Seorang wanita muda keluar dari mobilnya dengan langkah terburu-buru. Di tangannya, terdapat tas mewah mungil berwarna merah darah yang senada dengan baju serta sepatunya. Akan tetapi, alih-alih norak busana itu justru sangat pas membalut dirinya, membuat penampilannya begitu elegan dan berkelas.
“Kamu nggak bisa melakukan semua ini padaku, Juna!” Dia terteriak begitu memasuki sebuah ruangan, tempat seorang pria muda duduk di balik meja dengan laptop dan beberapa tumpuk dokumen di atas meja.
Yang diajak bicara hanya menoleh sebentar, lalu meminta waktu untuk menyelesaikan tugasnya. “Duduklah dulu, aku masih harus mengecek beberapa laporan dari bawahanku.”
Meski kesal, Viviane menurut. Dia mendudukkan bokongnya ke sofa panjang berwarna putih di tengah ruangan, sementara matanya yang bersembunyi di balik kacamata menatap kekasihnya itu tajam. “Kenapa? Kenapa kamu tega padaku, Jun?” katanya berat, tidak tahan. “Padahal kamu tahu aku sangat mencintaimu. Dan kamu pun mencintaiku, bukan?”
Arjuna berhenti sejenak, tetapi dia tidak menoleh dan masih setia pada layar komputer jinjingnya itu.
“Juna, jawab aku!” bentak Viviane, menahan tangis. “Harusnya kamu bilang pada mereka, katakan bahwa kamu yang akan menikahiku dan bukan Anjasmara.”
Namun, Arjuna bergeming.
“Kamu masih sayang padaku, kan?” Viviane menggebrak meja, memaksa kekasihnya mau tak mau mengangkat kepala, menoleh padanya. Dan begitu mata mereka bertemu, dia menodong tanya, “Arjuna, jawab aku! Jangan diam saja!”
Arjuna menghela napas panjang, melepaskan kacamata yang nangkring di hidung mancungnya, lalu menghampiri Viviane. “Aku harap kau mengerti.”
“Jadi, kamu mau kita putus?” Air muka Viviane memucat, kecewa.
Dan Arjuna kembali menjawab, “Bukankah sudah jelas?”
“Kenapa?”
“Karena kau akan menikah dengan adikku, bukankah itu cukup jelas?”
“Tapi –aku tidak mencintainya.”
“Dia mencintaimu,” tegas Arjuna. “Dan keluarga kita menginginkan itu. Ayahmu, ibumu dan keluargaku. Mereka menginginkan itu.”
“Kenapa bukan kau saja?”
“Karena aku bukan anak kandung mereka, kau lupa?”
“Jadi, kau mengorbankan aku untuk ..., rasa hutang budimu pada keluarga Tanudjaya?”
Arjuna kembali menjawab dengan jawaban yang sama, “Bukankah sudah cukup jelas?”
“Ya Tuhan, ini tidak adil!” rengek Viviane. “Aku mencintaimu, Jun. Kau yang aku cintai. Dunia tahu itu. Kau juga mencintaiku, bukan?” Dia mendesak, mencengkeram lengan kekasihnya kuat.
Namun, kali itu Arjuna malah menggeleng. “Itu dulu.”
“Dulu?” Kening Viviane mengerut, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Kau bilang apa? Dulu?”
“Ya, Vi.” Suara Arjuna penuh penekanan. “Aku dulu memang mencintaimu tapi tidak sekarang.”
“Jangan bercanda, Sayang!” Dia bersiap menyentuh wajah Arjuna, tetapi segera mendapat tolakan. “Jun?”
“Maaf, Viviane. Sayangnya, aku sudah mencintai wanita lain.”
“Bohong!”
“Aku serius.”
“Ini tidak lucu, Juna.”
“Karena memang tak ada yang melucu, Vi.” Arjuna kembali menarik napas panjang. “Sekarang lebih baik kau pulang. Aku harus bekerja.”
*_*
Viviane hancur, remuk dan tidak sanggup menahan air matanya untuk jatuh.
Di sepanjang perjalanan pulang dari kantor kekasihnya, dia terus menitikkan air mata. Itulah mengapa meski matanya fokus menyetir, membelah hujan di sore hari yang dipenuhi rasa sendu, tangannya tak henti menyeka air mata kesedihan dan kekecewaan.
Bagaimana mungkin? Dia membatin. Bagaimana mungkin kekasihnya, yang telah melewati suka dan duka bersamanya selama hampir lima belas tahun lamanya, justru mencampakannya begitu saja?
Dia tahu Juna tidak benar-benar selingkuh.
Dia tahu Juna hanya mencari alasan agar Viviane menerima perjodohan itu.
Dan, dia juga tahu bila Juna sangat mencintainya.
*_*
“Kenapa bukan Juna saja sih, Ma, Pa?” rengek Viviane pada ayah dan ibunya beberapa waktu lalu. Ketika mereka berkumpul di ruang tamu.
Yang dijawab oleh sang ayah dengan tegas, “Karena Anjasmara adalah anak kandung keluarga Tanudjaya.”
“Dan dialah yang akan mewarisi TN Grup!” tambah Linda, ibunya. “Jika kamu menikah dengan anak pungut itu, apa jadinya hidupmu nanti? Dia tidak akan mendapatkan apa-apa, Sayang.”
“Ma, aku –“
“Apa kau mau kami hidup menggembel?” todong Arman. “Vi, tolong hargai keputusan kami. Ini adalah yang terbaik untuk saat ini. Lupakan Arjuna, dan menikahlah dengan Anjasmara. Demi keluarga dan bisnis keluarga kita ke depannya.”
“Aku mencintai Juna, Pa.”
“Apa gunanya cinta jika kalian harus hidup miskin?”
“Arjuna bekerja, Pa. Kami tak akan hidup miskin.”
“Di perusahaan orang tua asuhnya?” sahut sang mama. “Bisa kau bayangkan, apa jadinya bila keluarga Tanudjaya tahu kau memilih anak angkat mereka daripada anak kandung mereka? Kau tidak hanya akan menghancurkan hidupmu, hidup keluarga kita tetapi juga hidup Juna sendiri.”
*_*
Arjuna Tanudjaya memang berperan menjalankan perusahaan keluarga setelah ayahnya meninggal, tetapi itu tidak menutup fakta bahwa pewaris sebenarnya adalah Anjasmara Tanudjaya, putra semata wayang Rama dan Anita Tanudjaya.
Meski ayah, ibu dan adiknya sangat mencintainya, namun Arjuna paham betul bagaimana cara keluarga besar mereka menatapnya. Dia dianggap menjijikkan. Anak haram. Buah perselingkuhan. Dan yang terburuk, tidak pernah dianggap bagian dari keluarga.
Sehingga, hanya inilah yang bisa dia lakukan sekarang.
Terlebih, Arjuna paham betul betapa besar perasaan Anjasmara pada Viviane selama ini. Cinta yang suci dan abadi. Lagi pula, dengan kondisinya yang sekarang Juna pun tak akan pernah bisa membahagiakan Viviane.
“Ada kanker di otak Anda.” Kabar itu pertama kali Arjuna dengar dua bulan lalu, tepat setengah tahun sejak ayahnya meninggal dunia karena penyakit gula. “Kami tidak bisa melakukan pembedahan, mengingat lokasinya sangat berbahaya.”
“Apakah bisa diobati, Dok?”
“Untuk itu kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” jawab Dokter membuat hati Arjuna remuk.
Namun, satu yang pasti, dia tak ingin membebani keluarganya.
“Tolong jangan beritahukan semua ini pada siapa pun,” ujarnya pada Saputro, asisten pribadinya sebelum mereka meninggalkan rumah sakit.
“Termasuk dari Ibu?”
“Apa lagi Mama.”
“Tapi kenapa, Tuan Muda?”
“Karena aku tidak mau dia cemas.”
Terima kasih
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu