Entah mengapa wanita itu masih saja berhubungan layaknya keluarga dengan Mas Nata, bukannya tak boleh tapi melihat tingkahnya yang seperti itu aku takut Niami justru membuat hatiku semakin goyah dan bimbang.
"Ayo, Nyonya," ajak Bibik. Aku mengerjapkan mata dan buru-buru menutup pintu.Bibik mengajakku ke kamar tamu, ia menyuruhku untuk beristirahat di sana.Kutatapi kamar luas yang didominasi cat dinding berwarna putih dan list gold, ada beberapa furniture kayu dan ornamen jati yang disimpan di kamar ini, membuatnya terkesan sangat mewah kalau hanya untuk ukuran kamar tamu.Apa seberuntung itukah aku? Pantas saja ibu bilang aku tak boleh menolaknya, tapi meski begitu aku tahu alasan ibuku menerima pinangan Mas Nata bukan semata-semata hanya soal hartanya yang berlimpah, melainkan karena aku memang sudah waktunya berumah tangga. Teman-teman seusiaku bahkan sudah ada yang punya anak 2 atau bahkan 3."Nyonya, saya permisi ke dapur ya.""Iya Bi, terimakasih."Bibik kembali ke dapur untuk membereskan meja makan bekas tadi kami berbuka puasa, katanya nanti beliau akan melanjutkan pekerjaannya menyiapkan makan berat agar saat Mas Nata dan anak-anak pulang dari masjid mereka bisa segera mengisi perut.Setelah terdengar azan isya aku segera menuju ke mushola rumah, aku sholat sendiri di sana sementara bibik masih terdengar sibuk di dapur."Biar saya bantu, Bik," ucapku, selesai salat sengaja aku menghampiri bibik ke dapur."Tidak usah Nyonya Elia, nanti tangannya kena minyak, Tuan Nata takut marah," tolak beliau.Wanita paruh baya itu terlihat sedang sibuk memotong wortel tapi ia tetap tersenyum ramah padaku. Akhirnya aku duduk saja di kursi bar dan memilih menemani bibik memasak di dapur daripada kembali ke kamar."Mau masak apa?" tanyaku lagi."Sayur sop Nyonya, Tuan Nata suka sekali dengan sayur sop yang dibuat dadakan, jadinya meski agak berburu dengan waktu saya harus selalu memasak sayur sop dadakan seperti ini."Aku berusaha menawarkan diri untuk membantunya tapi lagi-lagi bibik menolak dengan alasan takut dimarahi sang majikan."Sebenarnya saya sudah terbiasa melakukan apa yang Bibik lakukan, jadi saya pikir nanti setelah menikah saya juga akan ikut membantu Bibik memasak," ucapku kemudian.Bibik tertegun sebentar, ia menautkan alis sambil menatapku."Kenapa, Bik?" tanyaku heran."Enggak Nyonya, hanya sedikit kaget saja, ternyata Nyonya Elia ini sangat sederhana orangnya, beda sekali dengan Nyonya Niami, jangankan membantu masak, masuk ke dapur saja beliau tidak pernah mau, katanya takut kulitnya kena minyak," ujarnya panjang lebar.Aku tersipu sendiri mendengar ucapan bibik."Nyonya Elia tahu tidak? Pekerjaan Nyonya Niami itu cuma ada tiga, kerja depan kamera, jalan-jalan dan tidur. Selama ini nyonya Amara menyerahkan semua pekerjaan pada saya, mengurus rumah, mengurus dapur, dan mengurus semua keperluan anak-anak. Untung saja gaji saya besar, kalau tidak mana mau saya menghandle semuanya," imbuh beliau lagi.Aku hanya mengulum senyuman tipis sambil manggut-manggut di tempat.Kami terus mengobrol selama memasak, Aku bersyukur karena malam ini bibik memberiku banyak sekali informasi soal kondisi di rumah ini, dan aku pasti akan ingat apa yang dikatakan bibik baik-baik untuk kujadikan bahan pelajaran dan evaluasi saat nanti aku telah resmi tinggal di sini."Bi, soal Ayyara bagaimana?" tanyaku saat obrolan bibik sudah mulai padam."Emm Non Ayyara ya Nyonya? Emm anu ... saya pikir sebenarnya ... orang yang paling terpukul atas masalah dan pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di rumah ini antara Nyonya Niami dan Tuan Nata adalah Non Ayyara. Anak gadis itu sekarang jadi sangat pendiam dan semakin tertutup sejak tuan dan Nyonya Niami memutuskan bercerai, entahlah sayapun tak bisa menyelami hati Non Yara, karena susah sekali mengobrol atau sekedar menyapanya sekarang," jawab Bibik dengan raut wajah yang mendadak berubah lesu."Non Yara jadi senang mengunci diri di kamarnya, entah apa yang dilakukannya tapi Non Yara tak pernah terdengar menangis atau marah, dia hanya jadi sosok yang pendiam saja," imbuh Bibik lagi.Kepalaku manggut-manggut mengingat dengan baik apa yang dikatakan bibik barusan, aku tahu semua informasi itu akan sangat berharga untukku."Sini Bik, saya saja yang masak." Aku memaksa mengambil alih tugas Bibik, pekerjaaannya masih banyak jadi biarlah aku saja yang memasak untuk Mas Nata dan anak-anaknya, aku harap mereka juga akan sedikit senang jika aku melakukan ini."Kalau buat Nyonya Amara jangan pakai gula terlalu banyak ya Nyonya, katanya takut diabetesnya semakin parah.""Baik, Bik." Aku mengacungkan dua jempolku kemudian melanjutkan pekerjaanku hingga selesai.Sup sayur hangat untuk Mas Nata, ayam goreng tepung untuk anak-anak dan sayur bening untuk calon ibu mertuaku, aku harap mereka semua menyukainya.Aku segera menata piring dan gelas setelah menyajikan hidangan yang telah kubuat. Saat santapan makan sudah siap, terdengar juga suara do'a di akhir salat tarawih sedang dilantunkan di mesjid."Ya Allah, Ya Rabbi, semoga apapun yang aku niatkan baik, akan Engkau beri jalan yang mudah." Aku memohon dalam hati sambil menatap meja makan mewah yang tak pernah aku lihat sebelumnya.Seorang perawan tua yang selalu berdo'a dengan iringan air mata, kini benar-benar akan mendapatkan kehidupannya yang selama ini ia impikan, aku bersyukur Allah pertemukan aku dengan Mas Nata di saat Ramadhan ini, bulan yang penuh keberkahan dan penuh ampunan, semoga kelak rumah tanggaku mendapat keberkahannya pula.Lama termenung menatapi hidangan di meja makan aku mendengar suara derap langkah kaki masuk ke dalam rumah, Adira segera berlari kecil ke arah meja makan dan mengambil tempatnya. Mas Nata, Niami dan calon ibu mertuaku melakukan hal yang sama, kecuali Ayyara, si sulung itu langsung naik ke atas begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi.Tapi tidak mengapa, aku juga tidak bisa memaksa seseorang menyukaiku, apalagi setelah mendengar cerita dari bibik membuatku amat merasakan apa yang Ayyara rasakan sekarang, saat semua orang tidak memahami posisiku dan selalu saja mengatakan aku seorang gadis tidak laku atau perawan tua, aku juga sempat putus asa dan menjadi pendiam, hanya saja aku tidak selalu mengunci diri di dalam kamar, karena ibu selalu memberiku semangat saat itu.Hingga akhirnya aku masih bisa berdiri kokoh di sini dan sekarang aku sudah hampir mencapai apa yang selama ini aku impikan."Sudah biarkan saja Nak, Ayyara sedang butuh waktu, ayo duduk dan makanlah," ucap calon Ibu mertua, membuatku membuyarkan tatapan pada Ayyara.Aku segera duduk di samping Mas Nata dan mulai menyedok sedikit nasi pada piringku. Sementara kulihat Niami menatapku dengan tajam."Emm Bibik tumben masakannya beda," kata calon Ibu mertua seraya menyeruput sayur beningnya berkali-kali."Iya Nyonya, Nyonya Elia yang membuatnya," sahut Bibik melirik ke arahku."Emm enak, El. Ibu tidak pernah makan masakan seperti ini, ternyata kamu pintar masak juga ya, tidak seperti menantu Ibu sebelumnya," ucap beliau lagi melirik sinis pada Niami.Aku melihat mata Niami mengerling, ia juga tampak menelan salivanya lalu menjatuhkan sendok dan garpu yang tengah ia pegang lantas mereguk segelas air hingga tersisa setengahnya saja.Melihat itu aku memilih menunduk menatap makanan yang ada di depanku lamat-lamat, aku merasa tidak enak hati sebab calon ibu mertua sudah memujiku di depan Niami. Aku tidak tahu seberapa besar kesalahan Niami di mata Mas Nata dan ibunya hingga mereka berdua bersikukuh ingin segera aku menggantikan posisi Niami di rumah ini."Ibu nyindir aku?" tanya Niami kemudian. Ia menatap tak suka pada calon ibu mertuaku."Memang kenyataannya seperti itu 'kan?" ketus calon Ibu mertua.Dreett.Niami bangkit dari kursinya, lalu pergi ke luar dengan wajah yang sudah merah padam."Mamaaa!" teriak Adira, si bungsu lantas berlari mengejar Niami."Sudah di sini saja, kalau Adira ikut Mama nanti Papa dan Omamu ngamuk-ngamuk," kata Niami."Tapi Adira mau ikut sama Mama, bawa Adira pergi, Adira mohon, Ma," rengeknya di bawah k
"Bu, bagaimana kalau Elia lihat Mas Nata dulu?" Aku meminta izin.Calon ibu mertua mengangguk. Sedikit ragu, namun kupaksakan kaki melangkah ke sana.Aku hanya berani berjalan sampai di bibir pintu, dari sana aku sudah dapat mendengar dan melihat sendiri Mas Nata sedang memarahi bahkan nyaris sedang memaki-maki anak lelakinya itu habis-habisan. Aku menarik napas berat, entah mengapa Mas Nata harus melakukan hal itu? Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Apakah ini perangai calon suamiku yang sebenarnya? Hatiku jadi makin ciut dan takut, pasalnya aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami dengan watak yang keras seperti itu.Aku mengusap dadaku, segumpal daging di dalamnya tengah berdetak hebat tak beraturan. "Avin!!"Aku terperanjat mendengar Mas Nata berteriak sambil melayangkan tangan kanannya ke atas, sejurus dengan itu kakiku refleks berlari ke arahnya dan menahan tangan itu agar tidak mendarat di pipi Alvin."Apa-apaan ini, Mas? Tidak perlu seperti ini pada a
Ayyara menyipitkankan matanya saat mendengarku bertanya, tatapannya tidak berubah sejak tadi sore aku datang ke rumah ini. Masih menampakan kebencian dan ketidaksukaan padaku."Bukan urusanmu," decitnya. Gadis itu lantas menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Astagfirullah, aku mengelus dada, mencoba terus sabar memahaminya. "Non Yara memang sering pulang pagi, Nyah." Bibik berbisik di telingaku. Aku tertegun mendengarnya."Yang bener, Bik?" tanyaku tak percaya.Bibik menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "sssttt, jangan bilang-bilang sama orang rumah, Nyah," bisik Bibik."Memangnya kenapa?" tanyaku heran."Non Yara mengancam Bibik seperti itu, kalau informasi ini sampai di telinga Tuan Nata dan Nyonya Amara, Non Yara akan memecat, Bibik," jawab Bibik serius.Aku menarik napas panjang, jadi selama ini Ayyara sering pulang pagi dan Mas Nata tidak tahu? Ya ampun, entah apa yang sudah dilakukan gadis itu di luar sana."Sejak kapan Ayyara sperti itu, Bik?" tanyaku lagi."Seja
Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi."Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang." Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua. Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku
Sampai di depan pintu ruangan itu kulihat dengan baik-baik Ayyara sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum pergi untunglah aku ingat aku harus melihat papan informasi yang dipasang di atas pintu ruang tersebut. Dan aku terhenyak, mendadak dadaku juga berdetak tak beraturan saat kulihat dengan jelas ternyata ruangan tempat dimana Ayyara tadi bicara dengan seorang dokter adalah poli 'KANDUNGAN'. Sedang apa Ayyara di poli kandungan?Apa di sekolahnya ada pemeriksaan yang mengharuskan dia pergi ke sini? Atau apa jangan-jangan, Ayyara ...? Astagfirullah. Aku menutup mulut dengan tangan, bukannya mau berpikir negatif, tapi gadis itu bisa saja berbuat yang tidak-tidak tanpa diketahui siapapun, lebih-lebih kondisi rumahnya sedang tidak baik-baik saja."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Pertanyaan seorang dokter membuatku mengerjap, dokter dari poli kandungan ternyata sudah berdiri tepat di bibir pintu ruangan itu.Kulihat papan namanya adalah dokter Fauzan, dokter itu tampak masih muda sekali,
Gara-gara Adira bicara soal Alvin, aku jadi teringat anak itu. Hampir saja perhatianku teralih semua pada Ayyara, padahal Alvin juga entah kemana sekarang. Kata Bu Nurma, Alvin tidak datang sekolah sudah seminggu lebih, alasannya sakit, padahal dari rumah dia berangkat setiap hari. Tidak aneh lagi, sudah pasti ada masalah juga pada anak itu.Ya Allah ... aku refleks memijit pelipis, terasa berat sekali rasanya tugasku nanti saat menjadi ibu tirinya anak-anak Mas Nata.Jujur sebenernya makin ke sini aku makin ragu, apa mungkin aku sanggup menjadi bagian dari mereka?Arghhh. Andai bukan karena ibuku, aku mungkin sudah kabur sekarang, mengurusi dan masuk di dalam keluarga yang berantakan tentu tidak akan mudah, apalagi aku tak punya pengalaman apapun sebelumnya. Tapi sisi lain aku juga kasihan sama anak-anak Mas Nata, mereka masih muda tapi kehidupan mereka sudah hancur berantakan.-Aku turun dari taksi setelah kami sampai di rumah. Meski tanganku masih sakit aku terpaksa harus mengge
Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper
Astagfirullah astagfirullah astagfirullah, aku menepuk-nepuk kening, sekuat tenaga membuang semua pikiran buruk yang bergulung di benakku."Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik di samping."Tidak apa-apa, Bik," jawabku pendek, aku benar-benar sudah tidak karuan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah.Taksi yang kami naiki segera meluncur membelah jalanan, menyatu bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Aku mengembuskan napas lega, tentu aku sudah jauh lebih tenang sekarang.Ya Allah, sisi lain dari kehidupan kota ini ternyata benar-benar membuat aku syok, baru saja tadi pagi aku mendapat kabar yang seolah menghentikan kerja jantungku soal kehamilan Ayyara, sekarang aku malah harus bertemu gadis-gadis yang nasibnya sama seperti Ayyara di tempat seperti itu. -"Nyah bangun sudah sampai." Bibik membangunkanku saat kami telah sampai di depan rumah. Tak terasa lamanya di perjalanan membuatku tertidur di dalam taksi.Aku mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, lalu bergegas turun."Terima