“Jadi, wanita di dalam adalah istrimu?”
Ruben menjawab pertanyaan Siswo, teman lamanya dengan anggukan. “Aku tidak menyangka kamu sekarang bisa sesukses ini. Pakaianmu seperti orang penting saja. Sudah kaya kau sekarang? Padahal dulu kita sama-sama susah. Tapi sepertinya, tinggal aku saja yang masih susah.”
“Sama saja, aku hanya beruntung.” Pria berkumis tebal itu menjawab, meski dari nada bicaranya masih menyombongkan diri. “Omong-omong, sekali lagi aku minta maaf karena sudah menabrak istrimu.”
“Tidak masalah. Dia memang begitu. Harusnya, malah aku yang meminta maaf padamu karena istriku sudah mengganggu perjalananmu.”
Kedua pria itu kompak melirik ke dalam ruangan, lebih tepatnya ke arah ranjang Paramita berada.
“Dia anak perempuanmu?”
Ruben mengangguk, bangga. “Benar.”
“Cantik.”
“Siapa dulu bapaknya?” Ruben tertawa.
“Bisa saja kau. Berapa usianya?”
“Dua puluh lima tahun.”
“Masih kuliah? Atau sudah bekerja?”
“Itulah yang ingin kuminta padamu,” jawab Ruben memelas. “Kiranya kau ada pekerjaan, tolong berilah anakku pekerjaan. Keluarga kami sangat butuh pemasukan kau, tahu? Biaya pengobatan istriku ..., gangguan jiwanya cukup parah. Belum lagi anak-anakku yang lain masih kecil dan butuh uang sekolah.”
“Berhubung kau teman baikku dan dulu selalu membantuku, akan kulihat lagi. Bila ada pekerjaan, akan kuhubungi.” Siswo merogoh kantong celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada kawannya itu. “Terimalah.”
“Apa ini?”
“Anggap saja sebagai uang permintaan maaf karena aku sudah membuat istrimu cedera.”
“Tidak usah repot-repot, Siswo.”
“Terimalah saja. Aku akan sangat senang jika bisa membantu.”
*_*
“Kan gue sudah pernah bilang, lebih baik bawa saja nyokap lo ke rumah sakit jiwa! Lo sih, susah banget diomongin! Kalau sudah begini, bagaimana? Kita juga yang susah! Untung sama nyokap lo nggak kenapa-kenapa, dan yang nabrak mau tanggung jawab, kalau nggak? Uang apa buat bayar rumah sakit?”
Tami memilih tidak menanggapi ocehan ayahnya. Dia menuntun Paramita masuk ke kamar, lalu membaringkan perempuan paruh baya itu ke atas kasur tanpa ranjang di kamar penuh aroma apak di rumah sempit mereka, hunian sederhana warisan dari ayah sang ibu, satu-satunya harta yang mereka punya itu.
“Tami, mau ke mana?” Tangan Paramita mencegah, menyentuh lengan Tami sebelum gadis itu pergi.
“Aku harus balik ke toko roti, Bu. Harus kerja,” jawab Tami selembut mungkin, memberi sang bunda pemahaman.
Namun, seperti biasa Paramita yang kejiawaannya kurang sehat itu malah menangis. “Sini saja. Ibu nggak mau sendirian. Tami temani Ibu.”
“Bu, aku nggak bisa,” jawab Tami meski berat hati. “Aku harus cari makan buat kita. Buat Ibu. Memangnya Ibu mau nggak bisa makan? Nanti kelaparan lho.”
“Kan bisa minta roti ke kakak yang tadi kayak di rumah sakit.”
“Nggak bisa dong. Nggak boleh minta-minta.” Tami mengusap kepala Paramita lembut, penuh kasih sayang. “Tami pamit ya. Ibu baik-baik sama Bapak. Jangan kabur lagi, nanti tangannya yang ini,” dia menunjuk tangan kanan Paramita yang tidak luka, “ikut sakit lho. Ibu nggak mau kan kedua tangannya sakit?”
Paramita menggeleng, cepat. “Nggak. Ibu nggak mau.”
“Aku pamit ya.”
Tidak lupa, Tami mencium punggung tangan Paramita. Meminta restu. Karena bagaimanapun juga, seburuk apa pun kondisi ibunya, Paramita tetaplah wanita yang melahirkannya. Wanita yang bertaruh nyawa demi dirinya. Restunya penting bagi Tami.
Kehidupan semacam ini sudah pasti sangat berat, bahkan untuk Tami sendiri –yang telah cukup lama beradaptasi. Terlebih sebelum seperti ini, Paramita dikenal sebagai sosok ibu yang sangat penyayang, baik dan pengertian. Malah, Paramita adalah orang yang mendidik Tami dan adik-adiknya untuk tak menjadi peminta-minta.
“Bekerjalah,” kata Paramita, dulu ketika yang Tami masih kecil menemaninya menjajakan dagangan di pasar, aneka kue tradisional yang Paramita buat sendiri setiap pagi. “Pantang anak Ibu makan dari mengemis.”
*_*
“Hampir tiga jam.” Ajeng mengultimatum saat Tami sampai di toko. “Ini terakhir kalinya, atau lo akan gue pecat.”
Tami menunduk, mengangguk lalu dengan cepat kembali ke balik etalase. Tidak lupa, dia mengenakan celemek miliknya, bersiap melayani pelanggan yang datang dengan seramah mungkin.
“Halo, selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau pesan apa, Kak?” katanya pada dua pelanggan paruh baya yang datang beberapa menit kemudian.
Salah satu dari wanita itu menunjuk kue cokelat bertabur strawberry di etalase, sementara yang lain minta diambilkan kue keju yang gurih. Yang tanpa pikir panjang segera Tami siapkan. “Totalnya seratus empat puluh ribu, Kak.”
Salah satu wanita itu memberikan dua lembar uang seratus ribuan, yang begitu hendak Tami berikan kembalian langsung mencegah, “Untuk Mbak saja.”
“Terima kasih, Bu.” Tami tersenyum, senang. “Sekali lagi, terima kasih banyak.”
Meskipun mungkin tidak seberapa, tetapi untuk Tami uang enam puluh ribu lebih dari segalanya. Dengan uang segitu, dia bisa membeli makan keluarganya selama sehari. Belum lagi uang SPP adik-adiknya. Tami tidak punya kesempatan selain bekerja lebih keras setiap harinya. Berharap belas kasih Tuhan.
*_*
“Kenapa ya Tuhan nggak adil banget, Sal?” tanya Tami ketika dia dan Salma, sahabatnya, yang juga bekerja di toko roti Mbak Ajeng di jam makan siang. Keduanya duduk berdua, menikmati bekal sederhana di teras belakang. “Hidup kita kayaknya berat banget.”
“Memang lo pikir keadilan itu ada?” kekeh Salma, meledek. “Di dunia yang sesemrawut ini, percaya pada keadilan itu sama saja kayak percaya alien bakal turun ke Bumi.”
“Bukannya ada?”
“Di film? Yang settingnya selalu di Amerika itu?”
“Anying lah.” Tami memakan sambal tempe di dalam kotak bekalnya lahap, sebab tubuhnya gemetaran menahan lapar sedari tadi. “Kalau itu sih gue mending masih percaya alien kali, Sal.”
“Makanya, hidup jangan dibuat banyak membatin hal nggak perlu. Keadilan itu cuma untuk orang kaya, orang miskin kayak kita ini cocoknya ngomongin yang pasti-pasti saja. Lagian, ngomongin yang pasti saja belum tentu bisa dapat, apalagi yang nggak pasti? Iya, nggak?”
Tami tertawa, semakin keras.
Salma benar, kemiskinan sudah cukup menyedihkan. Mereka sebaiknya tak buang waktu untuk meratapinya.
Terima kasih sudah membaca
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu