Selesai salat maghrib Mas Nata mengajaku kembali menemui mantan istrinya di meja makan. Sementara anak-anak naik ke atas bersama calon ibu mertua.
"Niami Auristela Allisya Lesham," ucapnya, seraya mengulurkan tangan sehalus sutra padaku. Aku menarik napas panjang, kemudian menyambut uluran tangannya. "Elia." ucapku pendek."Hanya itu?" Niami menarik satu sudut bibirnya ke atas hingga terlihat senyuman sinis di wajahnya yang cantik nan bersih itu."Balgis Elia Bafaqih," ucapku lagi, menambahkan."Ch." Niami mendecih lau menjebikan bibirnya sedikit, kemudian melipat kembali dua tangannya di dada, ia lantas mengitariku dengan tatapan menyelidik.Mas Nata, lelaki dingin yang hari ini membawaku ke rumahnya memilih duduk di kursi makan dan membiarkan kami bicara berdua di sana."Kamu akan jadi ibu sambung anak-anakku, tolong pastikan penampilanmu setara dengan mereka," lontarnya membuat nyaliku semakin menciut.Aku meneliti penampilanku sendiri, rasanya tidak ada yang salah dengan apa yang kupakai, walaupun hanya memakai kaos pertiga tangan seadanya dan rok dibawah lutut tapi bajuku ini rasanya masih pantas dan layak untuk bertemu orang banyak.Atau mungkin karena pakaianku ini tidak sebagus yang Niami pakai? Wanita dengan tinggi jauh di atasku yang juga kini tengah menelitiku baik-baik, kulihat ia mengenakan kaftan panjang berwarna biru dengan taburan payet kerlap-kerlip, memakai jilbab walau hanya dililitkan ke kepala hingga masih terlihat rambut berkilaunya. Apa harus begitu? Aku terus menereka-nerka, mencoba memahami apa yang Niami maksudkan sebenarnya."Cuma baju seperti ini yang kamu punya?" tanya Niami lagi. Aku mengangguk, karena memang semua bajuku seperti ini, hanya kaos dan rok di bawah lutut.Aku punya 2 atau 3 potong gamis yang biasa kupakai untuk mendengarkan pengajian di masjid bersama ibu, aku pikir untuk apa memakai gamis seperti ke rumah Mas Nata? Takut kesannya sok alim, tapi rupanya mungkin aku salah."Kamu yakin kamu bisa jadi istri Mas Nata? Penampilan kamu aja seperti ini, aku sepertinya ragu sama kamu," imbuhnya lagi semakin membuatku tersudut."Saya bagaimana Mas Nata saja, saya tidak pernah memaksa," balasku sedikit bergetar, walau aku tak berani menatap wajahnya, aku tahu Niami sempat menyunggingkan senyuman sinis untuk mengejekku."Katanya kamu perawan tua ya?" tanyanya lagi.Kali ini pertanyaannya itu membuatku tercengang dan mengangkat wajah, hati ini rasanya nyeri, remuk dan patah, walau kenyataannya seperti itu memangnya perlu Niami menanyakan hal itu?Kata orang aku memang perawan tua, usiaku sudah memasuki hampir kepala 3, itulah sebabnya ibuku menyuruh aku menerima Mas Nata walau Mas Nata adalah duda beranak 3, ibuku bilang tidak apa-apa duda asal aku segera menikah dan mematahkan nyinyiran orang-orang padaku, apalagi Mas Nata sudah mapan secara finansial, jadi tak ada lagi alasan bagi ibuku menolak pinangannya kala itu.Fokus pada dunia pendidikan dan dunia kerja di luar sana membuat aku kebablasan lebih nyaman sendiri, hingga aku berhasil menyelesaikan S2 ku barulah aku sadar usiaku sekarang sudah tak lagi muda, meski pendidikanku tinggi sekarang orang-orang lebih banyak mencemooh dan mengecapku sebagai perawan tua daripada melihat seberapa besar pencapaianku di dunia pendidikan.Manusia memang begitu, lebih suka melihat keburukan yang sedikit daripada kebaikan yang banyak, alhasil jadilah sekarang semua lelaki di kampungku seperti tak tertarik lagi denganku, karena stigma yang mereka buat sendiri padaku."Astagfirullah."Aku terus beristighfar dalam dada, saat semua bayangan menyakitkan itu kini sedang diungkit-ungkit oleh Niami, orang yang baru saja aku kenal. Siapa yang tak sakit hati? Baru saja beberapa menit yang lalu kami berkenalan dan aku datang kesini dengan niat baik, wanita ini sudah berkali-kali membuat nyaliku ciut, Niami seolah sedang menunjukan siapa aku dan siapa dia, dan kelas kami jauh berbeda.Tapi meski begitu aku tetap berusaha sabar menyikapi wanita yang kini ada di depanku, ini mungkin adalah tantangan yang harus kulalui juga saat akan menjadi istri Mas Nata. Seorang pengusaha restoran terkenal di kota ini yang telah membuka beberapa cabang restorannya hingga ke pelosok-pelosok termasuk di kampungku.Ibu berpesan padaku agar aku tidak membuat kekacauan saat aku di rumah Mas Nata, karena semua itu ditakutkan berimbas pada hubungan yang dengan susah payah baru saja kami dapatkan ini. Kata ibu, untunglah dari sekian banyak gadis yang diperlihatkan fotonya, aku adalah orang yang ditunjuk oleh orang kepercayaan Mas Nata untuk menjadi calon istri Mas Nata.Hari ini adalah pertemuan pertamaku dengan Mas Nata, karena saat meminangpun Mas Nata menyuruh orang kepercayaannya yang datang. Hanya berbekal sebuah foto, kuyakinkan diriku menerima pinangan itu demi ibuku, meski aku belum pernah bertemu dengan Mas Nata sekalipun saat itu.Tapi sebenarnya apa yang Niami mau? Kenapa dia banyak sekali bertanya padaku? Padahal dia sudah tidak ada hubungan apa-apa dengan Mas Nata, apa perlu Niami bertanya demikian juga?Melihatku mulai terlihat tak nyaman bicara dengan mantan istrinya, Mas Nata bangkit dari kursi makan."Sudah puas?" tanyanya pada Niami, lalu Mas Nata menarik tanganku agar aku berdiri di belakangnya."Asal kamu tahu ya, semua pertanyaan kamu itu sama sekali tidak berguna, aku memberimu kesempatan bicara dengan Elia karena Ibuku yang memintanya, tapi kamu tidak perlu mengurusi banyak hal soal kami, aku mau menikahi Elia karena Ibuku yakin dia bisa mengurus anak-anak dengan baik, tidak seperti kamu," tegasnya, membuat wajah Niami yang putih bersih tiba-tiba memucat."Sekali lagi aku katakan aku perlu mengurusinya Mas, dia akan jadi ibu tiri anak-anakku, bagaimana kalau ternyata dia tidak mampu sepertiku? Dan asal kau tahu Mas, selera Ibumu ternyata sangat rendah sekali, orang kampung begini dia pilih untuk menggantikan posisiku ch," ketusnya, Niami melipatkan kedua tangan di dadanya."Untuk apa Elia menjadi sepertimu? Tidak ada yang pantas ditiru dari sosokmu itu," tandas Mas Nata bertelunjuk jari, lelaki itu lalu menarik pergelangan tanganku dan membawaku pergi ke ruang tamu.Calon ibu mertua sudah ada di sana, ia sedang duduk bersama ketiga anak Mas Nata di sofa, sepertinya mereka sudah siap pergi ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih bersama."Mas, aku ikut shalat atau nunggu sama bibik saja di rumah?" tanyaku pelan, jujur saja sejak tadi Niami mengatakan bajuku tidak pantas aku jadi tidak percaya diri dan ingin menghindari pergi bersama mereka sampai aku bisa memakai pakaian yang lebih bagus."Terserah," jawabnya kaku dan datar.Aku kembali menghela sabar, meski aku belum melihat raut keteduhan pada wajah Mas Nata, tapi aku tahu Mas Nata adalah orang yang baik dan tulus. Buktinya meskipun ia tidak menyukaiku tetapi ia tetap membawaku ke rumahnya demi agar ibunya bahagia mendapat calon menantu baru. Ia juga siap menikahiku secepatnya demi anak-anaknya yang kini kata calon ibu mertuaku mereka sangat membutuhkan sosok seorang ibu."Ya sudah kamu di rumah saja dulu ya Nak, istirahat, kamu 'kan juga baru datang," ucap calon Ibu mertuaku lembut. Aku mengangguk."Ya sudah kami berangkat dulu," imbuhnya lagi.Mereka lantas berjalan keluar, kutatapi punggung pria asing yang sebentar lagi akan menjadi suamiku itu, ia tengah berjalan bersama ibu dan anak-anaknya. Sebentar lagi mungkin aku akan ada di antara mereka. Semoga saja anak-anak Mas Nata mau segera menerimaku.Meskipun Mas Nata seorang duda anak 3 dan usianya sudah 40 tahun tapi menurutku ia cukup tampan, tidak ada alasan untuk perawan tua sepertiku menolaknya begitu saja. Wajah bercambang tipis, dengan dagu lancip dan kulitnya yang putih seperti semakin menyembunyikan statusnya sebagai seorang duda, apalagi Mas Nata ini seorang yang tidak kekurangan uang, sudah pasti ia akan membayar cukup mahal hanya untuk pergi ke club olahraga favoritnya agar otot-ototnya itu semakin terbentuk indah seperti yang kulihat sekarang."Cih," decih Niami, menarikku dalam kesadaran, wanita itu lantas mengekor di belakang mereka setelah menyunggingkan wajah sinisnya.Entah mengapa wanita itu masih saja berhubungan layaknya keluarga dengan Mas Nata, bukannya tak boleh tapi melihat tingkahnya yang seperti itu aku takut Niami justru membuat hatiku semakin goyah dan bimbang."Ayo, Nyonya," ajak Bibik. Aku mengerjapkan mata dan buru-buru menutup pintu.Bibik mengajakku ke kamar tamu, ia menyuruhku untuk beristirahat di sana.Kutatapi kamar luas yang didominasi cat dinding berwarna putih dan list gold, ada beberapa furniture kayu dan ornamen jati yang disimpan di kamar ini, membuatnya terkesan sangat mewah kalau hanya untuk ukuran kamar tamu.Apa seberuntung itukah aku? Pantas saja ibu bilang aku tak boleh menolaknya, tapi meski begitu aku tahu alasan ibuku menerima pinangan Mas Nata bukan semata-semata hanya soal hartanya yang berlimpah, melainkan karena aku memang sudah waktunya berumah tangga. Teman-teman seusiaku bahkan sudah ada yang punya anak 2 atau bahkan 3."Nyonya, saya permisi ke dapur ya." "Iya Bi, terimakasih."Bibik kembali ke dapur untu
Aku melihat mata Niami mengerling, ia juga tampak menelan salivanya lalu menjatuhkan sendok dan garpu yang tengah ia pegang lantas mereguk segelas air hingga tersisa setengahnya saja.Melihat itu aku memilih menunduk menatap makanan yang ada di depanku lamat-lamat, aku merasa tidak enak hati sebab calon ibu mertua sudah memujiku di depan Niami. Aku tidak tahu seberapa besar kesalahan Niami di mata Mas Nata dan ibunya hingga mereka berdua bersikukuh ingin segera aku menggantikan posisi Niami di rumah ini."Ibu nyindir aku?" tanya Niami kemudian. Ia menatap tak suka pada calon ibu mertuaku."Memang kenyataannya seperti itu 'kan?" ketus calon Ibu mertua.Dreett.Niami bangkit dari kursinya, lalu pergi ke luar dengan wajah yang sudah merah padam."Mamaaa!" teriak Adira, si bungsu lantas berlari mengejar Niami."Sudah di sini saja, kalau Adira ikut Mama nanti Papa dan Omamu ngamuk-ngamuk," kata Niami."Tapi Adira mau ikut sama Mama, bawa Adira pergi, Adira mohon, Ma," rengeknya di bawah k
"Bu, bagaimana kalau Elia lihat Mas Nata dulu?" Aku meminta izin.Calon ibu mertua mengangguk. Sedikit ragu, namun kupaksakan kaki melangkah ke sana.Aku hanya berani berjalan sampai di bibir pintu, dari sana aku sudah dapat mendengar dan melihat sendiri Mas Nata sedang memarahi bahkan nyaris sedang memaki-maki anak lelakinya itu habis-habisan. Aku menarik napas berat, entah mengapa Mas Nata harus melakukan hal itu? Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Apakah ini perangai calon suamiku yang sebenarnya? Hatiku jadi makin ciut dan takut, pasalnya aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami dengan watak yang keras seperti itu.Aku mengusap dadaku, segumpal daging di dalamnya tengah berdetak hebat tak beraturan. "Avin!!"Aku terperanjat mendengar Mas Nata berteriak sambil melayangkan tangan kanannya ke atas, sejurus dengan itu kakiku refleks berlari ke arahnya dan menahan tangan itu agar tidak mendarat di pipi Alvin."Apa-apaan ini, Mas? Tidak perlu seperti ini pada a
Ayyara menyipitkankan matanya saat mendengarku bertanya, tatapannya tidak berubah sejak tadi sore aku datang ke rumah ini. Masih menampakan kebencian dan ketidaksukaan padaku."Bukan urusanmu," decitnya. Gadis itu lantas menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Astagfirullah, aku mengelus dada, mencoba terus sabar memahaminya. "Non Yara memang sering pulang pagi, Nyah." Bibik berbisik di telingaku. Aku tertegun mendengarnya."Yang bener, Bik?" tanyaku tak percaya.Bibik menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "sssttt, jangan bilang-bilang sama orang rumah, Nyah," bisik Bibik."Memangnya kenapa?" tanyaku heran."Non Yara mengancam Bibik seperti itu, kalau informasi ini sampai di telinga Tuan Nata dan Nyonya Amara, Non Yara akan memecat, Bibik," jawab Bibik serius.Aku menarik napas panjang, jadi selama ini Ayyara sering pulang pagi dan Mas Nata tidak tahu? Ya ampun, entah apa yang sudah dilakukan gadis itu di luar sana."Sejak kapan Ayyara sperti itu, Bik?" tanyaku lagi."Seja
Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi."Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang." Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua. Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku
Sampai di depan pintu ruangan itu kulihat dengan baik-baik Ayyara sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum pergi untunglah aku ingat aku harus melihat papan informasi yang dipasang di atas pintu ruang tersebut. Dan aku terhenyak, mendadak dadaku juga berdetak tak beraturan saat kulihat dengan jelas ternyata ruangan tempat dimana Ayyara tadi bicara dengan seorang dokter adalah poli 'KANDUNGAN'. Sedang apa Ayyara di poli kandungan?Apa di sekolahnya ada pemeriksaan yang mengharuskan dia pergi ke sini? Atau apa jangan-jangan, Ayyara ...? Astagfirullah. Aku menutup mulut dengan tangan, bukannya mau berpikir negatif, tapi gadis itu bisa saja berbuat yang tidak-tidak tanpa diketahui siapapun, lebih-lebih kondisi rumahnya sedang tidak baik-baik saja."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Pertanyaan seorang dokter membuatku mengerjap, dokter dari poli kandungan ternyata sudah berdiri tepat di bibir pintu ruangan itu.Kulihat papan namanya adalah dokter Fauzan, dokter itu tampak masih muda sekali,
Gara-gara Adira bicara soal Alvin, aku jadi teringat anak itu. Hampir saja perhatianku teralih semua pada Ayyara, padahal Alvin juga entah kemana sekarang. Kata Bu Nurma, Alvin tidak datang sekolah sudah seminggu lebih, alasannya sakit, padahal dari rumah dia berangkat setiap hari. Tidak aneh lagi, sudah pasti ada masalah juga pada anak itu.Ya Allah ... aku refleks memijit pelipis, terasa berat sekali rasanya tugasku nanti saat menjadi ibu tirinya anak-anak Mas Nata.Jujur sebenernya makin ke sini aku makin ragu, apa mungkin aku sanggup menjadi bagian dari mereka?Arghhh. Andai bukan karena ibuku, aku mungkin sudah kabur sekarang, mengurusi dan masuk di dalam keluarga yang berantakan tentu tidak akan mudah, apalagi aku tak punya pengalaman apapun sebelumnya. Tapi sisi lain aku juga kasihan sama anak-anak Mas Nata, mereka masih muda tapi kehidupan mereka sudah hancur berantakan.-Aku turun dari taksi setelah kami sampai di rumah. Meski tanganku masih sakit aku terpaksa harus mengge
Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper