“Saya sudah menduga sebelumnya. Ini sesuai prediksi. Padahal sudah sejak dua bulan lalu kami mengirimkan peringatan, tetapi tidak ada tindakan.”
Malam itu aku mendengar obrolan Ruben dengan teman-temannya yang datang membesuk. Mereka membawakan Ruben makanan, juga uang tambahan untuk biaya pengobatan. Solidaritas antar pekerja.
“Pak Roy harusnya bertanggung jawab atas insiden ini,” kata teman Ruben yang berkepala pelontos, yang kemudian aku ketahui bernama Pak Budi. “Tapi sepertinya dia akan cuci tangan. Mana mungkin dia mau disalahkan?”
“Kamu benar.” Pria lain yang lebih kurus, yang juga merupakan orang pertama yang mengabariku, menyahut. “Pak Roy mengorbankan kita untuk keuntungan pribadinya. Dia pasti memakan uang perbaikan mesin untuk dirinya sendiri.”
Aku sudah sering mendengar nama Roy Ahmadi disebut dalam obrolan Ruben dan teman-temannya, jauh sebelum hari naas ini terjadi. Atasan mereka tersebut memang dikenal korup. Akan tetapi, sama seperti kebanyakan koruptor lain di dunia yang bisa mencari berbagai cara menghancurkan orang lain yang lebih tidak berdaya, Roy menumbalkan Ruben dan teman-temannya.
Biadab!
Alih-alih mengganti rugi, mereka memasukkan kakakku ke penjara. Menyeretnya paksa di tengah pengobatan atas dugaan kelalaian.
Tidak peduli sekeras apa kakakku menyangkal dan memberi pernyataan, mereka terus menyangkal. Malah, kini Ruben dipenjara. Dijatuhi vonis delapan tahun penjara, bersama dua temannya yang divonis lebih ringan, lima tahun. Dan mereka masih harus membayar denda.
“Dua milyar?” Mataku nyaris copot saat membaca pernyataan tersebut. “Uang dari mana? Kami bekerja seumur hidup lima generasi pun tak akan bisa membayarnya.”
Pengacara kami, Pak Suseno hanya bisa tersenyum pedih. “Kita sudah berusaha. Kalau mau banding pun, perusahaan akan semakin menekan. Mereka punya orang yang melindungi mereka.”
“Oh Tuhan.” Aku tidak pernah berdoa, tapi kali itu aku benar-benar butuh Tuhan. “Kalau hukum tidak bisa memberi keadilan, biar aku yang menghukum mereka dengan caraku sendiri.”
“Jangan gila, Tami. Kau bisa mendapat masalah lebih besar. Jangan membuat kakakmu semakin hancur karena kelakuanmu.”
Sayangnya, aku bukan adik seperti itu. Aku bukan orang yang bisa dibujuk hanya dengan ancaman seperti itu. Karena aku tahu, hidup kakakku dipertaruhkan sekarang.
Maka, dengan modal nekat, aku dan Alicia mempersiapkan demonstrasi. Kami menyerang akun media sosial perusahaan, PT DVT Prima, dengan komentar pedas di internet, membeberkan segala fakta yang sialnya, entah kekuatan apa yang mereka lakukan, tidak berhasil. Mereka membungkam. Malah, kami yang menjadi bulan-bulanan.
Tak berhenti di sana, kami turun ke jalan. Kami melakukan demo langsung di pelabuhan, tempat kakakku bekerja.
Berhari-hari? Berminggu-minggu? Tidak! Kami melakukannya berbulan-bulan. Tanpa lelah dan tanpa kata menyerah. Tak peduli seberapa banyak serangan yang kami dapatkan. Intimidasi sudah jadi makanan sehari-hari. Namun demi nama baik, kehormatan –dan uang, tentu saja –keluarga kami, aku tak keberatan melakukan semua ini.
Terkadang, bila sedang libur Robin juga akan datang untuk mengibarkan bendera kemarahan bersamaku di sana, di seberang jalan kantor yang selama ini telah menjadi tempat kakakku mengabdi. Dan atas semua kerja keras yang Ruben berikan, dengan gaji yang terlalu kecil itu, bagaimana mungkin mereka memperlakukan pegawai teladan seperti Ruben seperti ini?
Tak bisa dipercaya.
Aku tahu semua orang menertawakan kami, mengolok aksiku dan menganggap aku gila. Terlebih selama berbulan-bulan itu juga, tidak sekalipun aksi tersebut mendapat perhatian. Tapi siapa yang peduli? Aku berjuang demi kakakku yang sedang ditahan.
Tanpa Ruben, aku tidak bisa apa-apa. Tanpa jasanya yang mengeluarkan aku dari neraka dua puluh tahun lalu, aku tak akan bisa punya kehidupan layak seperti sekarang. Dan sekarang adalah waktuku membalas budi padanya.
“Kalian semua orang jahat! Kalian harus membayar akibatnya! Kalian semua orang kaya yang zalim!”
Aku akan berteriak sekuat tenaga saat mobil-mobil mewah keluar masuk ke sana, berharap salah satunya adalah bos mereka.
“Temui aku bila kalian berani! Sialan!”
Kadang, aku akan mengejar. Menggedor-gedor kaca mobil, melemparkan sepatu dan aksi gila lainnya. Toh, tanpa atau dengan aksiku, mereka tetap memenjarakan kakakku kan? Mereka tetap berlaku zalim pada kakakku.
Terima kasih sudah membaca
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu