»»»»
"Lo mau gue ganti rugi? Berapa?" Cowok itu mengambil dompet dari sakunya dan ingin mengambil uang dari sana.
"Sialan!" Cia memaki, "gue nggak butuh duit lo, waktu gue kebuang cuma ngadepin manusia kayak lo!" Cia mengulurkan kunci mobilnya pada cowok itu. Si cowok hanya diam dan menaikkan sebelah alisnya. "Lo bego? Benerin mobil gue sampe mulus kayak semula. Besok harus lo balikin!" Cia menarik tangan cowok itu dan meletakkan kunci mobilnya di sana. Dan segera, setelah itu menuju mobil miliknya untuk mengambil tas juga ponsel yang masih tertinggal di sana untuk memanggil ojek online, setidaknya kendaraan itu yang saat ini banyak berkeliaran di dekat sekolahnya.
»»»»
Cia menatap datar laptop di hadapannya. Seorang pria duduk di sampingnya dengan wajah dua kali lipat lebih datar dari Cia.
"Bang, lo yakin?" Cia menatap Ferry. Orang kepercayaan nya yang bekerja sebagai Pengacara. Ferry mengangguk dengan tenang, lalu meminum kopi hitam yang beberapa saat lalu tersaji di hadapannya. Keduanya, saat ini berada di sebuah cafe yang tidak jauh dari castroom.
"Lo sendiri yang harus dateng. Tander kali ini lebih gede dari sebelumnya," jelas Ferry. Cia mengangguk-angguk.
"Berapa hari!"
"Sekitar seminggu!"
"Lo gila, Bang. Gue nggak mungkin pergi selama itu!"
"Lo alesan kek, ke keluarga lo."
"Bukan itu masalahnya!"
"Terus?"
"Lo tau sendiri, jadwal gue minggu depan full. Kalo minggu ini gue pergi, yang ada gue bakal drop lagi!" Ferry mengangguk membenarkan.
"Bengkel biar Nata aja yang urus. Lo, fokus dulu sama tander."
"Gue serahin sama pak Rudi aja ya!"
"Ck! Kebiasaan ya, lo! Ya udah deh, yang penting, lo jaga kesehatan. Ok lah, udah di putusin, gue cabut dulu!"
"Mau kemana?"
"Ada klient yang harus gue urus!"
"Ya udah sana. Gue mau di sini bentar!" Ferry menatap keluar, lalu kembali menatap Cia.
"Mobil lo mana?"
"Gue naik ojek!"
"Hah!" Ferry menatap Cia bingung. "Terus, mobil segudang di Castroom mau buat apaan, nggak lo pake!"
"Males gue! Dah sana kalo mau pergi."
"Ya udah, lo jaga kesehatan ya. Gue bakal lama di sana, jadi kalo ada apa-apa, lo bisa bilang sama Nata atau kalo enggak lo telfon Nanda."
"Iya ish bawel!" Ferry terkekeh pelan, lalu membereskan laptop miliknya untuk ia bawa kembali. Cia hanya duduk diam melihat kepergian Ferry, sudah 9 tahun terkhir dirinya dekat dengan Ferry. Sudah selama itu pula, hanya Ferry yang tulus menyayangi dirinya lebih dari keluarganya sendiri.
"Kenapa lo jadi melow sih Ci!" Cia menepuk kedua pipinya.
"Mbak, mau nambah minumannya?"
"Nggak perlu, gue mau balik aja, oh iya, bilang sama Tery, kalo dia udah balik, suruh temuin gue!"
"Iya, Mbak." Cia meninggalkan Cafe dengan langkah tegas seperti biasa. Berjalan kaki sebentar untuk menuju ke Castroom. Saat sudah dekat, tampak seseorang berteriak memanggilnya. Itu adalah Rio.
"Ci! Lo ngapain? Kok jalan kaki? Mobil lo mana?" Rio berdiri dari duduknya untuk menyambut Cia.
"Kena srempet. Lagi di bengkel."
"Kenapa nggak lo bawa aja ke Nata?"
"Orang yang nyerempet yang tanggung jawab!"
"Tunggu! Maksud lo, lo ngasih Lamborghini ke orang nggak kenal?" Cia mengangguk pelan sambil masuk ke Castroom. "Lo gila ya! Gimana kalo dia orang jahat!"
"Tenang aja, dia satu sekolah sama gue, kalo dia berani macem-macem. Gue bakal bikin dia nggak bisa bawa mobil lagi, selamanya!" Rio bergidik ngeri mendengar ucapan Cia. Si monster jalanan yang jago berkelahi.
"Terserah lo deh. Terus, lo kesini mau ambil mobil lagi?" Cia menaiki Hoverboard miliknya, diikuti Rio di sampingnya.
"Motor yang kemaren udah lo jual kan?" Rio mengangguk.
"Udah sih, tapi ya gitu, lo tau sendiri motor lo udah nggak muat lagi di sini. Lo jual in aja sih!" Cia tampak berpikir, lalu membelokkan Hoverboardnya ke arah lift.
"Gue liat dulu!" Rio mengikuti. Keduanya mendapat sapaan dari para security dan karyawan lainnga ketika keduanya keluar dari lift. Cia memasuki sebuah ruangan lain yang berada di bagian belakang. Deretan motor sport dengan berbagai jenis merek dan juga warna itu tampak berjejer rapi. Cia mendekati salah satunya, lalu menatap body motor tersebut dengan seksama.
"Lo boleh jual ya ini, sama dua yang itu." Cia menunjuk dua motor lain yang tak jauh darinya.
"Tapi itukan yang lo dapet dari pertandingan lawan si Martin!" Cia tau itu.
"Lagian gue nggak pernah pake."
"Ok deh, jadi 3 ini ya!"
"Iya. Minggu depan ada jadwal apa?" Rio tersenyum senang.
"Ikut gue!" Rio melajukan Hoverboard yang dia naiki menuju sebuah ruangan lain yang bersebelahan dengan ruang penyimpanan sepeda motor. Di sana, ada sebuah mobil yang di tutup dengan kain hitam, dan ada sebuah layar besar di samping mobil menempel di dinding.
"Ini apa?"
"Gue udah siapin ini sama Nata. Gue yakin lo pasti suka!" Rio menyalakan layar yang ada di dekat mobil. Sebuah gambar mobil Lamborghini berwarna putih di layar tersebut
"Lo nggak mau bilang, kalo lo abis beli mobil itu kan?" Rio terkekeh.
"Sejak kapan lo ngijinin gue beli mobil! Sedangkan, di sini mobil banyak." Rio terkekeh. "Ini hadiah yang bakal lo dapet minggu depan. Gue berharap lo bisa menang, lo juga harus bertaruh mobil ferrari GTC4Lusso T, punya lo yang udah lama itu."
"What! Kok Ferrari yang itu sih. Lo nggak salah? Mobil itu gue dapetin susah payah Rio! Lo gila ya!" Harga Ferarri GTC4Lusso T sekitar 12 Milyar rupiah dan Cia mendapatkan mobil itu sekitar 4 atau 5 bulan yang lalu.
"Yang lo lawan kali ini, bukan orang sembarangan, Ci. Dia itu dari luar Negri yang penasaran abis sama lo. Bahkan, dia ngehubungin gue mulu, dan minta gue supaya dia bisa ngomong langsung sama lo!"
"Ok, terus apa istimewanya dia?"
"Dia itu dari New Zealand, pembalap yang udah terkenal banget, dia di juluki master jalanan. Lo nggak boleh remenin dia!" Cia hanya mengangguk mendengar penjelasan Rio, "dan ini ..." Rio memencet tombol yang ada pada remot, dan saat itulah kain yang menutupi mobil terbuka. Sebuah mobil sport yang sudah sangat Cia kenal terpampang di hadapannya, itu adalah mobil yang sering dia pakai untuk balapan. Bugatti Chiron miliknya yang berwarna hitam.
Cia turun dari Hoverboard dan mendekati mobil itu. Itu memang mobil yang sama, hanya saja, Cia merasa bahwa beberapa bagian mobil itu sudah di modifikasi.
"Mesinnya udah di modifikasi. Nata sama gue yang ngerancang ini, khusus buat lo." Cia tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil untuk melihat perbedaan dari kendaraan kesayangannya itu. Saat Cia menyalakan mesin mobilnya, suara menggaum lebih sangar dari sebelumnya, Rio ikut tersenyum saat melihat Cia tampak senang dengan mobil barunya itu.
"Boleh gue coba nggak?"
"Jangan dulu deh. Ini masih siang, Ci. Nanti malem aja, lo tau kan kalo lo sendiri nggak mau keliatan sama orang luar!" Cia terdiam, benar juga yang Rio katakan.
"Kalo gitu, kita bikin arena sendiri!"
"Lo gila!"
««««
To be Continue ....
»»»» Dava bangun untuk bersekolah pagi ini. Dan seperti biasa, cowok itu akan mengecek keberadaan sang adik yang memang sangat sulit dia temui, walaupun mereka tinggal dalam satu rumah yang sama."Pagi, Sayang. Udah mau berangkat?" Diana, ibu tiri Dava menyapnya. Dava tersenyum membalas sapaan sang Mama."Ma, Cia belum turun?""Dia udah berangkat tadi pagi." Dava tampak kecewa. Sejujurnya, waktu yang paling tepat untuk melihat Cia itu hanya saat pagi hari. Karena, setiap malam, Cia selalu pulang larut. Tak ada yang bisa melarang Cia di rumah, tentu saja aksi melompat dari lantai 2 rumah itu menjadi peringatan untuk mereka, bahwa Cia adalah orang yang nekat. Bisa saja Cia akan kabur dari rumah dan tidak akan kembali, jika mereka melarang keras kelakuan Cia selama ini."Ya udah, Ma. Dava berangkat dulu!" Diana tersenyu
»»»» Bolos adalah hal biasa bagi Cia. Tetapi, pagi ini, setelah perkelahiannya dengan cowok bernama Yejun, Cia malas keluar. Mood untuk membolosnya jadi berkurang, alhasil, Cia memilih untuk tidur di kelas, dengan membaringkan kepalanya di atas meja. Saat guru datang, Cia masih terlelap dalam tidurnya, hingga sang guru yang baru saja masuk segera mendekati Cia. Guru itu menggeleng pelan, lalu memukul pelan kepala Cia dengan buku paket di tangannya."Kamu ke sekolah niat belajar apa niat tidur!" Tegur sang guru. Cia yang tidurnya terganggu dengan malas bangun sambil menguap."Apa sih, Pak! Ganggu aja!" Cia mengucek sebelah matanya, dan saat itu, tatapannya beradu dengan manik mata hitam milik seorang gadis yang berdiri di depan kelas."Hari ini, kita kedatangan murid baru!" Guru laki-laki bernama Firman itu berjalan kembali ke arah mejanya. "Silahkan perkenalkan diri kamu!""Terima kasih, Pak!" Gadis dengan kuncir kuda itu tersenyum dengan semangat. "Hallo semua, Nama gue Azkian
»»»» Cia berangkat sekolah dengan tenang seperti biasa. Setelah sampai di kelas, suasana yang tadinya berisik langsung tenang. Para teman sekelas Cia bisa menebak bahwa saat ini, mood Cia sedang tidak baik. Dan itu, bisa berakibat tidak baik juga untuk mereka, jadi mereka memilih untuk diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing."Pagi, Cia!" sapa Kian ceria. Semua yang ada di kelas kembali terkejut dengan perilaku Kian. Kenapa bisa, dengan mudahnya Kian menyapa Cia dalam keadaan seperti itu?Cia tanpa menjawab segera meninggalkan kelas, dan dengan bodohnya, Kian mengikuti kemana Cia pergi. Cia sedang malas berdebat atau semacamnya, tingkat kejahilannya berkurang pagi ini. Tetapi, justru itu yang membuat aura mencekam dari dirinya, jika Cia tidak jahil, maka di pastikan dia sedang dalam mode brutal.Kian yang masih mengikuti langkah Cia tampak bingung, si
»»»» Dava hanya bisa menatap Aqila yang berjalan menjauhinya dalam diam. Aqila akan pergi ke Jepang hari ini, dan itu sudah membuatnya sedih. Dava melangkah pergi dari bandara setelah memastikan pesawat yang di tumpangi Aqila lepas landas. Dengan langkah kaki malasnya, Dava menuju sepeda motor yang terparkir apik di parkiran bandara.Pulang adalah keinginan Dava setelah mengantar Aqila, sebelum dia melihat mobil Cia yang tengah melaju di depannya. Dava sebenarnya takut pada Cia, takut jika Cia akan pergi selamanya dari kehidupan keluarga mereka, jika Dava ikut campur dengan urusan Cia. Namun, rasa penasaran cowok itu sudah pada batasnya. Cia sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu darinya dan keluarga mereka. Dava akan mencari tau perlahan tentang adiknya yang sejak dulu selalu menyembunyikan apapun darinya."Dia ngapain?" Dava menghentikan laju sepeda motornya
»»»» Cia duduk malas di balik kursi kemudi. Wajahnya datar sambil menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun. "Turun sekarang!" Cia menatap cowok di sampingnya itu dengan geram, "gue bilang, turun sekarang!" Bentaknya penuh penekanan."Nggak, sebelum lo jelas in apa yang lo lakuin di sini dan siapa Om-Om yang sama lo barusan!""Itu nggak ada urusannya sama lo, jadi sekarang lo turun, atau lo gue gebukin di sini!""Gue pilih yang kedua, asal lo jawab pertanyaan gue!" Cia melotot. Ingin sekali dia memukuli wajah Dava yang menyebalkan itu."Serah lo!" Cia akhirnya diam. Menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan parkiran hotel. Dava hanya duduk diam di samping Cia, tak tau apa yang Cia lakukan di hotel tadi. Yang jelas, Dava merasa harus mengawasi Cia mulai sekarang."Lo mau kemana?" Cia tak
»»»» Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia. "Gue nebeng ya!" "Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava. "Motor gue di bengkel." "Terus?" "Ya ... gue nebeng sama lo lah!" "Ogah!" "Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!" "Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya. "Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana. &nbs
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.