Kesempatan yang kami tunggu akhirnya datang juga. Itu pun setelah banyak keringat dan air mata kami keluarkan di halaman perusahaan, setelah berjuta makian kami haturkan kepada para petinggi yang datang, juga setelah rentetan cerita pengakuan Alicia bantu sebarkan ke media sosial. Kami mendapatkan undangan. Untuk pertama kalinya.
Dikirim langsung ke tempat tinggalku. Dalam amplop cokelat tua, dengan logo perusahaan tertempel di halaman depan. Namun, Robin melarangku membukanya secara langsung. Dia memintaku membawa surat tersebut ke kantor Pak Suseno untuk dibaca di sana.
“Sekalian berdiskusi,” katanya.
Ide bagus. Aku setuju dan membiarkan dia memboncengku menggunakan sepeda motor vespa tua miliknya menuju ke kantor pengacara kami. Pengacara yang secara suka rela membantu orang-orang miskin seperti kami untuk mendapatkan keadilan. Tanpa bayaran.
Sebenarnya, pada awal masalah bergulir pengacara kami bukanlah Pak Suseno. Beliau bergabung di tahap yang sudah cukup krisis karena aku merasa pengacara yang disediakan negara tidak serius menangani masalah ini. Tidak ada keadilan untuk kakakku. Bukannya membela Ruben, mereka malah terkesan berpihak pada perusahaan.
Beruntungnya aku memiliki Robin, berbekal getolnya dia menyuarakan kemanusiaan dan perlindungan hukum pada orang-orang miskin, dia memiliki akses ke lembaga-lembaga bantuan hukum gratis. Dan di sana lah dia bisa bertemu orang seperti Pak Suseno.
Pria paruh baya tersebut menyambut kami di kantornya dengan senang hati. Dia bekerja penuh harapan, tidak sekalipun mulutnya mengeluarkan kata-kata yang mengerdilkan perjuangan kami. Malah, di saat kami tidak memiliki rasa percaya diri, Pak Susenolah yang menyuntikkan optimisme kepada kami.
“Keadilan akan datang. Pasti,” begitu katanya dulu. Yang siang itu dia lanjutkan dengan, “Jangan menyerah. Kakakmu tidak bersalah. Kau harus berjuang untuknya. Dan lihat, sekarang mereka ingin bertemu dengan kita.”
Mereka di sini tentu saja perusahaan tempat Ruben bekerja dulu. Siapa lagi?
“Lebih tepatnya denganmu,” Pak Suseno meralat sambil menunjuk padaku. “Berdua saja. Acara makan siang.”
Yang langsung membuat Robin menegang. Aku bisa mencium aroma ketidaksetujuan di wajah kekasihku.
“Bukankah ini bagus?” tanyaku, bingung.
Pak Suseno dan Robin kompak menghela napas pendek, sesak.
“Jangan berangkat!” Robin menegaskan. “Aku tidak akan mengizinkanmu mengambil risiko.”
“Ta –“
“Tami!” Giliran Pak Suseno yang bicara, serius. Matanya menatapku seolah aku adalah makhluk menyedihkan yang mesti dilindungi. “Aku sudah bertahun-tahun mengatasi kasus seperti ini. Bertemu dengan pemimpin perusahaan tanpa pendampingan justru berpotensi memunculkan masalah baru. Mereka bisa saja melakukan intimidasi kepadamu.”
“Bukankah mereka bilang pertemuan berdua saja?”
“Kau percaya?” sela Robin, diiringi senyum kecut penuh ironi. “Sayang, dengar! Orang kaya seperti mereka bisa melakukan apa saja untuk menghancurkan kita. Mereka terlalu berbahaya. Jadi tolong, jangan gegabah. Pikirkan semuanya matang-matang.
“Kau ingin kasus kakakmu selesai, bukan?”
Aku mengangguk, menurut. Toh, apa yang dikatakan Robin benar. Aku terlalu kecil dibandingkan perusahaan para iblis itu. Pun aku yakin kami masih memiliki waktu untuk mencari jalan lain. Namun, belum genap surat tersebut keluar aku justru mendapatkan kabar yang lebih mengejutkan.
Robin menelepon, membangunkanku dari tidur setelah semalaman bekerja. Mengabari bahwa kakakku tersayang, Ruben yang malang kembali masuk rumah sakit. Memaksaku tergopoh-gopoh lari keluar rumah, mencegat ojek dan bergegas ke tempat yang diberitahukan.
*_*
“Pasien masih belum sadarkan diri, tetapi kondisinya telah cukup stabil,” kata Dokter yang merawat Ruben ketika aku sampai.
Ruben terbaring di atas ranjang rumah sakit. Terpejam, dengan infus di tangan kanan dan borgol di tangan kiri. Menandakan bahwa dia merupakan seorang tahanan, yang baru saja melakukan aksi penghabisan nyawa tetapi gagal karena sipir telanjur menemukannya.
“Tidak mungkin!” Aku menggeleng, menyentuh kening Ruben lembut. “Aku tahu kamu tidak mungkin melakukannya.” Dia orang terkuat yang pernah kukenal, lalu mengapa dia justru berencana mencabut nyawanya sendiri?
Jangankan penjara, kami bahkan pernah terkurung di tempat yang jauh lebih mengerikan. Tapi, Ruben bertahan kan? Besar keyakinanku kalau telah terjadi sesuatu yang lebih buruk menimpa kakakku. Dan benar saja, keesokan harinya seorang teman mengabarkan kalau telah ditemukan bukti baru.
Walau tidak bisa disebut bukti, tetapi teman-teman Ruben yang datang menengok hari itu menyampaikan padaku bahwa, “Beberapa hari lalu Pak Roy sempat mengancam teman-teman di kantor ..., bila kami masih mendukung kalian, maka sesuatu yang buruk akan terjadi.”
“Tapi pernyataannya saja tidak cukup untuk mengambil kesimpulan.” Pak Suseno memberi komentar, mencoba meredam api di dadaku. “Kita tidak bisa membawa asumsi ke pengadilan.”
Terima kasih sudah membaca sejauh ini.
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu