Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berka
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk ge
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada ya
Suara bariton yang cukup berat itu bukan hanya membuat jantung Arunika berdegup kencang, tetapi juga mengingatkan wanita muda itu pada malam terkutuk yang pernah terjadi di sebuah kamar hotel yang ada di Lokapala.Suara berat nan serak.Napas bau alkohol bercampur dengan wanginya parfum beraroma kayu hangat, serta sentuhan tangan dan lidah yang menjijikkan. Yang ingin Arunika hapus seumur hidup membuat sekujur tubuhnya meremang seketika.Napas Arunika mulai tersengal.Dadanya terasa sakit naik turun, sementara bintik-bintik peluh mulai menghiasi kening dan punggungnya. Kedua tangannya yang saat itu sedang menggendong bayi Radeva yang sudah terlelap mendadak lunglai.Ups …!Bayi mungil itu terlepas begitu saja dari gendongan Arunika, meluncur deras ke bawah.Sedikit lagi ....Sebelum kerasnya keramik menyapa kepala dan pemilik tubuh mungil itu, tahu-tahu datanglah sepasang tangan yang terbungkus oleh sarung tangan latex berwarna putih. Kesepuluh jari tangan itu bergerak cepat menangkap
“Aru! Aru! ARUUUU!”Nalini berteriak nyaring ketika tak mendapati satu hidangan pun tersedia di atas meja makan. Wajah bulat wanita paruh baya itu kian meradang begitu tangannya membuka wadah penanak nasi.KOSONG!“Gimana toh perempuan itu!? Malasnya nggak ketulungan! Masa udah jam tujuh pagi belum juga nyiapin sarapan buat Akash!”Akash yang baru saja keluar kamar sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah lantas bertanya. “Memangnya siapa yang Ibu marahi pagi ini?”“Ya, tentu saja istrimu yang kampungan dan pemalas itu! Masa jam segini belum juga masak?! Kamu cepat bangunin atau mau wajah istrimu itu Ibu lempar pakai sandal?”“Istri?” Akash menautkan kedua alisnya yang berbentuk garis lurus.Lalu dikeluarkannya suara tawanya yang ringan, seiring dengan tangan kanannya yang mulai mengisi dua buah cangkir kosong dengan bubuk kopi.“Ibu ini kenapa?” tanyanya bersamaan dengan bunyi seduhan air panas yang keluar dari bibir termos. “Udah mulai pikun atau gimana? Baru juga semalam Arun
Permintaan telah diungkap.Janji pun usai terucap.Tak ada kata mundur untuk mengelak, apalagi mengingkarinya.Sepuluh jam yang lalu atas izin dari Katrina Cantika, Arunika mendapat tempat bermalam di rumah itu. Bukan sebuah kamar tamu dengan selimut dan kain sepreinya yang harum, melainkan sebuah ruangan kecil yang pengap dan juga lembab. Penuh dengan aroma jamur dan jaring laba-laba di keempat sudut dindingnya. Tak apa, pikir Arunika malam itu.Dengan berbekal lampu teplok berisi minyak tanah, Arunika masih sanggup untuk membersihkan ruangan yang lebih mirip seperti sebuah gudang yang letaknya di belakang bangunan utama."Sebelum kamu tidur, mandi dulu sana! Terus ganti pakaianmu sama ini.” Seorang kepala pelayan Keluarga Prama bernama Nami memberikan sesuatu kepada Arunika. “Nggak pantas kamu itu tinggal di rumah ini dengan kain jarik seperti itu.”“Aku tau, Bi.” Arunika menunduk. “Tapi cuma jarik ini yang kupunya,” ucapnya kemudian mengambil selembar handuk dan pakaian yang terli
Di saat Kaivan sedang menunggu proses tes kesehatan yang dilakukan Arunika. Ingatan pria itu lantas bergerak mundur ke masa lalu.Sepuluh bulan yang lalu ….Pagi itu Kaivan terbangun dalam sebuah kamar hotel yang ada di Lokapala. Dia sunggung bingung, kenapa dirinya tidak bangun di kamar pribadinya melainkan di ruangan asing yang tak pernah disinggahinya.Meskipun Kaivan adalah seorang presiden direktur, tapi sebisa mungkin dia tidak membiarkan dirinya untuk bermalam di luar rumah. Andai kata, dia memiliki pertemuan bisnis di luar negeri, maka dia akan menyewa sebuah rumah kecil atau satu unit apartemen yang sebelumnya telah terjamin tingkat kebersihan dan keamanannya.Berulang kali Kaivan memijit kening serta menggelengkan kepala untuk mengusir rasa pengar yang menghinggapi.Apa yang terjadi semalam? pikirnya.Mendadak bayangan segelas minuman beralkohol yang baru saja dia teguk, seringai seorang pria yang menatap dirinya dari atas sofa berpadu dengan cahaya lampu temaram yang mulai b
KYAAAA …!Arunika hampir saja terjungkal, seandainya tangan kanannya itu tidak segera memegang bagian tepi pintu mobil yang terbuka. Padahal pria itu hanya bersuara tanpa menatap dirinya, tapi seperti yang sudah-sudah … suara bariton yang berat milik Kaivan Ararya Prama kembali mengingatkannya pada pria terkutuk itu.Membuat detak jantung Arunika berdegup tak sebagaimana mestinya.Menimbulkan titik-titik peluh yang menghiasi keningnya yang sempit, padahal cuaca di pagi hari ini tidak terlalu terik dan semilir angin Laut Segara Wetan berembus riang menyapa wajah Arunika yang memucat.Januar yang melihat hal itu lantas menghampiri. “Kamu nggak apa-apa, Aru?”“Nggak. Nggak apa-apa kok.” Arunika menggeleng lemah.Dia tak menyadari, bahwa kedua pipinya mulai semburat merah karena menahan malu. “Aku cuma terkejut. Sedikit. Kupikir di dalam mobil nggak ada orang, ehh … nggak taunya ada … tuan pemarah,” bisiknya di akhir perkataannya. Januar terkekeh mendengar Arunika menamai sahabat yang s
Permintaan telah diungkap.Janji pun usai terucap.Tak ada kata mundur untuk mengelak, apalagi mengingkarinya.Sepuluh jam yang lalu atas izin dari Katrina Cantika, Arunika mendapat tempat bermalam di rumah itu. Bukan sebuah kamar tamu dengan selimut dan kain sepreinya yang harum, melainkan sebuah ruangan kecil yang pengap dan juga lembab. Penuh dengan aroma jamur dan jaring laba-laba di keempat sudut dindingnya. Tak apa, pikir Arunika malam itu.Dengan berbekal lampu teplok berisi minyak tanah, Arunika masih sanggup untuk membersihkan ruangan yang lebih mirip seperti sebuah gudang yang letaknya di belakang bangunan utama."Sebelum kamu tidur, mandi dulu sana! Terus ganti pakaianmu sama ini.” Seorang kepala pelayan Keluarga Prama bernama Nami memberikan sesuatu kepada Arunika. “Nggak pantas kamu itu tinggal di rumah ini dengan kain jarik seperti itu.”“Aku tau, Bi.” Arunika menunduk. “Tapi cuma jarik ini yang kupunya,” ucapnya kemudian mengambil selembar handuk dan pakaian yang terli
“Aru! Aru! ARUUUU!”Nalini berteriak nyaring ketika tak mendapati satu hidangan pun tersedia di atas meja makan. Wajah bulat wanita paruh baya itu kian meradang begitu tangannya membuka wadah penanak nasi.KOSONG!“Gimana toh perempuan itu!? Malasnya nggak ketulungan! Masa udah jam tujuh pagi belum juga nyiapin sarapan buat Akash!”Akash yang baru saja keluar kamar sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah lantas bertanya. “Memangnya siapa yang Ibu marahi pagi ini?”“Ya, tentu saja istrimu yang kampungan dan pemalas itu! Masa jam segini belum juga masak?! Kamu cepat bangunin atau mau wajah istrimu itu Ibu lempar pakai sandal?”“Istri?” Akash menautkan kedua alisnya yang berbentuk garis lurus.Lalu dikeluarkannya suara tawanya yang ringan, seiring dengan tangan kanannya yang mulai mengisi dua buah cangkir kosong dengan bubuk kopi.“Ibu ini kenapa?” tanyanya bersamaan dengan bunyi seduhan air panas yang keluar dari bibir termos. “Udah mulai pikun atau gimana? Baru juga semalam Arun
Suara bariton yang cukup berat itu bukan hanya membuat jantung Arunika berdegup kencang, tetapi juga mengingatkan wanita muda itu pada malam terkutuk yang pernah terjadi di sebuah kamar hotel yang ada di Lokapala.Suara berat nan serak.Napas bau alkohol bercampur dengan wanginya parfum beraroma kayu hangat, serta sentuhan tangan dan lidah yang menjijikkan. Yang ingin Arunika hapus seumur hidup membuat sekujur tubuhnya meremang seketika.Napas Arunika mulai tersengal.Dadanya terasa sakit naik turun, sementara bintik-bintik peluh mulai menghiasi kening dan punggungnya. Kedua tangannya yang saat itu sedang menggendong bayi Radeva yang sudah terlelap mendadak lunglai.Ups …!Bayi mungil itu terlepas begitu saja dari gendongan Arunika, meluncur deras ke bawah.Sedikit lagi ....Sebelum kerasnya keramik menyapa kepala dan pemilik tubuh mungil itu, tahu-tahu datanglah sepasang tangan yang terbungkus oleh sarung tangan latex berwarna putih. Kesepuluh jari tangan itu bergerak cepat menangkap
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada ya
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk ge
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berka
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k