"Bro, mau mampir ngopi dulu kagak?" tanya Gilang sembari menganggukan kepala mencoba menikmati musik di dalam mobil. Gilang memutar kepalanya ke kanan dan melempar pandangan ke luar jendela. Ia terlihat cemas karena melihat para pemotor sibuk menerobos celah sempit antara mobil dan trotoar. Ia takut para pemotor itu akan menyebabkan goresan pada mobil yang ia kendarai. Meskipun 8 tahun sudah ia menjadi supir pribadi yang merangkap asisten bagi sahabatnya sendiri, tetap saja perasaan was-was selalu menghantui di kala kemacetan melanda di Ibu Kota ini. Maklum, ini mobil mahal dan bukan miliknya. Takut rugi bandar, Bosque!!
"Nggak dulu. Langsung kantor aja, buruan!" jawab David dengan nada meninggi dan terlihat gusar sambil mengecek sesuatu di tablet- nya."Kan rapat direksi masih entar jam 10. Ngapain buru-buru?" tanya Gilang heran."Gue belum bikin resume, Nyet! Aarrggh! Sialan emang!" geram David setengah meremas tablet - nya."Njir!! Kesambet ape Lo?" Gilang sangat terkejut mendengar kalimat yang diucapkan David. seorang David yang sangat ambisius bisa bisanya melupakan hal terpenting dalam hidupnya!"Kampret emang Bokap gue!" kata David kesal."Hussh!! Istighfar, Vid!! Gimanapun itu Bos gue juga. Gue boleh ngatain Lo, tapi nggak mungkin juga gue ngatain Bos gue yang satu itu!" sahut Gilang penuh penekanan."Sialan Lo!!" David memaki sambil melepar tablet ke jok belakang sebagai ganti bahwa ia tak tega memukul ayah satu anak yang duduk di sampingnya itu."Gue tebak ya, pasti ini ada hubungannya sama calon mantu. Iya kan?" tanya Gilang yang perlahan-lahan melajukan mobilnya."Cih. Calon mantu. Apa itu? Semua sama aja! Lo liat kan kelakuan Nicho? Ya pasti begitu juga dapetnya." Gilang tahu kemana arah pembicaraan David. Ia sedang membahas adik iparnya yang merangkap juga sebagai rivalnya selama kurang lebih 7 tahun terakhir.Nicholas Soewardi 7 tahun lalu datang sebagai pegawai baru di perusahaan Bapak Johan Pramono - Ayah David. Ia termasuk pria cerdas, mudah beradaptasi dan cepat tanggap dalam menerima hal baru. Selain karena sifat-sifat tersebut yang banyak digemari oleh atasannya, ia pun memiliki sifat dan sikap yang banyak disukai oleh kaum hawa, termasuk Patricia Kamila Pramono, adik seorang Wakil Presiden Direktur, David Jonathan Pramono. Oleh sebab itu, bukan tak mungkin karir Nicholas bisa melesat bak rudal nuklir dan berhasil mengancam kedudukan David saat ini."Oke, terus Lo maunya apa? Seperti yg Bokap lo bilang, kalau sampai lo nggak dapet istri, persaingan bisnislah second solution- nya. Menurut gue, itu fair banget sih." kata Gilang mengutarakan pendapatnya."Ya nggak fair-lah!" bantah David tak terima. "Hanya karena dia jadi menantu Bokap sekarang bisa bersaing sama gue yang jelas-jelas anak kandungnya! Harusnya yang jadi saingan gue, ya adik gue sendiri.""Ngaco lo, Vid. Jelas-jelas kalian beda jurusan, Mila pramugari, elo businessman. Ya Bokap lo adil dong milih Nicho jadi saingan lo." sahut Gilang penuh antusias. Sebenarnya ia juga sama sekali tak setuju jika kelak Nicho jadi calon Presdir di Perusahaan itu. Sama halnya dengan sahabatnya itu, ia merasa Nicho seperti menantu yang hanya doyan harta. Makanya, Gilang berusaha membakar semangat David dengan terus memanas-manasi hati dan pikirannya."Apa susahnya sih cari istri? Stok lo kan banyak dari jaman dulu, tinggal pilih aja salah satu terus hubungin mereka. Masalah rasa, pikirin entar dah." lanjut Gilang mencoba memberi solusi."Sialan! Lo pikir mau beli roti apa!" sahut David sambil memijat kepalanya yang mendadak pening. "Gue tiduran dulu lah. Kecilin tuh musik!""Okay, Bos!"======"Selamat Pagi, Pak!" sapa dua orang wanita yaitu bawahan David saat melalui lorong menuju ruangan di kantornya. David pun hanya membalas mereka dengan senyuman sekadarnya. Batinnya begitu penat sampai-sampai tersenyum pun malas.David pun mendengar suara berbisik-bisik dari keduanya sembari mereka berlalu. Ia sudah tak heran, Bita dan Sari memang ratu gosip di ruangan kantornya. Wajar saja jika sikapnya pagi ini menjadi topik hangat di bibir mereka karena setiap hari David selalu nampak ceria, selalu membalas sapaan para bawahannya dengan senyumnya yang menawan."Selamat pagi, Pak!" sapa Patrick yang langsung berdiri dari bangkunya. Ia menjabat sebagai sekretaris handal dan terpercaya bagi David."Pagi." balas David tanpa senyuman dengan lesu."Pak, Ada Pak Presdir di ruangan Bapak." ucap Patrick yang membuat David menghentikan gerak tangannya untuk membuka handel pintu. Ia tahu alasan Ayahnya datang ke ruangannya."Bapak mau saya buatkan kopi juga?" lanjut Patrick menawarkan diri dengan senang hati."Tolong buatkan. Kali ini dengan gula." pinta David dan pintu pun ia dorong dengan perlahan.Patrick diam sejenak dan tertegun. Baru kali ini dia mendengar permintaan David seperti itu selama 5 tahun mengabdi menjadi sekretaris. Biasanya kopi pahit adalah favoritnya.David memasuki ruangan dan melihat sekeliling ruangannya karena tidak melihat ayahnya duduk di sofa tamu. Pak Johan ternyata sedang berdiri di dekat jendela samping meja kebesaran David."Pagi Pa!" sapa David mencoba seramah dan seceria mungkin setelah menutup pintu.Pak Johan hanya membalas sapaan David dengan berdeham. Hal itu membuat batin David semakin bergejolak. Sepenting itukah menantu perempuan untuk Ayahnya?David melangkahkan kakinya dan duduk di kursi depan mejanya, buka di kursi kebesarannya. Ia melihat cangkir kopi yang ada di atas mejanya. Uap panas masih banyak mengepul di sana yang menandakan bahwa ayahnya baru saja datang."Kenapa kamu nggak pulang? Tidur di hotel lagi? Mau menghindar terus dari Papa sama Mama? Waktu terus berjalan, Vid. Mau sampai kapan kamu menundanya?" tanya Pak Johan memecah keheningan, "Cheryl sudah 4 tahun dan kamu masih belum beristri."Cheryl adalah buah cinta Mila dan Nicho. Dugaan David benar, ayahnya datang kemari pasti ingin membahas hal itu lagi. Sejak 3 hari yang lalu ia memang sengaja tak pulang ke rumah, usai perdebatan hebat mengenai 'kapan kamu nikah?' Pertanyaan itu membuat kuping David terus berdenging kesakitan.Tok tok tok.Patrik mengetok pintu ruangan David dan langsung masuk dengan membawa sebuah nampan yang berisi secangkir kopi untuk David. Pembicaraan ayah dan anak itu terhenti sesaat."Kopinya, Pak.""Iya, tolong taruh situ saja!" pinta David dengan mengedikkan dagunya ke arah meja tamu di belakang Patrick."Baik, Pak." Patrick meletakkan cangkir kopi itu di atas meja, "Saya permisi dulu, Pak.""Makasih." ucap David sambil menganggukan kepala dan tersenyum."Apa perlu Papa carikan wanita untukmu?" tanya Pak Johan yang masih menatap keluar jendela kaca itu."Tidak perlu, Pa. Seperti David bilang, David akan cari sendiri." jawab David."Cari-cari-cari!" sahut Pak Johan dengan nada yang meninggi sambil membentangkan tangan kirinya ke samping.Pak Johan memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah mata putranya, "Mau kamu cari kemana lagi? Belum puas kamu bermain dengan wanita yang hanya mengincar hartamu!! Cari satu wanita yang benar saja tidak becus!!"David yang mendengar kemarahan ayahnya itu hanya bisa membelalakkan matanya karena terkejut. Tak disangka, ternyata Pak Johan bisa mengetahui track record-nya dengan para wanita yang ia bawa ke kehidupan pribadinya."Lari kemana saja uang gajimu selama kerja di sini, hah!" bentak Pak Johan tepat di depan muka David."Anu, Pa." David terbata, masih syok karena ternyata ayahnya tahu ke mana uang gaji David dihabiskan. Pak Johan begitu murka saat ini."Anu anu anu! JAWAB DENGAN LANTANG SEPERTI KAMU YANG MENGUMBAR PUISI CINTA UNTUK PARA WANITAMU ITU!" seru Pak Johan dengan suara menggelegar hingga seluruh penjuru ruangan David bahkan mungkin terdengar sampai di luar ruangan itu. Kedua tangannya mengudara bak pemain teater sedang membawakan puisi di depan penonton. Hal itu seketika membuat David malu, memikirkan bagaimana jika anak buahnya mendengar, terlebih Bita dan Sari yang mendengar. Rumor buruk pun akan segera menyebar ke seluruh sudut gedung kantor ini.David bisa saja tampak tegas, berwibawa dan garang di depan karyawannya, tapi tidak jika di depan orang yang bernama Johan ini. Karakter orang ini begitu mendominasi bagi kehidupan David dari lahir hingga detik ini. Ia tak akan naik pitam hingga ke pucuk jika sesuatu berjalan sesuai rencananya.Wenda mengambil sebuah handuk yang tergeletak di atas kasur dan mengetuk pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dengan perlahan."Dewa, kamu udah selesai belum mandinya?" tanya Wenda setelah tak mendengar balasan dari dalam. Wenda akhirnya membuka pintu."Dewa..." panggil Wenda dengan helaan napas."Iya, Ma."Anak kecil bernama Dewa Rangga Pramono itu menoleh dengan panik. Ia menghentikan aktivitasnya bermain air di dalam bath up karena ibunya sudah berdiri dengan tatapan melotot ke arahnya."Sudah setengah jam lho." ucap Wenda menegaskan lagi agar bocah lima tahun itu segera menyelesaikan kegiatannya, "Kamu jadi mau ikut ke tempat Nenek Tiwi sama Papa David nggak?""Jadi, Ma." sahut Dewa dengan mata berbinar."Ya sudah, cepat bilas badannya."Dewa segara menata mainannya di pinggir bath up dan membasuh tubuhnya dengan air bersih dari shower. Wenda mendekap tubuh Dewa yang cukup besar untuk ukuran anak usia 5 tahun itu dengan handuk yang sudah ia bawa
"Minum obat itu, kalau nyawamu masih mau selamat."Nicho mengancam Wenda yang masih terus membuat ulah. Wenda pun hanya bisa bergeming."Cepat ambil, Kirana!" bentak Nicho dan membuat kedua wanita itu terkejut. Kirana dengan cepat mengambil pil dari lantai dan menyodorkannya ke mulut Wenda."Telan obat itu!" titah Nicho sambil menarik pelatuknya karena Wenda masih saja menutup rapat mulutnya."WENDAAAAAAA!"Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari luar, membuat aktivitas mereka terhenti. Wenda mengenali suara tersebut dan seketika juga berteriak."Mas David, aku ada di dalam!!"Nicho terkejut karena teriakan Wenda dan menyuruh Kirana membekap mulut Wenda. Kirana pun menurut. Ia mengambil kain dari dalam tasnya untuk menutup mulut Wenda yang berisik. Ia kemudian membetulkan posisi tubuh Wenda yang sejak tadi tergeletak di lantai.Nicho berjalan keluar. Ia mendapati David dan Gilang tengah bergelut dengan kedua anak buahnya. David melihat sosok Nicho diteng
David baru saja memasuki area parkir di rumah sakit tempat Wenda bekerja. Di saat ia sibuk berkeliling mencari lahan kosong untuk parkir, ia melihat Wenda masuk ke dalam sebuah mobil. Mobil yang tak asing baginya."Nicho?" gumam David. Ia pun segera mengambil ponsel dan menelepon Wenda. Panggilannya ditolak."Sial! Kenapa ditolak?" geram David sambil meletakkan ponselnya dengan kasar. Bukan perselingkuhan yang dikhawatirkan David. Sesuatu hal lain terkait keselamatan istrinya. David merasa, jika Pak Johan saja bisa sampai turun tangan mengawasi Nicho secara diam-diam, berarti ada sesuatu yang Nicho sembunyikan atau rencanakan.Ponsel David berdering. Gilang meneleponnya."Halo, Bos. Sorry baru ngabarin, ini gue ngikutin Nicho tapi kok masuk ke area rumah sakitnya Wenda ya?" ucap Gilang di telepon."Iya, gue tau. Ini gue lagi jemput Wenda. Tapi dia sekarang lagi sama Nicho." jelas David singkat karena ia sibuk mengemudi untuk membuntuti Nicho yang baru saja keluar
Cukup lama Kirana menanti wanita di depannya ini sadar dari pingsannya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Kirana menatap Wenda lekat-lekat dengan gelisah. Wajahnya cantik meskipun tubuhnya terlampau mungil jika dibanding dengan tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dan berisi. Wenda duduk disebuah kursi. Kepalanya tertunduk lemas, tubuhnya terikat pada sandaran kursi, begitu juga kedua tangan terikat di belakang dan kakinya."Heh bangun!" Kirana sudah tak sabar. Ia menepuk-nepuk pipi Wenda dengan kasar. Tak lama, Wenda mengerang lemah. Ia membuka matanya yang masih kabur. Kirana yang tahu bahwa Wenda sudah sadar, mulai memegang dagu Wenda dengan kasar dan mendongakkan kepalanya. Wajah mereka begitu dekat.Kirana menatap tajam ke wajah Wenda. Wenda yang masih lemah hanya bisa meringis kesakitan karena Kirana mencengkram dagunya sangat kencang."Jangan kasar-kasar, Kirana."Wenda yang pandangannya masih kabur, melihat sosok perempuan yang tidak ia kenal berada
Poli kandungan siang ini tak begitu ramai. Wenda segaja memilih hari ini karena kebetulan ia berdinas pagi. Ia ingin segera mengecek kandungannya karena sudah telalu lama ia terlambat haid."Selamat ya, Wenda, atas kehamilanmu. Perkembangan janinmu bagus." Dokter Pandu menyelamati Wenda selagi alat USG tertempel di perutnya."Terima kasih, Dok." ucap Wenda sedikit tegang. Ia melihat layar monitor yang tergantung di dinding. Sebuah kantong kehamilan beserta janin di dalamnya tergambar jelas di sana. Haruskah ia merasa bahagia atas kehidupan yang tak diduga ini? Memang sudah sewajarnya, kehidupan ini mungkin akan hadir setelah apa yang ia dan David lakukan selayaknya suami istri pada umumnya."Kita kontrol lagi bulan depan ya, Wen."Dokter Pandu melepaskan alat USG dan perawat membersihkan gel yang masih tersisa di perut Wenda."Saya beri vitamin-vitamin, diminum satu kali sehari saja." lanjut Dokter Pandu sambil berjalan ke mejanya dan mengetikkan sesuatu di kompu
Widya menghela napas panjangnya, sedangkan Wina terus menggenggam kedua tangan Wenda dengan mimik wajah sendu. Wenda telah menceritakan kisah 'cinta' antara dirinya dengan David."Gue tau, gue salah menaruh harapan ke laki-laki ini. Yang gue kira bakal balas perasaan cinta gue. Gue tau, gue cuma dimanfaatin karena situasi yang keluarga gue alami." Wenda menarik napasnya sejenak, "Tapi perasaan gue nggak bisa bohong, kalau gue suka.. cinta.. sama dia sejak pertama kali gue ketemu lagi setelah dewasa.""Kalau boleh gue saranin. Menurut gue, lo jangan lepasin David gitu aja sih. Lo mau anak lo ini nggak punya bapak? Lo harus perjuangin apa yang jadi hak lo dan si jabang bayi ini, Wen." ucap Wina dengan tatapan mata dari yang muram dan sendu berubah menjadi berkilat-kilat penuh amarah."Kalau menurut gue, gue sih setuju sama sebagian saran Wina, Wen. Lo emang harus perjuangin hak lo dan anak lo ini. David emang harus tanggung jawab sepenuhnya atas anak lo ini. Tapi, lo juga