Gavin menatap kebun rumahnya dari balik jendela ruang kerja miliknya. Ditemani anak lelakinya yang berpakaian santai dengan kaos dan celana pendeknya. Berbeda dengan beberapa hari lalu, rambut Samudera kini sudah rapi dengan cambang dan kumis tipis miliknya yang sudah dibabat habis.
Sesekali Gavin mendesah lelah mengingat jalan jodoh anak bungsunya yang begitu rumit. Gavin meneguk habis minuman di tangannya sebelum menatap putra semata wayangnya dengan pandangan tak terbaca.
“Sam, kamu tahu bahwa pernikahan bukan permainan kan? Apalagi sekedar menyenangkan hati Riani,” ucap Gavin dengan nada datar, namun pandangannya cukup menyiratkan perasaan yang ada di dalamnya.
Samudera tak terkejut bahwa pria di hadapannya lebih dari tahu keadaan yang terjadi. Papanya memang bagaikan orang sakti yang bisa membaca ja
Mata Embun terlihat berbinar, sedangkan Gavin, suaminya terlihat kagum melihat calon menantu perempuan mereka.“Cantik banget, Di. Mama tahu kalau kebaya ini pasti cocok banget kamu pakai,” ucap Embun dengan binar bahagia di matanya. Ia segera memeluk Diani dan kemudian bersalaman dengan Sita dan suaminya.“Jadi ini anak bungsunya Rian dan Dyanti? Nama kamu Diani? Kita pernah bertemu waktu rapat kan?” tanya Gavin dengan senyuman lembut menghiasi bibirnya. Gavin mana mungkin lupa dengan gadis yang sanggup membuat anaknya mengalihkan pandangannya tanpa berkedip.“I–iya Om..” jawab Diani yang segera mengulur tangannya untuk bisa bersalaman dengan Gavin.“Benar-benar mirip Rian saat masih muda. Kenapa baru sadar sekarang ya? Pa
Fatma memperhatikan Diani yang hari ini terlihat tak rapi. Sesekali atasannya itu terlihat menguap dan mengerjapkan matanya berulang kali seolah benar-benar menahan kantuk. Padahal kemarin hari minggu, tapi sepertinya atasannya itu tetap dalam mode bekerja.Ia akhirnya teringat akan Kakak Diani yang berada di rumah sakit. Mungkin alasan itulah yang membuat bosnya tampak sangat kelelahan.“Mbak, mau kopi?” tawar Fatma yang mulai tak tahan melihat Diani menguap untuk kesekian kalinya. Bahkan beberapa kali fatma ikut menguap.“Boleh deh fat,” ucap Diani tanpa memandang si empunya suara. Tangannya masih setia menari di atas keyboard putih komputernya.Segera saja Fatma beranjak dari kursinya menuju pantry kantor. Diani sendiri menumpukan wajahnya di k
*Diani POV* Lalu disinilah aku. Berkali-kali mematut penampilanku di cermin. Memadupadankan semua baju yang aku punya. Argh! Untuk pertama kalinya aku bodoh soal menata pakaianku. Walaupun aku bukan orang yang begitu tergila-gila dengan fashion. Tapi berpenampilan menarik menarik untuk diriku sendiri adalah ciri khasku. Kenapa aku mendadak bodoh? “Sudah sejam Diani. Sejam! Dan lo belum mutusin mau pakai baju apa?! Gue bisa telat kalau kayak gini!” Tak berapa lama aku mendengar nada pesan masuk dari ponselku. Membuatku bergegas mengeceknya Berharap rapat hari ini dibatalkan. Aku tak siap melihat Samudera sekarang! Aku merasa kacau karena kurang tidur. Kurang persiapan. Namun semua harapanku pupus saat mendapati ada nomer Kepala Tim Marke
Semua terperangah melihat Frans terjerembab ke belakang setelah pukulan Samudera berhasil menghantam pipi kiri Frans dengan kuat. Begitu juga dengan Diani yang bahkan ikut terhuyung ke belakang karena terkejut dengan gerakan cepat Samudera menumbangkan Frans.“Apa-apaan ini Pak?!” teriak Frans dengan sekuat tenaga. Amarahnya sudah di ubun-ubun, tapi ia tak bisa melampiaskan amarahnya karena ia hanya sendiri di perusahaan kliennya ini.Tanpa aba-aba, Samudera kembali mengarahkan kakinya untuk menendang Frans yang masih bergeming pada posisinya.“Pak Samudera!” Frans masih meninggikan nada suaranya dan dengan kepayahan mencoba untuk berdiri.“Apa-apaan ini Pak! Apa salah –”BR
*Diani POV*Aku bersyukur hari ini tak perlu berangkat ke kantor dan hanya perlu menuju tempat pembangunan gedung yang juga ku tangani. Aku melakukan beberapa pengecekan proyek antara aku, penanggung jawab sipil, dan mandor tentang kesesuaian pembangunan.Sepanjang perjalanan membawa mobil, beberapa kali aku tak fokus untuk menyetir. Daripada terjadi sesuatu karena jalanan yang begitu padat dan aku tak bisa berkonsentrasi. Aku akhirnya memutuskan untuk mampir di sebuah restoran siap saji dan memesan satu porsi pancake juga segelas kopi.Aku memakan pesananku sambil menikmati suasana pagi Jakarta yang selalu ramai dengan hiruk pikuk kendaraan. Tiba-tiba aku terpikirkan bagaimana besok aku akan masuk ke kantor. Aku yakin suasananya pasti chaos walaupun k
Gede hanya tertawa kecil saat mendengar pertanyaan dengan nada serius Diani. Matanya kini ikut menatap Diani yang juga lekat memandangnya. “Lo jangan mikir aneh-aneh pake otak lo yang mungil itu. Cukup lo pake buat mikir gimana caranya bikin bangunan masterpiece lainnya karya Diani,” ucap Gede dengan senyuman manisnya. Gede menggelang tak percaya dengan ide Diani. “De, kalo lo suka sama gue. Kenapa lo gak nembak gue dari dulu?” “Emangnya bakalan diterima? Lo aja ketusnya minta ampun,” ucap Gede sambil menyeruput minuman di hadapannya. “De, gue serius!” “Gue juga serius. Mana mungkin gue saingan sama Samudera Adnan. Gila kali. Gue
Samudera melangkahkan kakinya meninggalkan Diani. wanita itu tak melakukan protes apapun kecuali mengikuti langkah kaki Samudera. Namun langkahnya memelan saat Samudera ternyata membawa Diani ke arah dimana mobil Samudera terparkir. “Katanya mau lihat proyek, kenapa kemari Pak?” tanya Diani yang kini sudah berhenti beberapa meter dari Samudera. Membuat Samudera berhenti dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat wajah Diani yang sudah tak ramah menatapnya dengan penuh ketidaksukaan. “Di, aku mau minta maaf. Aku gak sengaja ngomong kasar ke kamu soal – ya, itu. Aku gak maksud–” Samudera tak sanggup meneruskan kata-katanya. Bahkan jika diulangi, kata itu menyakiti hatinya. Tapi, begitu marahnya ia kemarin hingga mengatakan hal yang kurang pantas pada DIani. “Kalau ini bukan masalah pekerjaan, saya balik dulu, Pak.”
Diani menerka-nerka kemana mobil ini membawanya. Walaupun begitu penasaran, tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya sekedar untuk menanyakan kemana tujuan mereka. Sesekali ia mencuri pandang pada Samudera lewat ekor matanya. Keduanya tak ada yang bersuara, Samudera sendiri sedang dalam pergulatan batin. Ia sendiri masih tak menyangka bahwa tubuhnya akan bereaksi sedemikian rupa kepada Diani. Sekian banyak wanita yang mencoba mendekatinya, ternyata akalnya tak bisa berfungsi jika bersama Diani. Ia benar-benar tak menyangka hal itu. Mereka berdua tak menyadari bahwa wajah keduanya bersemu merah dan telinga mereka tak kalah menampakkan warna merah padam saat mengingat kejadian yang baru saja terjadi diantara mereka. Walaupun menyetir, tapi pikiran Samudera sering tak fokus dan mengingat kejadian tadi. A