Share

Bab 3

Entah mengapa wanita itu masih saja berhubungan layaknya keluarga dengan Mas Nata, bukannya tak boleh tapi melihat tingkahnya yang seperti itu aku takut Niami justru membuat hatiku semakin goyah dan bimbang.

"Ayo, Nyonya," ajak Bibik. Aku mengerjapkan mata dan buru-buru menutup pintu.

Bibik mengajakku ke kamar tamu, ia menyuruhku untuk beristirahat di sana.

Kutatapi kamar luas yang didominasi cat dinding berwarna putih dan list gold, ada beberapa furniture kayu dan ornamen jati yang disimpan di kamar ini, membuatnya terkesan sangat mewah kalau hanya untuk ukuran kamar tamu.

Apa seberuntung itukah aku? Pantas saja ibu bilang aku tak boleh menolaknya, tapi meski begitu aku tahu alasan ibuku menerima pinangan Mas Nata bukan semata-semata hanya soal hartanya yang berlimpah, melainkan karena aku memang sudah waktunya berumah tangga. Teman-teman seusiaku bahkan sudah ada yang punya anak 2 atau bahkan 3.

"Nyonya, saya permisi ke dapur ya."

"Iya Bi, terimakasih."

Bibik kembali ke dapur untuk membereskan meja makan bekas tadi kami berbuka puasa, katanya nanti beliau akan melanjutkan pekerjaannya menyiapkan makan berat agar saat Mas Nata dan anak-anak pulang dari masjid mereka bisa segera mengisi perut.

Setelah terdengar azan isya aku segera menuju ke mushola rumah, aku sholat sendiri di sana sementara bibik masih terdengar sibuk di dapur.

"Biar saya bantu, Bik," ucapku, selesai salat sengaja aku menghampiri bibik ke dapur.

"Tidak usah Nyonya Elia, nanti tangannya kena minyak, Tuan Nata takut marah," tolak beliau.

Wanita paruh baya itu terlihat sedang sibuk memotong wortel tapi ia tetap tersenyum ramah padaku. Akhirnya aku duduk saja di kursi bar dan memilih menemani bibik memasak di dapur daripada kembali ke kamar.

"Mau masak apa?" tanyaku lagi.

"Sayur sop Nyonya, Tuan Nata suka sekali dengan sayur sop yang dibuat dadakan, jadinya meski agak berburu dengan waktu saya harus selalu memasak sayur sop dadakan seperti ini."

Aku berusaha menawarkan diri untuk membantunya tapi lagi-lagi bibik menolak dengan alasan takut dimarahi sang majikan.

"Sebenarnya saya sudah terbiasa melakukan apa yang Bibik lakukan, jadi saya pikir nanti setelah menikah saya juga akan ikut membantu Bibik memasak," ucapku kemudian.

Bibik tertegun sebentar, ia menautkan alis sambil menatapku.

"Kenapa, Bik?" tanyaku heran.

"Enggak Nyonya, hanya sedikit kaget saja, ternyata Nyonya Elia ini sangat sederhana orangnya, beda sekali dengan Nyonya Niami, jangankan membantu masak, masuk ke dapur saja beliau tidak pernah mau, katanya takut kulitnya kena minyak," ujarnya panjang lebar.

Aku tersipu sendiri mendengar ucapan bibik.

"Nyonya Elia tahu tidak? Pekerjaan Nyonya Niami itu cuma ada tiga, kerja depan kamera, jalan-jalan dan tidur. Selama ini nyonya Amara menyerahkan semua pekerjaan pada saya, mengurus rumah, mengurus dapur, dan mengurus semua keperluan anak-anak. Untung saja gaji saya besar, kalau tidak mana mau saya menghandle semuanya," imbuh beliau lagi.

Aku hanya mengulum senyuman tipis sambil manggut-manggut di tempat.

Kami terus mengobrol selama memasak, Aku bersyukur karena malam ini bibik memberiku banyak sekali informasi soal kondisi di rumah ini, dan aku pasti akan ingat apa yang dikatakan bibik baik-baik untuk kujadikan bahan pelajaran dan evaluasi saat nanti aku telah resmi tinggal di sini.

"Bi, soal Ayyara bagaimana?" tanyaku saat obrolan bibik sudah mulai padam.

"Emm Non Ayyara ya Nyonya? Emm anu ... saya pikir sebenarnya ... orang yang paling terpukul atas masalah dan pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di rumah ini antara Nyonya Niami dan Tuan Nata adalah Non Ayyara. Anak gadis itu sekarang jadi sangat pendiam dan semakin tertutup sejak tuan dan Nyonya Niami memutuskan bercerai, entahlah sayapun tak bisa menyelami hati Non Yara, karena susah sekali mengobrol atau sekedar menyapanya sekarang," jawab Bibik dengan raut wajah yang mendadak berubah lesu.

"Non Yara jadi senang mengunci diri di kamarnya, entah apa yang dilakukannya tapi Non Yara tak pernah terdengar menangis atau marah, dia hanya jadi sosok yang pendiam saja," imbuh Bibik lagi.

Kepalaku manggut-manggut mengingat dengan baik apa yang dikatakan bibik barusan, aku tahu semua informasi itu akan sangat berharga untukku.

"Sini Bik, saya saja yang masak." Aku memaksa mengambil alih tugas Bibik, pekerjaaannya masih banyak jadi biarlah aku saja yang memasak untuk Mas Nata dan anak-anaknya, aku harap mereka juga akan sedikit senang jika aku melakukan ini.

"Kalau buat Nyonya Amara jangan pakai gula terlalu banyak ya Nyonya, katanya takut diabetesnya semakin parah."

"Baik, Bik." Aku mengacungkan dua jempolku kemudian melanjutkan pekerjaanku hingga selesai.

Sup sayur hangat untuk Mas Nata, ayam goreng tepung untuk anak-anak dan sayur bening untuk calon ibu mertuaku, aku harap mereka semua menyukainya.

Aku segera menata piring dan gelas setelah menyajikan hidangan yang telah kubuat. Saat santapan makan sudah siap, terdengar juga suara do'a di akhir salat tarawih sedang dilantunkan di mesjid.

"Ya Allah, Ya Rabbi, semoga apapun yang aku niatkan baik, akan Engkau beri jalan yang mudah." Aku memohon dalam hati sambil menatap meja makan mewah yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

Seorang perawan tua yang selalu berdo'a dengan iringan air mata, kini benar-benar akan mendapatkan kehidupannya yang selama ini ia impikan, aku bersyukur Allah pertemukan aku dengan Mas Nata di saat Ramadhan ini, bulan yang penuh keberkahan dan penuh ampunan, semoga kelak rumah tanggaku mendapat keberkahannya pula.

Lama termenung menatapi hidangan di meja makan aku mendengar suara derap langkah kaki masuk ke dalam rumah, Adira segera berlari kecil ke arah meja makan dan mengambil tempatnya. Mas Nata, Niami dan calon ibu mertuaku melakukan hal yang sama, kecuali Ayyara, si sulung itu langsung naik ke atas begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi.

Tapi tidak mengapa, aku juga tidak bisa memaksa seseorang menyukaiku, apalagi setelah mendengar cerita dari bibik membuatku amat merasakan apa yang Ayyara rasakan sekarang, saat semua orang tidak memahami posisiku dan selalu saja mengatakan aku seorang gadis tidak laku atau perawan tua, aku juga sempat putus asa dan menjadi pendiam, hanya saja aku tidak selalu mengunci diri di dalam kamar, karena ibu selalu memberiku semangat saat itu.

Hingga akhirnya aku masih bisa berdiri kokoh di sini dan sekarang aku sudah hampir mencapai apa yang selama ini aku impikan.

"Sudah biarkan saja Nak, Ayyara sedang butuh waktu, ayo duduk dan makanlah," ucap calon Ibu mertua, membuatku membuyarkan tatapan pada Ayyara.

Aku segera duduk di samping Mas Nata dan mulai menyedok sedikit nasi pada piringku. Sementara kulihat Niami menatapku dengan tajam.

"Emm Bibik tumben masakannya beda," kata calon Ibu mertua seraya menyeruput sayur beningnya berkali-kali.

"Iya Nyonya, Nyonya Elia yang membuatnya," sahut Bibik melirik ke arahku.

"Emm enak, El. Ibu tidak pernah makan masakan seperti ini, ternyata kamu pintar masak juga ya, tidak seperti menantu Ibu sebelumnya," ucap beliau lagi melirik sinis pada Niami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status