Eryk mendudukkan Lucia di kursi sebelah kemudi dan memasangkan sabuk pengaman untuk gadis itu. Diam-diam dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengambil foto Lucia yang sedang memejamkan mata dengan tubuh bersandar pada sandaran jok mobil tanpa sepengetahuan gadis itu.
"Ayah ...." gumam Lucia dengan mata terpejam menahan perih. Luka cakaran yang ada di dada dan lengan gadis itu terlihat cukup dalam.Eryk yang baru saja duduk di kursi kemudi tentu saja mendengar gumaman gadis itu, namun nampakknya dia seolah tidak peduli sehingga dia hanya mengedikkan bahu dan mulai menjalankan mobilnya.Setibanya di sebuah klinik, Eryk membopong Lucia masuk, melewati pintu kaca yang pada saat bersamaan beberapa perawat yang ada di sana membantu pria itu membawa Lucia ke ruang perawatan."Bertahanlah, Nona," ucap Eryk saat beberapa perawat membawa gadis itu ke sebuah ruangan.Eryk menghela nafas panjang sembari menyeka peluh di dahi. Dia tidak menyangka harus berusaha sekeras ini untuk bisa menaklukan gadis hostess itu. Semua hanya demi harga dirinya di mata para sahabatnya.Pria itu duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruangan Lucia saat ini ditangani. Tangan kanan pria itu mengambil ponsel dari saku celana dan membuka layar ponsel untuk kemudian memulai percakapan di sebuah grup obrolan. Dia mengirimkan foto Lucia yang sedang tidak berdaya. Tidak lama setelahnya para sahabatnya mulai aktif di aplikasi.Eryk Orlov : Segera siapkan uang kalian!Eryk tersenyum sembari menulis pesan lanjutan di dalam grup obrolan.Eryk Orlov : Aku telah berhasil membuat gadis itu jatuh dalam pelukanku. Dia bahkan memegang kerah bajuku erat-erat saat aku menggendongnya.Emilio Max : Oh, kau pasti melakukan cara brutal untuk membuatnya tunduk,Eryk menyeringai setelah membaca balasan Max, dia tidak menyangka sahabatnya akan mengira Eryk telah melakukan cara kasar untuk membawa Lucia bersamanya.Arvie Rudolf : Itu sangat gila! Apakah kau baru saja melakukan BDSM terhadap gadis polos itu, Eryk?Di tempat saat ini sedang berdiri, Arvie menggeleng frustasi melihat luka dan pakaian koyak yang menempel pada tubuh gadis itu. Dia menyesal atas taruhan yang dia buat sehingga mengakibatkan gadis itu terluka di tangan Eryk.Eryk Orlov : Stop guys! Aku mendapati dia sedang terluka, berhenti mengatakan yang tidak-tidak!Secara bersamaan Arvie dan Max bernafas lega.Emilio Max : Kau pria yang beruntung, Eryk!Di tempatnya saat ini, Max sedang duduk dan mengusap wajah dengan kasar. Dia harus merelakan sejumlah uang untuk Eryk, pria yang sudah menyandang jabatan CEO di perusahaan milik ayahnya. Max yakin, sebenarnya Eryk tidak membutuhkan uang sejumlah puluhan ribu dollar. Akan lebih berguna jika uangnya di donasikan untuk orang yang lebih membutuhkan.Eryk Orlov : Simpan saja uang kalian, aku tidak butuh! Sebagai gantinya, kalian harus mengakui kalau aku adalah pria penakluk para gadis terhebat di Toronto!Max dan Arvie memutar bola mata setelah membaca pesan balasan Eryk. Betapa gilanya sahabat mereka terhadap gelar sebagai penakluk para gadis. Ya ... setidaknya itu lebih baik. Mereka hanya perlu menyematkan kata "Sang Cassanova" di sela pembicaraan mereka dengan Eryk. Setidaknya mereka tidak mengeluarkan uang atas taruhan yang dimenangkan sahabat mereka yang terbilang paling kaya diantara mereka bertiga.Emilio Max : Dengan senang hati, Tuan Cassanova!Balasan Max membuat Eryk tertawa puas. Dia begitu bangga dengan sebutan baru yang diperuntukkan untuknya.Arvie Rudolf : Jangan lupa berbagi kesenangan dengan kami saat kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan!Eryk menggeleng dengan senyum kemenangan tersungging di paras rupawannya. Untuk apa para sahabatnya meminta hal yang sudah pasti dia berikan kepada mereka tanpa meminta?Eryk Orlov : Tenang guys! Kalian akan mendapatkan sisa dariku. Ingat, sisa! Jangan berusaha mendahului Tuan Cassanova ini!Setelah Eryk selesai membalas pesan di group, pintu di hadapan terbuka. Wanita berkacamata, lebih tepatnya dokter yang tadi menangani Lucia keluar dari ruangan."Teman Anda memerlukan waktu istirahat, Tuan, luka yang ada di tubuhnya tidak begitu dalam. Kemungkinan penyebab dia lemas adalah kurangnya zat besi." dokter perempuan itu berusaha menjelaskan kondisi Lucia yang hanya dibalas kedikan bahu oleh Eryk, sebelum pria itu akhirnya masuk ke ruangan Lucia.Dokter wanita itu menghela nafas sembari mengelus bagian dadanya. Lalu bergumam; "Sangat minim sopan santun,"Sesaat wanita paruh baya itu melihat pintu dimana tubuh Eryk menghilang, lalu pergi meninggalkan ruangan barusan."Hay," sapa Eryk yang berdeham sebelumnya. Pria itu menyuguhkan senyuman manis dengan niat untuk menghiptonis Lucia. Cara itu selalu berhasil setiap kali di membidik mangsanya. Dalam satu kali senyuman, maka wanita yang menatapnya akan berjalan dan melempar tubuh ke dalam pelukannya.Pria itu berjalan mendekat dengan kedua tangan tersimpan dalam saku celana. Dan Lucia menatapnya dalam kecanggungan."H-hay. Terima kasih sudah menolong. Aku tidak tau apa jadinya jika Tuan tidak menolongku tadi." senyuman canggung terbit dari wajah Lucia yang kini menunduk.Eryk menangkup wajah Lucia dengan kedua telapak tangan, dan melihat setiap luka cakaran yang terdapat di sana dengan tatapan penuh perhatian. Seketika dada Lucia berdesir, rona pipinya berubah menjadi merah jambu yang membuat Eryk merasa puas dalam hati."Sayang sekali luka-luka itu mengotori wajah cantikmu." Eryk mencondongkan tubuh dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Lucia, hanya menyisahkan jarak satu jengkal, sehingga hangat nafas pria itu membelai wajah Lucia.Pria itu mengelus dengan penuh hati-hati wajah Lucia. Gerak jemarinya terhenti saat perhatian pria itu mengarah pada bibir mungil Lucia. Dengan sengaja pria itu mengelus bibir Lucia yang membuat jantung gadis itu berdebar.Secara tiba-tiba kepala gadis itu tertunduk, membuat kedua mata Eryk berkilat amarah karena merasa terhina dengan sikap Lucia. Tangan yang semula membelai wajah Lucia mengepal di sisi kepala gadis itu."Maaf, sepertinya jarak kita terlalu dekat," ucap Lucia dengan menahan malu. Sesekali gadis itu mencuri lihat dengan cara mengerling pada wajah rupawan pria di hadapannya, dan itu cukup membuat jantungnya memompa darah lebih cepat.Eryk menarik nafas dalam untuk menghalau guratan amarah di wajah, dia tidak boleh memperlihatkan sisi kasarnya saat ini, itu hanya akan menggagalkan misinya untuk menaklukan hati Lucia. Perlahan tangan yang mengepal erat meregang."Ah, maaf jika kau merasa tidak nyaman." ucap pria itu sembari menarik tangannya ke sisi tubuh."Karena terlalu mengagumimu, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Eryk." pria itu mengulurkan tangan sembari menata ekspresi wajah setenang mungkin.Perlahan Lucia menerima uluran tangan pria itu sembari mengangkat wajah yang tertunduk perlahan."Namaku Lucia.""Namamu cantik, secantik parasmu.""Terima kasih." ucap gadis itu dengan perasaan canggung dengan kedua tangan memilin di atas pangkuan......................."Dimana gadis itu sekarang? Aku tidak melihatnya sejak masuk ke sini." Max menatap sekeliling untuk mencari-cari keberadaan Lucia."Mana mungkin dia akan datang ke tempat ini saat wajahnya babak belur seperti itu?" tanya Eryk mencoba mengingatkan pada foto Lucia yang dia kirim di grup percakapan. Ucapan Eryk mendapat anggukan dari Arvie yang membenarkan."Para hostess di sini diharuskan berpenampilan menarik, Arvie,"Eryk mengangguk membenarkan ucapan Max, namun pria berusia 25 itu menatap ke suatu arah yang membuat kedua sahabatnya saling menatap dan mengedikkan bahu, hingga akhirnya mereka menatap ke arah Arvie melihat."Tapi, dia berdiri di sana, Eryk." ucap Arvie sembari menunjuk ke arah Lucia berdiri. Bekas lebam dan cakaran di wajah masih terlihat jelas. Seketika mereka bertanya-tanya, mengapa gadis itu memilih keras kepala untuk tetap bekerja?"Astaga! Bahkan lebam di wajahnya sama sekali tidak mengurangi kecantikannya," gumam Max yang masih menatap ke arah gadis itu..............................Beberapa menit yang lalu saat Lucia datang ke tempat kerja ...Beberapa rekan hostess menatap gadis itu dengan senyuman sinis, namun gadis itu memilih untuk menunduk demi menghalau pandangan mereka yang terasa menghunus."Oh, Lucia yang malang. Kau bahkan terlihat jauh lebih cantik dengan lebam-lebam di wajahmu," seloroh Gabirel yang diikuti tawa dari rekan kerja lain.Para gadis hostess sangat menyukai kemalangan yang menimpa Lucia, tanpa merasa iba dengan nasib gadis itu.Lucia memilih bungkam dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Meladeni ucapan mereka sama sekali tidak menguntungkan baginya. Fokusnya kembali pada Henry yang terbaring lemah di rumah sakit, sehingga dia memantapkan kakinya untuk berdiri tegap di tengah hinaan para hostess lain yang menjadikannya bahan lelucon.Seorang gadis waiters bernama Mimi meminta Lucia untuk membereskan piring dan gelas kotor di beberapa meja. Dengan terpaksa gadis itu menyanggupi, meski dalam hati dia merasa sangat terpaksa saat melakukan pekerjaan yang semestinya tidak dia kerjakan. Ada banyak pekerja di sana, tetapi mengapa harus Lucia yang membantu menyelesaikan tugas waiters? Kepolosan, kebaikan, serta usia Lucia yang terbilang paling muda di antara semua pekerja Queen Fortune kerap kali dimanfaatkan oleh mereka. Para waiters bahkan tak segan memerintah Lucia saat dia selesai menemani tamu. Saat Lucia hendak membawa alat makan kotor ke belakang, terasa sebuah tangan hangat memegangi lengan gadis itu. Dia menemukan seorang pria dalam keadaan mabuk dan cegukan. "Toilet, aku ingin, muntah," ucap pria berkaos hitam itu terbata karena cegukan. "Baik, Tuan, tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali setelah selesai meletakkan barang-barang ini." ucap Lucia sembari mengalihkan atensi pada pria yang bergelayut di tan
Eryk memperhatikan Lucia yang menangis dalam diam. Lagi-lagi pria itu tersenyum dalam hati. Kesedihan Lucia yang tampak oleh matanya menambah besar peluangnya untuk meluluhkan gadis itu. Pria itu menipiskan bibir dan menangkup kedua pipi Lucia yang saat ini menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata terpejam. Sentuhan Eryk pada kedua pipinya membuat mata Lucia terbuka seketika karena merasa terkejut. Dengan lembut Eryk mengusap air mata di kedua pipi Lucia, sangat berhati-hati sehingga Lucia merasa sedikit nyaman dengan perlakuan pria yang baru saja dia temui. "Berhenti menangis, Lucia. Air matamu terlalu berharga." ucap Eryk tanpa melepas tangannya dari wajah Lucia. Kedua manik cokelat gelapnya menatap hangat pada kedua mata Lucia, sehingga gadis itu mengulum senyum sembari mengangguk samar.Eryk melepas tangannya dari menyentuh wajah Lucia. Kini tangan kanan pria itu merangkul bahu Lucia yang seketika membuat hati gadis itu berdebar. Perasaan ini mirip dengan apa yang dia alami
Seorang pria menatap langit-langit ruang perawatan yang berwarna putih dan terkesan monoton. Ruangan yang dia tempati dipenuhi atmosfir kebosanan. Aroma obat-obatan yang khas kembali menyapa penciumannya. Ingin rasanya Henry bangkit dan berlari sejauh mungkin dari ruangan itu, tapi semua itu hanya menjadi angan. Masa kejayaannya telah berlalu dan tidak menyisahkan sedikit pun sisa pencapaian yang bisa dinikmati saat ini. Pria itu membuka selimut yang menutupi tubuh untuk mendapati kakinya yang bengkak. Hal itu membuat Henry tersenyum hambar setelahnya. Tubuh kekar yang dulu dia gunakan untuk mengarungi hidup, kini terbaring tak berdaya. Penyakit gagal ginjal yang dia alami adalah penyebabnya."Seharusnya kau ada disampingku saat ini, Megan." lirih Henry dengan kedua mata yang memanas. Ingatan masa indah bersama sang istri kembali berkelibat di kepala, bayangan itu seakan menari di atas penderitaannya saat ini. Dahulu, setiap pagi dia selalu dibangunkan dengan suara merdu Megan dan p
Seorang pria berusia 48 tahun berjalan menyusuri koridor menuju ruangan Eryk. Sesekali pria itu menarik siku untuk melihat jam tangan yang melingkar di pegelangan tangan, meeting akan di mulai 10 menit lagi. Namun Eryk, selaku CEO Fregrant Potions, yang juga merupakan putranya belum menampakkan batang hidungnya, sehingga Kent berniat menemui putranya di sendiri. Mudah saja, Kent bisa menyuruh bawahannya untuk memanggilkan Eryk agar segera datang ke meeting room. Tetapi mengingat panggilan teleponnya yang diabaikan, Kent tahu bahwa saat ini pemuda itu sedang bersenang-senang di dalam singgasananya, seperti waktu-waktu sebelumnya. Hal itu justru akan membuatnya merasa malu sebagai orang tua.Suara sepatu pantofel yang menapak di lantai terdengar menggema. Olivia, sekretaris pribadi Eryk langsung membuka mata lebar dan berdiri menyambut sang Direktur. Dengan sedikit berlari gadis itu beranjak dari bangku kerjanya."Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Olivia dengan canggung. Gadis 25 tah
Terhitung 4 bulan setelah Lucia dan Eryk menjalin hubungan, Lucia seolah memiliki sebuah tempat untuk bersandar dan menceritakan segala keluh kesahnya. Dia merasa Eryk adalah sesosok malaikat yang memang dikirim Tuhan untuk memapah langkahnya yang terseok-seok melewati segala rintangan hidupnya yang dipenuhi dengan bebatuan terjal. Malam itu, Eryk mengantar Lucia pulang ke rumahnya setelah mereka mengunjungi Henry di rumah sakit. "Apakah kau tahu, Eryk, aku merasa sangat bahagia bertemu denganmu." ucap Lucia sembari melepas seat beltnya. Gadis itu tersenyum, namun Eryk hanya membalas senyuman gadis itu dengan bibir yang menipis. Pria itu melihat ke arah bangunan rumah mewah yang ada di hadapan. Pekarangannya tampak tidak terawat. Rumput liar tumbuh di sepanjang tanah yang ada di sana. "Kenapa rumahmu gelap sekali? Dengan siapa kau tinggal?" masih berpegangan pada kemudi mobil, pria itu kini lebih terang-terangan memperlihatkan gestur penasarannya dengan sesuatu yang berada di dala
Lucia duduk di sebuah bangku taman sembari melihat ke sekeliling. Sudah 15 menit dia menunggu, namun Ruth tak kunjung tampak, sehingga dia mendengus sembari menumpu wajah dengan telapak tangan di atas paha. Semua orang tahu kalau menunggu adalah satu hal yang menyebalkan. "Huaa!" suara mengejutkan datang dari belakang disertai tepukan pada punggung Lucia yang saat itu terbalut dengan blouse berwarna kuning lemon. Lucia menoleh ke belakang sembari mengerucutkan bibir mungilnya, melempar delikan pada gadis yang terkekeh merasa puas karena berhasil mengejutkan Lucia. "Cepat sekali kau datang, apakah kau datang menaiki seekor siput?" sindir Lucia sembari melipat tangan di depan dada. Ruth mengambil posisi duduk di sebelah Lucia dengan kekehan yang tersisa. "Maafkan aku, aku harus membantu ibuku memandikan nenekku sebelum pergi." gadis itu menghela nafas lelah sembari tersenyum hambar. Lucia sudah mendengar jika nenek Ruth tidak lagi bisa beraktivitas akibat stroke yang menyerang di
Wajah pria paruh baya itu mengeras, sepertinya dia tidak main-main dengan ancamannya beberapa waktu lalu. Sesekali Eryk menundukkan kepala untuk mendapati punggung bergetar Lucia yang ketakutan. "Ayah ..." lirih Eryk sembari mengusap batang hidung bangirnya. Pemuda itu tampak gugup sekarang. Dari ucapan Eryk, Lucia kini mengetahui bahwa pria paruh baya yang kini berjalan mendekat adalah ayah dari Eryk. Pria itu menatap putranya dengan tatapan tajam menghunus, hingga Eryk kesulitan menelan saliva. Seketika atmosfir ruangan terasa susah untuk dihirup. "Apa kau pikir ancamanku hanyalah main-main, Eryk." ucap Kent dengan suara bergetar, sarat akan kemarahan. Lucia yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa mempererat pelukannya pada kaki Eryk. "Ini bukan kemauanku, Ayah, gadis ini memaksa untuk menemuiku meski aku sudah mencegahnya," Eryk berkilah seraya melepas pelukan tangan Lucia di kakinya. Gadis itu terperangah melihat perlakuan Eryk. Pria itu memperlakukan L
Di sebuah kamar perawatan, Eryk tampak bosan sembari mengetuk-ngetukkan jarinya pada nakas yang terletak di sebelah ranjang. Sesekali pria itu membuka ponsel untuk membalas beberapa pesan yang masuk dari para wanita yang mengajaknya bersenang-senang. "Arrgh, kalau saja Ayah tidak menyakitinya. Seharusnya kita berada di rumah untuk istriahat malam ini." Eryk mendengus sembari menopang dagu dengan dua telapak tangan. Sementara itu, Kent tampak berdiri di depan jendela dan memperhatiakn gemerlap bintang di langit. Pria itu hanya merespon ucapan putranya dengan senyuman hambar. Semenjak Lucia dipindahkan di ruang perawatan, pria itu terus saja menjaga jarak dari gadis tersebut. Kent merasakan debaran yang menyiksa setiap kali menatap wajah Lucia. "Pulanglah jika kau bosan. Biar aku sendiri yang menunggu hingga gadis itu sadar." dengan tenang Kent berucap, tanpa menoleh ke arah Eryk yang memasang raut bersungut. Setelah ucapan itu lolos dari bibir Kent, seketika Eryk tersenyum dan men