Home / Romansa / Bukan Cinta Buta / 1. Diriku yang Terkurung dalam Cangkang

Share

Bukan Cinta Buta
Bukan Cinta Buta
Author: Nandreans

1. Diriku yang Terkurung dalam Cangkang

Author: Nandreans
last update Last Updated: 2022-03-14 12:30:26

Menikah?

Aku tidak hanya bisa tercengang saat mendengar kalimat mengerikan itu keluar dari mulut pria bersetelan hitam yang kini duduk di seberang meja. Dia menatapku menggunakan matanya yang tajam dan mengerikan, seolah-olah semua yang ada di dunia bisa dia kendalikan hanya dengan tatapan tersebut, meskipun secara teknis dia benar-benar bisa mengendalikan seluruh isi dunia, tapi bukan dengan tatapan melainkan uang dan kekuasaan yang dia miliki.

Hidupku seharusnya masih berjalan normal sekarang, setidaknya aku tak pernah memikirkan hal buruk sebelumnya. Karena selama dua puluh tahun terakhir, lebih tepatnya sejak Ruben membawaku keluar dari kompleks penuh lendir tempat kami dilahirkan, aku dan kakakku itu sudah mencoba melupakan segala mimpi buruk kami. Memulai kehidupan sebagai sepasang kakak beradik yang normal –dalam tanda kutip.

Ruben bekerja, aku bersekolah.

Meskipun tidak lulus dari pendidikan menengah, paling tidak Ruben bisa mencari nafkah dengan menjual jasa reparasi. Awalnya tentu semua tidak semudah itu. Dia bekerja dari satu bengkel kecil ke bengkel lainnya. Mempelajari ilmu permesinan dan entah karena Tuhan sudah terlalu kasihan pada nasib malang kami atau bagaimana, Ruben mendapatkan beasiswa. Bantuan dari seorang pemilik bengkel baik hati yang kami sebut sebagai Paman Baik Hati, nama aslinya Pak Rudi.

Dengan bekal pendidikan kejar paket dan ijazah dari universitas, Ruben bisa membuat kehidupan kami berubah. Dia bahkan berhasil mendapat pekerjaan jauh lebih layak di pelabuhan, di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. Dengan uang itu kami bisa menyewa tempat tinggal lebih layak, membeli sepeda motor bekas –yang bisa aku gunakan berangkat ke kampus. Untuk kuliah, aku memutuskan mengejar beasiswa.

Aku tidak mau menjadi beban bagi kakakku. Hidup kami sudah keras. Ruben sudah terlalu banyak menderita, tak seharusnya aku menambah penderitaannya, meskipun sebagai kakak, Ruben sangat keras kepala.

“Jangan terima pekerjaan itu. Tidak ada yang tahu apakah itu penipuan atau bukan.” Ruben selalu mencemaskanku melebihi siapa pun, termasuk dirinya sendiri.

“Sudahlah, Kak. Jangan terlalu banyak memikirkan hal negatif.” Aku merengek, membujuknya sejak seminggu lalu tetapi tampaknya, bahkan hingga pagi itu belum berhasil. “Di sana ada pacarnya Alicia. Mana mungkin Alicia mau membahayakanku?”

Ruben tidak menanggapi. Dia memakan nasi goreng yang aku masak sepenuh hati di atas meja makan kecil di dapur mungil kami dengan nikmat, kemudian keluar dari rumah tanpa melupakan kotak makan siang yang sudah kusiapkan sebelumnya. Lalu, dengan tergesa-gesa aku menyusulnya.

Kami berangkat bersama menggunakan sepeda motor biru kesayangannya. Dia mengantarku hingga ke depan hotel tempatku bekerja, memperingatiku untuk tidak menerima tawaran pindah kerja dari Alicia, kemudian melanjutkan perjalanan.

Tak lupa, aku mencium tangannya. Dia mengusap kepalaku. Dan kami bertukar lambaian tangan seperti biasa. Tidak ada yang berbeda. Semua tetap sama seperti pagi-pagi sebelumnya.

Aku bekerja, membereskan kamar-kamar hotel untuk digunakan kembali. Mengantar pelanggan ke kamar yang sudah rapi. Benar-benar normal tanpa firasat apa pun sampai sebuah pesan masuk ke gawaiku. Sebuah pesan yang akan mengubah hidupku.

“Kakakmu kecelakaan.” Suta, sahabat sekaligus rekan kerja Ruben meneleponku. Dia panik, menangis dan ..., aku ambruk.

Aku terbangun di klinik hotel beberapa menit kemudian. Di bantu Alicia dan Doni, aku berangkat ke rumah sakit. Sepanjang jalan aku menangis, mencemaskan Ruben. Tapi untungnya, dia masih bisa tersenyum saat aku tiba.

Ruben baik-baik saja. Walau tampaknya kata baik-baik saja terlalu bagus karena tangan kakakku terbakar. Tangan kanan Ruben terkena luka bakar. Tapi itu jauh lebih baik ketimbang yang aku bayangkan.

“Sudahlah, tidak usah menangis!” katanya saat aku memeluknya. “Aku akan segera sembuh. Maaf karena aku membuatku cemas.”

Mana bisa?

Mana bisa aku tidak menangisinya?

Ruben satu-satunya keluargaku. Dia kakakku. Dan aku sangat mencintainya melebihi segala yang ada di dunia –melebihi Robin, pacarku. Ruben orang tua bagiku dan aku tak bisa membayangkan hidup tanpanya.

Nandreans

Maaf banget tapi akhirnya bisa update lagi. Ini akan menjadi cerita yang agak berbeda tapi aku jamin bikin kalian puas.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Cinta Buta   Bagaimana?

    Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben

  • Bukan Cinta Buta   Viviane Tahu?

    "Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T

  • Bukan Cinta Buta   Kenapa?

    "Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali

  • Bukan Cinta Buta   Ini Istri Saya

    "Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya

  • Bukan Cinta Buta   Hiburan

    "Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a

  • Bukan Cinta Buta   Putus

    Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status