Share

4. Dipecat

Seorang gadis waiters bernama Mimi meminta Lucia untuk membereskan piring dan gelas kotor di beberapa meja. Dengan terpaksa gadis itu menyanggupi, meski dalam hati dia merasa sangat terpaksa saat melakukan pekerjaan yang semestinya tidak dia kerjakan.

Ada banyak pekerja di sana, tetapi mengapa harus Lucia yang membantu menyelesaikan tugas waiters? Kepolosan, kebaikan, serta usia Lucia yang terbilang paling muda di antara semua pekerja Queen Fortune kerap kali dimanfaatkan oleh mereka. Para waiters bahkan tak segan memerintah Lucia saat dia selesai menemani tamu.

Saat Lucia hendak membawa alat makan kotor ke belakang, terasa sebuah tangan hangat memegangi lengan gadis itu. Dia menemukan seorang pria dalam keadaan mabuk dan cegukan.

"Toilet, aku ingin, muntah," ucap pria berkaos hitam itu terbata karena cegukan.

"Baik, Tuan, tunggulah sebentar. Aku akan segera kembali setelah selesai meletakkan barang-barang ini." ucap Lucia sembari mengalihkan atensi pada pria yang bergelayut di tangannya dengan sedikit panik.

"Manis, sebentar saja. Aku bahkan sudah mengincarmu sejak satu minggu lalu,"

Ucapan yang keluar dari mulut pria mabuk itu membuat bulu Lucia meremang. Kata mengincar bisa saja bermakna negatif. Lucia pikir pria itu hanya ingin memintanya mengantar ke toilet untuk mengeluarkan isi perut.

"Tunggulah sebentar, aku sedang sibuk," kilah Lucia sembari berusaha melepas pegangan pria berbadan kekar itu dari lengannya.

Namun seolah tidak membiarkan mangsanya lepas, pria itu menarik pinggang feminim Lucia hingga membuat gadis itu kaget dan nyaris melompat, pegangan pada alat makan yang terbuat dari kaca pun luput. Suara benturan lantai dengan kaca terdengar begitu nyaring dan menarik perhatian orang-orang.

"Manis, aku mengincarmu selama satu pekan, aku hanya menginginkanmu menemani tidurku malam ini saja. Please, malam ini saja," ucap pria itu yang semakin menarik tubuh Lucia ke dalam pelukan.

Sekeras apa pun Lucia memberontak, sekuat itu pula pelukan pria itu bertambah kuat. Sehingga tidak ada pilihan lain selain berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang mau menolongnya. Meski dia tahu, pelecehan yang saat ini dia terima hanya akan mengundang tawa bagi rekan sesama pelayan di sana.

"Lepas! Sudah ku katakan, lepaskan aku!" jerit Lucia sembari memukulkan baki yang dia bawa pada wajah rupawan pria di hadapan.

Lucia pikir dengan pukulan bertubi-tubi akan membuat pria itu menyerah, limbung karena mabuk berat, ternyata dia salah. Tampak kedua mata pria itu memerah dan melotot dengan kilat amarah yang sangat kentara, seolah baru saja menerima lemparan kotoran di wajahnya.

Pria itu mendorong Lucia hingga terjerembab di atas lantai. Bibir mungil gadis itu terluka, saat terasa sesuatu berbau amis menetes dari bibir bagian dalam, Lucia menyentuh dengan telapak tangan. Kini jemari gadis itu berwarna merah akibat darah segar yang keluar dari bibir Lucia.

Dengan tatapan sedukif pria itu mulai meraih kaki jenjang gadis itu. Teriakan Lucia seolah menambah semangatnya untuk terus mengganggu gadis itu.

Lalu, apa yang dilakukan orang-orang yang ada di sana? Mereka hanya melirik sekilas, mereka enggan mencelupkan tangan ke dalam gelas masalah hidup orang lain. Terlebih pria itu adalah ketua gank motor yang amat di segani, pria itu bernama Anthony Reid.

"Jeritanmu terdengar mengalun merdu di telingaku, Nona," Anthony menangkup pipi Lucia yang terduduk di lantai dengan kedua tangan. Nyaris pria itu mengecup bibir Lucia yang tampak terus menghindari berdekatan dengan pria itu.

Secara tiba-tiba Anthony jatuh terjerembab dan pingsan setelah seseorang memukulkan kursi pada punggung pria itu.

Detak jantung Lucia sedikit melambat saat pria itu tergeletak di atas lantai, namun di saat bersamaan kegelisahan kembali menyerang pikirannya. Bagaimana jika atasannya tahu bahwa gadis itu baru saja menjadi biang keributan di tempat usahanya? Bukan hal mustahil jika boss Queen Fortune akan memberhentikan gadis itu dari pekerjaanya sekarang.

"Ah, lagi-lagi kau memancing keributan di sini," ucap salah satu gadis yang ada dalam satu gerombolan hostess. Mereka datang hanya untuk mendapati raut bersalah Lucia. Mereka sangat tidak sabar untuk menyeksikan gadis itu ditendang dari pekerjaannya di cafe tersebut.

Ronald, pria berbadan gempal berusia 50 tahun langsung datang ke tempat usaha miliknya begitu mendengar kabar bahwa salah satu hostess di cafenya memukuli pengunjung, dan itu untuk ke dua kalinya dalam waktu dua hari berturut.

"Maaf, Boss, saya bisa menjelaskan," ucap Lucia dengan perasaan gugup. Bahkan berulang kali bibirnya membuka dan menutup tanpa ada kata yang keluar dari bibir mungilnya. Gadis itu sampai kehabisan kata-kata karena semua pandangan rekan yang membencinya menatap Lucia seolah dia lah penyebab keributan di cafe selama dua hari berturut-turut.

"Aku masih memaklumi untuk kemarin, tetapi tidak untuk hari ini. Dengan terpaksa aku meminta agar kau berhenti dari pekerjaan ini." ucap Ronald sembari menunjuk ke arah pintu utama. Tampak kemarahan berarak di wajah pria bertebuh gempal itu.

Seketika dahi Lucia mengernyit penuh tanya.

"Boss, aku korban! Apakah aku harus diam saat seseorang berusaha melecehkanku?" geram Lucia tidak habis pikir atasannya sama sekali tidak memberinya perlindungan. Padahal jelas-jelas dia adalah korban.

Di tengah ketegangan yang menyelimuti, Eryk menarik senyum ke salah satu sudut bibir. Ini adalah kesempatan untuk kembali meluluhkan hati gadis itu.

Seolah tidak mau mendengar apa pun penjelasan dari Lucia, Ronald tampak menggeleng dengan kedua tangan ditempelkan pada dua sisi telingannya.

Lucia menatap nanar pada semua orang yang menyaksikan pemberhentiannya secara tidak hormat dari pekerjaan. Beberapa di antara mereka tersenyum manis, namun sarat akan kebencian dan kegembiraan saat gadis itu kembali menyeka air mata dia dua pipinya.

Sadar segala ucapannya tidak akan lagi didengar, Lucia membalik tubuh dan perlahan pergi meninggalkan tempat itu.

Gadis itu berjalan dengan gontai saat keluar dari cafe. Sederet pertanyaan menghantam kepalanya. Selama ini dia menerima pendapatan dari tip yang di beri para pengunjung, dari setiap minuman yang laku terjual pada hari dia bekerja.

Namun kemana dia akan mendapatkan uang setelah ini? Lucia mendesah dan menarik nafas dalam-dalam.

Gadis itu memutuskan untuk duduk di kursi depan cafe dengan perasaan melankolis. Menatap sayu pada setiap orang yang melempar tatapan bertanya atas air matanya yang tidak kunjung surut.

Tatapan Lucia teralihkan pada sosok pria yang baru saja datang dari arah yang baru saja dia lalui.

Dengan cepat gadis itu menyeka air mata. Dia tidak ingin mempertontonkan tangisan pada pria di hadapan.

Lucia membuang wajah ke arah lain untuk menghindari bertatap mata dengan pria itu.

"Maafkan aku. Tidak seharusnya aku memukulnya tadi. Tetapi melihatmu yang diperlakukan seperti wanita murahan membuatku naik pitam." Eryk menunjukkan raut bersalah untuk menarik perhatian gadis itu.

Seketika bibir Lucia tersenyum samar mendengar ucapan tulus pria itu.

"Kau tidak bersalah. Justru aku berterima kasih karena kau telah menyelamatkan aku lagi hari ini." Lucia nampak sengaja menghindari tatapan pria itu.

"Apa yang bisa ku lakukan untuk menebus perasaan bersalahku?" Eryk berjalan semakin mendekat dengan kedua tangan tersimpan di balik saku celana.

"Harus berapa kali ku bilang, kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini." Lucia mendongak untuk mendapati wajah rupawan pria di hadapan.

Pria itu mengunci pandangan keduannya. Namun getar ponsel nampaknya jauh lebih menarik perhatian Lucia dari pada berlama-lama menatap wajah rupawan pria di hadapan.

Seketika telapak tangan Lucia basah oleh keringat saat nomor yang menghubunginya adalah nomor rumah sakit tempat sang ayah dirawat.

"Halo," sapanya pelan kepada seseorang di seberang sambungan.

"Hallo, selamat malam. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa ayah anda harus segera menjalani proses cuci darah." ucap seorang wanita dari seberang sambungan dengan suara yang di buat setenang mungkin. Ada perasaan iba dari perempuan di seberang sambungan karena dia sering mendapati Lucia meminta dispensasi untuk pembayaran berobat sang ayah.

Seketika Lucia meletakkan satu tangan yang bebas di depan bibirnya yang mengangga. Kedua matanya memanas, kedua matanya seakan berlomba untuk kembali melepas buliran air mata. Setelah baru saja dia kehilangan pekerjaan, kini dia dihadapkan pada masalah yang menurutnya cukup rumit. Dia membutuhkan uang untuk membayar pengobatan sang ayah yang harus menjalani prosedur cuci darah secepatnya. Dengan apa Lucia harus membayar?

Lucia menengadahkan wajahnya ke langit. Dunianya seakan runtuh saat itu juga. Kepada siapa dia harus bersandar?

Karena terlalu lama keheningan berlangsung, perempuan di sambungan seberang mengulangi kalimat yang sama, sehingga Lucia mengatakan; "Baik, saya akan segera ke sana dan membayar sejumlah uang untuk keperluan pengobatan ayah saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status