hidupku sudah rumit dengan adanya bayi ini.Kutaruh bantal dan selimut di kamar tamu. Mencoba menyalakan AC, namun ternyata tidak menyala. Bahkan lampu pun tidak menyala. Kesal karena sudah terlanjur membuat keputusan. Aku tetap berada di kamar meski dalam keadaan gelap.Dua jam kuhabiskan waktu untuk melihat layar ponsel. Melihat galeri foto, di mana wajah Tuan Hamiz sangat banyak karena kufoto diam-diam. Saat itu, rasanya seperti remaja yang baru merasakan indahnya jatuh cinta. Mengagumi lawan jenis karena ketampanannya. Namun kini aku terperosok karena si tampan dan kaya raya memang seharusnya milik si cantik nan kaya raya pula.Dongeng Cinderella membuatku percaya. Dongeng tetaplah dongeng.Jam menunjukkan pukul tengah malam. Di luar tengah hujan deras. Sesekali kilatan petir menembus jendela. Aku benci gelap dan petir. Kubuka pintu, hampir berteriak karena kukira hantu. Ternyata Tuan Hamiz tidur di depan pintu beralas kasur lantai.Benarkah ini? Apa ucapannya beberapa hari ini serius? Kupandangi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Tuan Hamiz agaknya lupa mencukur. Namun dari cahaya remang ini, kurasa Tuan Hamiz semakin terlihat lebih tampan.Apa-apaan? Aku justru memfotonya, padahal puluhan foto Tuan Hamiz di galeri sudah kuhapus beberapa menit lalu. Kini aku benar-benar memekik, karena tangan Tuan Hamiz menarik badanku sampai kepalaku meniduri lengannya yang berotot. Jantungku berulah. Hatiku berhianat. Kedua organku melonjak senang sedangkan mulutku tak hentinya memaki.”Kamu udah bangun? Aku udah bikinin kamu nasi goreng. Dimakan, ya, Sayang. Ibu sebentar lagi pulang dari pasar. Aku harus ke kantor karena ada beberapa masalah.”Tangannya mengusap rambut, tapi yang berantakan justru hatiku. Jantungku kembali berulah. Ah! Rasanya aku ingin berteriak.”Pipi kamu merah,” imbuh Tuan Hamiz sebelum menghilang dari pintu. Bahkan Tuan Hamiz tersenyum sampai matanya menyipit. Aku masih terpaku meski Tuan Hamiz sudah menghilang.Dari saya ke aku. Ada apa ini? Kenapa sikapnya sangat berbeda, tidak kaku seperti biasanya. Kuraba dada yang berdetak kencang untuk memastikan di dalam sana jantungku tidak mengalami serangan. Perutku yang kini berulah. Di dalam sana, perutku minta diisi makanan. Teringat nasi goreng hasil masakan Tuan Hamiz membuatku penasaran. Segera saja aku ke luar kamar untuk mencicipi seenak apa buatan Tuan Hamiz.Kubuka tudung saji dan terlihat nasi goreng dengan dua telur ceplok di atasnya. Di samping piring terdapat catatan kecil bertinta mera
”Kamu udah wudhu, Sayang? Jangan sentuh aku, ya,” canda Tuan Hamiz.Suamiku ini tampak tampan, menawan. Memakai sarung hitam dan baju muslim berwarna merah marun. Kulitnya yang putih terlihat semakin bersih. Wajahnya masih sedikit basah karena baru mengambil wudhu.Tuan Hamiz sendiri yang bilang akan mengimami aku dan ibu. Hal yang tidak kusangka, Tuan Hamiz bisa melakukannya. Aku tersenyum kaku melihatnya tengah memakai kopiah.”Aku ambil air wudhu dulu,” jawabku sambil berdiri dari ranjang.”Sayang. Aku ambil air wudhu dulu, Sayang,” ralat Tuan Hamiz menatapku dengan alis berkerut.”Aku ambil air wudhu dulu, Mas Hamiz.” Tuan Hamiz tersenyum dan mengiyakan. Tangannya hampir mengusap rambutku, tapi segera kuingatkan jika ia sudah berwudhu.”Gemes denger kamu bilang Mas. Ya udah, Mas tunggu di luar ya.”Tanpa menjawab, aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, ponselku berdering berkedip-kedip menampilkan nomor tak dikenal di layar. Kuabaikan karena ibu dan Tuan Hami
Niko. Dulu Niko pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa padanya. Aku tidak tahu juga, Niko akan menunggu jawaban dariku sampai 9 tahun lamanya.”Selama itu, harusnya kamu tau jawabannya, Nik,” candaku sambil tersenyum. Niko duduk di hadapanku, sedikit berjongkok. ”Aku pengen denger jawaban dari kamu, tapi jangan sekarang. Aku bakal pastiin, kamu bakal ubah jawaban kamu. Kita bakal sering ketemu.””Tapi aku ....””Aku pergi dulu. Dah!”Belum kujawab tuntas jika sudah bersuami, tapi Niko lebih dulu berlalu. Kuberdiri, merasa sudah siang dan pasti Tuan Hamiz sudah pergi ke kantor. Saat hendak menengok ke belakang, Tuan Hamiz tengah berdiri dengan pakaian rapi sambil berkacak pinggang. ”Dari mana aja kamu? Siapa cowok tadi?”Aku menatapnya sekilas, tanpa ada gairah untuk menjawab. Aku melangkah lebar tidak peduli Tuan Hamiz mengekor di belakang. Berkali-kali Tuan Hamiz memanggil sampai lalu lalang orang memandang ke arahnya dan arahku. Aku tetap melanju
Badanku menggigil duduk di depan meja makan, berhadapan dengan wajah garang ibu. Sejak pelarianku dan ibu dari kampung, baru kali ini aku melihat wajah ibu yang semarah ini hingga menamparku. ”Diam dan jangan ungkit-ungkit tentang bapak!” Ibu memandangku tanpa berkedip, nada bicaranya terselip kemarahan. ”Nggak bisakah kamu bahagiain ibu sedikit aja, Alana? Cukup diam di sini, layani Tuan Hamiz jadi istri yang baik. Kamu malah apa? Pengen balik ke kampung? Nanggung malu?”Ibu berdiri, mengitari meja makan. Aku sudah menunduk sambil meringis memegangi pipi. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini oleh ibu.”Urusan Tuan Hamiz di luaran, itu urusannya. Mau dia pacaran sama Dania, atau siapa, ya terserah dia. Yang terpenting kamu dikasih uang bulanan gede, rumah mentereng, nggak miskin.” ”Ibu!” Ucapan ibu sudah kelewatan. Ibu seolah menjelma menjadi orang lain sejak tinggal di rumah ini. Aku tidak bisa membendung tangis. Kasihan anak yang ada di kandunganku, calon ibunya tidak bahagia.”
Tiga hari setelah perawatan, wajahku mulai terlihat berbeda. Aku tersenyum di depan cermin dan berjanji akan memperlakukan diriku dengan lebih baik lagi. Intinya, aku akan galau dalam keadaan cantik. Coba, sudah muka kusut terus galau? Tidak. Aku harus ikut mengimbangi permainan Tuan Hamiz.Ngomong-ngomong soal Tuan Hamiz. Tiga hari lalu saat aku menyatakan perasaan tak resmiku, Tuan Hamiz menjadi aneh. Tidak seperti biasanya yang langsung marah-marah atau menggodaku. Mungkin Tuan Hamiz memang marah karena saldonya berkurang banyak dalam waktu sehari.Kemarin-kemarin, kusengaja melingkarkan tangan di leher Tuan Hamiz. Membisikkan sesuatu di telinganya agar lebih jelas didengar.”Tuan, cintaku bisa slow kalau Tuan mau. Tapi kalo Tuan maksa dicintai secara ugal-ugalan, aku mau saja,” kataku.Ya, sebenarnya aku tidak ingin centil begitu karena jantungku saja seolah berhenti saat bersitatap dengan wajah Tuan Hamiz. ”Baiklah. Cintai aku secara ugal-ugalan, ya, Alana,” sahut Tuan Hamiz.Se
Perutku terasa sangat penuh, tapi Tuan Hamiz terus saja menyuapi mulutku dengan daging sapi slice yang sudah direbus ke dalam kuah kaldu. Aku sudah menghabiskan beberapa jajanan yang Tuan Hamiz bawa ke mari. Kini bagian terakhir aku sedang menikmati shabu-shabu. ”Ini daging terakhir.” Tuan Hamiz menodongkan sumpit beserta daging. Aku menggeleng, melihat daging-daging ini mendadak mual. ”Kenyang, Mas. Kenyang sampe mual.” Bahkan menjawab saja sudah tidak berdaya.Tuan Hamiz tertawa dan mencubit pipiku yang kanan kirinya masih penuh makanan. Lambungku seolah menjerit karena kekenyangan. Ibu melihat kami sambil tersenyum senang. ”Ya udah, ini diminum.” Tuan Hamiz memberikanku ocha dingin. Makanan di mulutku akhirnya mendarat di lambung. Mungkin untuk beberapa hari ke depan aku harus hibernasi karena lambungku sudah penuh. ”Kamu mau nggak aku ajak ke suatu tempat?” tawar Tuan Hamiz.”Aku kayaknya udah susah jalan deh, Mas. Kenyang banget aku.” Wajahku mengiba.Tuan Hamiz mengacak ramb
Sedari tadi malam, aku belum ke luar kamar. Tuan Hamiz pun belum kembali sejak semalam. Aku tidak tahu juga Tuan Hamiz pergi untuk apa dan tidak mau tahu juga. Hanya saja, saat Dania semalam ke mari dan menjambak rambutku. Kulihat Tuan Hamiz langsung menarik Dania dan pergi dengan mobil Dania. Tuan Hamiz tidak mengirimkan pesan. Mungkin sekarang ia tengah menikmati dunianya bersama Dania. Lagi pula, yang Tuan cintai pun adalah Dania, bukan aku. Memikirkan semuanya membuatku lapar, padahal aku kira aku sudah punya cadangan makanan. Kubuka pintu setelah semalaman suntuk di dalam. Ibu yang lagi duduk di sofa langsung menghampiriku. ”Hamiz nggak ngomong apa-apa?” tanya ibu. Aku terus melewati ibu menuju dapur hendak membuat susu dan sereal. Ibu ikut mengekor. Sejak di sini aku pun melihat sisi yang lain dari ibu. Ia menikmati semua ini. Mataku menatapnya melalui ekor mata. Wajah ibu cemas.”Nggak, Bu.””Makanya, kamu harus bisa bikin Hamiz betah di rumah. Kalo diapa-apain itu mau! Jan
Malam ini Tuan Hamiz tidak tidur dengan nyenyak. Beberapa kali Tuan Hamiz terbangun lalu menyelimutiku dan memeluk lagi. Saat pelukannya mulai renggang, ia akan terbangun dan mendekat padaku. Sepanjang malam, peluh dari dahi Tuan Hamiz keluar. Ia pun mengigau-- hampir sesekali merintih. Tuan, sebesar itukah pengaruhku pada dirimu?Aku tidak ingin kita saling membenci jika saatnya perpisahan nanti. Bencilah saat takdir tidak mempertemukan kita saat kita berdua tidak memiliki beban di pundak seperti sekarang. Agaknya semesta pun menguji hubunganmu dengan menghadirkan aku, lalu janin yang kian berkembang ini.Jam terus berdetak angkuh tanpa mengindahkan inginku agar lebih lama denganmu. Waktu itu teramat angkuh, Hamizku Sayang. Waktu terus bergulir dan tidak mau menunggu. Posisiku yang sedang berada di ujung tanduk. Bahkan aku masih membuka mata meski hampir subuh, otakku belum menemukan solusi terbaik untuk kita berdua.Egoiskah aku?Bertanya-tanya, aku mempertanyakan kebenaran tentang